Oleh Fikrul Hanif
Sosok ini memang teguh memegang prinsipnya, bahkan ia kerap menganggap sosok Bung Karno sebagai tokoh biasa yang tidak patut untuk ditakuti. Demikian Amien Rais dan A.M Fatwa mengisahkan pribadi Haji A. Malik Ahmad (Wakil Ketua PP Muhammadi
Sosok ini memang teguh memegang prinsipnya, bahkan ia kerap menganggap sosok Bung Karno sebagai tokoh biasa yang tidak patut untuk ditakuti. Demikian Amien Rais dan A.M Fatwa mengisahkan pribadi Haji A. Malik Ahmad (Wakil Ketua PP Muhammadi
yah (1971-1985) kepada penulis disela penulisan tesis penulis yang telah rampung tahun 2011 lalu.
Abdul Malik Ahmad, atau yang akrab dipanggil Buya Malik Ahmad lahir pada tanggal 7 Juli 1912 di Nagari Sumaniak Kelarasan Tanah Datar (Surat Ketetapan tentang Catatan Pokok Ketua/Anggota Majlis Perwakilan PB Muhammadiyah di Sumatera Tengah, Arsip Muhammadiyah No.55). Ia merupakan anak pertama dari pasangan Haji Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928) dan Siti Aisyiah. Ayahnya merupakan salah seorang tokoh modernis di Kenagarian Sumaniak sekaligus ketua Serikat Islam Cabang Tanah Datar.
Ia pernah mengecap pendidikan di Thawalib Parabek, dan melanjutkan pendidikan kelas 6 A nya ke Thawalib Padang Panjang. Sejak ia mengenal Muhammadiyah di Padang Panjang, ia aktif mengikuti pengkaderan dari AR Sutan Mansur. Sejak saat itu, ia selalu menjadi tangan kanan buya Sutan Mansur, terutama dalam urusan pengkaderan dan membantu di Muhammadiyah.
Pasca kemerdekaan, Malik Ahmad diamanahi jabatan sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah (1947), Wakil Bupati Militer Luhak Limopuluah Koto (1949-1950), Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah (1950-1958), anggota Konstituante dari Masyumi Sumatera Tengah (1955-1958).
Saat terjadi perseteruan antara pusat-daerah, Malik Ahmad berani mengambil langkah berseberangan dengan budaya politik Muhammadiyah yang cenderung kooperatif. Pada Februari 1957, Malik Ahmad mengeluarkan pernyataan bahwa Muhammadiyah Daerah Sumatera Tengah mendukung sepenuhnya gerakan yang dilakukan Dewan Banteng dan menyerukan kepada pemerintah pusat untuk mengoreksi seluruh kebijakannya.
Meskipun dianggap "pemberontak" karena ia terlibat dalam peristiwa PRRI (1958-1961), Malik Ahmad terpilih secara aklamasi sebagai ketua PP Muhammadiyan dalam Muktamar ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971. Namun, menyadari bahwa dirinya bukan orang Jawa dan bekas "pemberontak", ia pun mengundurkan diri dan menerima jabatan Wakil Ketua I PP Muhammadiyah. Sejak saat itu (1971) hingga tahun 1985 ia mendampingi Haji AR Fachrudin dalam mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah.
Sejak pemerintah Orde Baru memperkenalkan konsep asas tunggal Pancasila dan dilanjutkan pembicaraannya melalui Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo tahun 1985, Malik Ahmad merupakan tokoh utama yang menolak asas tunggal Pancasila masuk dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah. Bahkan ia dengan tegas menyatakan haram hukumnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal tanpa pertimbangan apapun.
Dasar pemikiran Malik Ahmad mengatakan Pancasila pada masa Orde Baru telah menjelma menjadi agama baru adalah interpretasinya terhadap tauhid, wijhah, tashawwur, fikriyah, suluk, syariat, dan nizam. Berdasarkan konsep fikriyah, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal berarti sama dengan merendahkan agama Allah swt.
Melihat kerasnya penolakan Malik Ahmad terhadap asas tunggal Pancasila, A.M Fatwa yang juga pernah dibui karena kasus Tanjung Priok menyatakan "Tentunya dicatat dalam persyarikatan Muhammadiyah bahwa Buya Malik Ahmad inilah yang berusaha keras membendung, jangan sampai asas Muhammadiyah ini dirobah."
Retrieved from: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2372917818640&set=a.1403610626566.40461.1721389076&type=1&theater
Abdul Malik Ahmad, atau yang akrab dipanggil Buya Malik Ahmad lahir pada tanggal 7 Juli 1912 di Nagari Sumaniak Kelarasan Tanah Datar (Surat Ketetapan tentang Catatan Pokok Ketua/Anggota Majlis Perwakilan PB Muhammadiyah di Sumatera Tengah, Arsip Muhammadiyah No.55). Ia merupakan anak pertama dari pasangan Haji Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928) dan Siti Aisyiah. Ayahnya merupakan salah seorang tokoh modernis di Kenagarian Sumaniak sekaligus ketua Serikat Islam Cabang Tanah Datar.
Ia pernah mengecap pendidikan di Thawalib Parabek, dan melanjutkan pendidikan kelas 6 A nya ke Thawalib Padang Panjang. Sejak ia mengenal Muhammadiyah di Padang Panjang, ia aktif mengikuti pengkaderan dari AR Sutan Mansur. Sejak saat itu, ia selalu menjadi tangan kanan buya Sutan Mansur, terutama dalam urusan pengkaderan dan membantu di Muhammadiyah.
Pasca kemerdekaan, Malik Ahmad diamanahi jabatan sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah (1947), Wakil Bupati Militer Luhak Limopuluah Koto (1949-1950), Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah (1950-1958), anggota Konstituante dari Masyumi Sumatera Tengah (1955-1958).
Saat terjadi perseteruan antara pusat-daerah, Malik Ahmad berani mengambil langkah berseberangan dengan budaya politik Muhammadiyah yang cenderung kooperatif. Pada Februari 1957, Malik Ahmad mengeluarkan pernyataan bahwa Muhammadiyah Daerah Sumatera Tengah mendukung sepenuhnya gerakan yang dilakukan Dewan Banteng dan menyerukan kepada pemerintah pusat untuk mengoreksi seluruh kebijakannya.
Meskipun dianggap "pemberontak" karena ia terlibat dalam peristiwa PRRI (1958-1961), Malik Ahmad terpilih secara aklamasi sebagai ketua PP Muhammadiyan dalam Muktamar ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971. Namun, menyadari bahwa dirinya bukan orang Jawa dan bekas "pemberontak", ia pun mengundurkan diri dan menerima jabatan Wakil Ketua I PP Muhammadiyah. Sejak saat itu (1971) hingga tahun 1985 ia mendampingi Haji AR Fachrudin dalam mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah.
Sejak pemerintah Orde Baru memperkenalkan konsep asas tunggal Pancasila dan dilanjutkan pembicaraannya melalui Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo tahun 1985, Malik Ahmad merupakan tokoh utama yang menolak asas tunggal Pancasila masuk dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah. Bahkan ia dengan tegas menyatakan haram hukumnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal tanpa pertimbangan apapun.
Dasar pemikiran Malik Ahmad mengatakan Pancasila pada masa Orde Baru telah menjelma menjadi agama baru adalah interpretasinya terhadap tauhid, wijhah, tashawwur, fikriyah, suluk, syariat, dan nizam. Berdasarkan konsep fikriyah, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal berarti sama dengan merendahkan agama Allah swt.
Melihat kerasnya penolakan Malik Ahmad terhadap asas tunggal Pancasila, A.M Fatwa yang juga pernah dibui karena kasus Tanjung Priok menyatakan "Tentunya dicatat dalam persyarikatan Muhammadiyah bahwa Buya Malik Ahmad inilah yang berusaha keras membendung, jangan sampai asas Muhammadiyah ini dirobah."
Retrieved from: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2372917818640&set=a.1403610626566.40461.1721389076&type=1&theater
No comments:
Post a Comment