Abdullah, Irwan. 1994. The Muslim businessmen of Jatinom : religious reform and economic modernization in a Central Javanese town. Amsterdam: Universiteit van Amsterdam.
Ringkasan (pp. 193-7)
Pengusaha Muslim Jatinom: Reformasi Agama dan Modernisasi Ekonomi di sebuah Kota di Jawa Tengah
Studi ini menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan kelompok Muslim dalam kegiatan perdagangan di Jatinom, sebuah kota kecil di kabupaten Klaten. Fokus penelitian diarahkan pada hubungan agama dan perdagangan di dalam konteks perubahan sosial-ekonomi dan sosial-politik.
Masalah semangat dagang kaum Muslim telah menjadi topik diskusi yang sangat sejak masa kolonial. DI satu pihak ada kecenderungan untuk menjelaskan bahwa “kegagalan” pribumi di dalam bidang ekonomi disebabkan oleh sifat-sifat organisasi ekonomi yang tidak rasional, yang oleh Geertz disebut lebih bersifat sosial daripada bersifat bisnis. Di lain ihak, kegagalan pribumi lebih disebabkan oleh pengaruh struktural yang sedikit sekali memberi peluang kepada pedagang pribumi, baik sejak masa kolonial hingga sekarang ini.
Selain harus berhadapan dengan berbagai kebijaksanaan pemerintah yang melemahkan posisi mereka, pedagang pribumi harus pula bersaing dengan pedagang Cina yang memiliki kekuatan modal dan posisi yang lebih baik di dalam suatu struktur politik dan ekonomi. Pada peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan pemerintah Indonesia pada tahun 1949, pribumi bukan merupakan kelompok yang tangguh sehingga mereka tidak bisa mengambil alih kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi dari tangan pedagang Cina. Meskipun pedagang pribumi dapat bertahan, skala usaha mereka terbatas dan tidak mampu bersaing dengan kekuatan modal pedagang Cina. Hanya di beberapa daerah –seperti yang terjadi di Jatinom—pribumi dapat menggantikan posisi ekonomi Cina pada saat mereka diharuskan untuk meninggalkan desa-desa dan kota-kota kecamatan. Perkembangan semacam ini merupakan fenomena menarik untuk dijelaskan: mengapa pedagang-pedagang Muslim di Jatinom dapat menggantikan posisi pedagang Cina dan dapat menjadi pedagang yang berhasil hingga saat ini?
Pertanyaan itu akan saya jawab dengan cara menelusuri tiga faktor yang saling kait. Pertama, dengan cara melihat peranan agama di dalam mendorong kegiatan perdagangan, baik yang tampak pada perilaku ekonomi pedagang Muslim maupun pada tanggapan komunitas terhadap kegiatan ekonomi. Dengan cara ini dimungkinkan untuk melihat ciri-ciri dan sifat-sifat kewiraswastaan dan sekaligus untuk melihat dasar sosial budaya di mana kegiatan ekonomi itu berlangsung. Kedua, perdagangan merupakan bagian dari sistem ekonomi yang lebih luas. Oleh karena itu, bagaimana peluang-peluang ekonomi memungkinkan kegiatan perdagangan berlangsung dan membuka kesempatan-kesempatan bagi pedagang, merupakan faktor penting. Cara ini mengharuskan studi ini untuk memperhatikan perkembangan ekonomi di berbagai sektor di Jatinom dan bagaimana perkembangan antar sektor itu saling kait satu sama lain. Ketiga, perubahan sosial-keagamaan dan sosial-ekonomi tidak dapat dipisahkan dari konteks politik lokal. Oleh karenanya, struktur politik pada saat perkembangan ekonomi berlangsung dan perubahan-perubahannya sangat menentukan tumbuh dan berkembangnya kegiatan dagang. Melalui tiga faktor tersebut diharapkan dapat dirumuskan kesimpulan tentang keberhasilan pedagang Muslim di Jatinom.
Untuk sampai ke situ, saya telah melakukan penelitian antropologis –yang berlangsung sejak Maret 1990 samapi dengan Pebruari 1991—dengan cara hidup di lingkungan sosial budaya kaum pedagang Muslim tersebut. Saya mengamati kegiatan-kegiatan mereka dan mewawancarai mereka untuk mengetahui gagasan-gagasan di balik perilaku yang mereka wujudkan sehari-hari. Selain itu, proses sosial budaya yang berlangsung sehari-hari yang berkaitan, langsung maupun tidak langsung, dengan kehidupan ekonomi merupakan dasar penting di dalam menganalisis dan menjelaskan keberadaan kelompok pedagang Muslim itu. Oleh karena itu, studi ini lebih bersifat studi kontemporer, menyangkut elite keberadaan elite pedagang saat itu. Namun demikian, untuk menjelaskan fenomena kedudukan ekonomi kaum pedagang Muslim tersebut, saya berusaha menggunakan sedikit banyak faktor-faktor sejarah, sejauh yang saya dengar dalam penelitian, yang berupa sejarah lisan. Selain itu, saya juga memanfaatkan bahan-bahan tertulis yang dapat membantu analisis.
Bab satu berisi gambaran kehidupan sehari-hari kota Jatinom, kegiatan ekonomi, dan kehidupan keagamaan. Saya juga menunjukkan pentingnya peranan elite agama yang sekaligus merupakan elite perdagangan di dalam berbagai aspek kehidupan komunitas. Dengan cara ini saya menjelaskan mengapa penelitian ini penting dilakukan.
Bab dua membicarakan persoalan-persoalan teoritis yang menjadi pemandu penelitian ini. Saya memulai dengan merunut kembali antara lain penelitian Geertz (1963) yang dilakukan di Mojokuto, penelitian Castles (1967) di Kudus, dan penelitian de Jonge (1989) yang dilakukan di Madura, yang menunjukkan pentingnya hubungan Islam dan perdagangan. Kemudian saya mendiskusikan etika agama dan semangat ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh cara berpikir Weber untuk melihat saluran kelembagaan apa yang telah menyebabkan agama itu memiliki daya dukung terhadap perkembangan ekonomi. Dalam bab ini juga dioperasionalisasikan konsep-konsep yang digunakan dan dibahas persoalan-persoalan metodologis yang penting untuk penelitian ini.
Tinjauan ekonomi daerah dan bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan perdagangan merupakan tema bab tiga. Di sini dijelaskan perubahan-perubahan kekuasaan ekonomi di dalam koalisi Kesunanan, Belanda, priyayi, dan Cina. Pada masa revolusi kekuatan-kekuatan tersebut menghilang dan kekuatan masyarakat yang paling penting kemudian adalah santri dan PKI di dalam suatu struktur pemerintahan yang baru. Namun demikian, PKI juga menghilang pada tahun 1965 sehingga tinggal santri yang menjadi kelompok dominan dalam menggerakkan masyarakat. Pergeseran-pergeseran ini memiliki pengaruh penting di dalam perkembangan ekonomi dan juga memberikan kesempatan kepada pertumbuhan kelompok pedagang santri. Dalam bab tiga ini juga dipaparkan mengenai ciri-ciri sosial ekonomi Jatinom dan sekitarnya. Untuk itu saya memulai dengan menunjukkan keadaan Klaten sebagai daerah yang cukup subur dan daerah yang secara mendasar telah dipengaruhi oleh proses komersialisasi sejak masa kolonial. Meskipun pabrik gula dan perkembunan tebu di jatinom tidak bertahan lama, terutama karena aksi bumi hangus pada tahun 1948/1949, struktur ekonomi telah mengalami diversivikasi dengan munculnya berbagai sektor kegiatan ekonomi, seperti industri-industri kecil dan perdagangan.
Bab empat berisi analisis pengaruh Islam di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang dalam hal ini dilihat melalui lembaga Muhammadiyah yang menjadi wadah kaum pedagang di dalam melakukan berbagai proses transformasi. Hegemoni Muhammadiyah bukan berarti tidak tergoyahkan, sebaliknya intervensi pemerintah di dalam berbagai cara telah menyebabkan terjadinya reorganisasi di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri. Demikian pula kontrol dari struktur sosial menyebabkan kaum elite agama (elite pedagang) tidak bisa bertindak sewenang-wenang dan ketidakmampuan mereka untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari “kelompok agama” yang lain (seperti yang beraliran abangan) telah menyebabkan kegagalan di dalam proses sosialisasi agama dan perdagangan. Agama dan perdagangan tetap saja menjadi monopoli kaum santri.
Memaparkan ciri-ciri kelompok pedagang dan faktor-faktor yang dapat mendukung keberhasilan mereka dalam perdagangan merupakan tujuan penulisan bab lima. Untuk itu digunakan tiga kasus pedagang yang dianggap dapat mewakili gambaran pedagang Muslim Jatinom. Selain memperlihatkan proses pertumbuhan perdagangan, perbandingan ketiga kasus ini juga memungkinkan untuk melihat bagaimana ajaran agama telah menjadi dasar perilaku sosial ekonomi mereka. Meskipun demikian, kaum elite agama tidak sepenuhnya bebas dalam bertindak karena kekuatan masyarakat, terutama kontrol struktur sosial juga penting di dalamnya. Pengaruh-pengaruh perubahan struktural telah pula menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pertumbuhan kelompok pedagang, dan keberhasilan atau kegagalan mereka sebagai pedagang ditentukan oleh berbagai faktor.
Dalam bab enam ditunjukkan bahwa agama merupakan dunia simbolis yang menegaskan identitas kelompok yang dapat memperkuat rasa kebersamaan atau solidaritas antar sesama anggota yang memiliki paham yang sama. Dengan kata lain, agama merupakan dasar pengelompokan sosial yang dengan ini anggota-anggota di dalamnya dapat bekerja sama. Hubungan semacam ini merupakan basis yang paling penting di dalam menggerakkan perdagangan karena sumber daya ekonomi mengalir dari satu orang ke orang lain di dalam kelompok keagamaan. Pengelompokan dagang berdasarkan agama ini sekaligus memiliki kekuatan yang besar di dalam menghadapi tekanan-tekanan dan gangguan-gangguan dari luar yang dapat menghancurkan kelompok. Oleh karenanya, setiap orang di dalam kelompok itu berusaha memelihara sifat kehosi sosial kelompok karena mamiliki fungsi langsung terhadap kelangsungan perdagangan. Dalam bab ini saya tunjukkan dalam hal apa hubungan agama dengan perdagangan dapat dijelaskan.
Pada bagian berikutnya, bab tujuh, saya merumuskan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi ini. Keberhasilan kaum pedagang Muslim tidak hanya berkaitan dengan ketaatan agama, beberapa faktor lain berperan cukup penting. Agama memiliki peranan penting di dalam proses pembaharuan pemikiran yang mengarahkan perilaku ekonomi pedagang di satu pihak dan mempengaruhi cara penduduk menerima kegiatan perdagangan (dengan prinsip-prinsip ekonomi yang terkait) sebagai bagian dari kehidupan mereka. Agama dalam hal ini membentuk dasar sosial budaya yang memungkinkan kegiatan ekonomi berlangsung. Namun demikian, perkembangan usaha dagang selanjutnya sangat ditentukan oleh struktur politik lokal dimana berbagai kekacauan telah menghambat kegiatan dagang dan sebaliknya iklim politik yang baik dapat menjadi pendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi. Perkembangan perdagangan dan kemajuan-kemajuan pesat yang dicapai oleh pedagang Muslim sesungguhnya lebih ditentukan oleh peluang-peluang ekonomi yang muncul setelah tahun 1970-an. Demikian pula perubahan-perubahan dalam bidang pertanian di wilayah Jatinom pada tahun 1980-an telah memberikan dampak yang paling penting dari seluruh tahap perkembangan ekonomi kota. Kesuksesan pedagang Muslim di kota sangat ditentukan oleh peningkatan kesejahteraan kaum tani yang menjadi konsumen barang-barang pabrik yang dijual di toko-toko di kota Jatinom. Dari sini dapat dipetik pelajaran penting, bahwa usaha meningkatkan kesejahteraan penduduk desa selayaknya diutamakan. Sektor pedesaan inilah yang merupakan dasar bagi kemajuan kaum pedagang Muslim dan perkembangan kota-kota kecil. Dengan cara seperti inilah orang lain telah membangun sebah negeri.