Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (1)
Republika, Selasa, 09 April 2013, 09:26 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dari sekian banyak teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh para ahli, tampaknya tipe kepemimpinan yang selaras dengan kultur Muhammadiyah adalah yang bercorak demokratik-konsultatif. Tipe kepemimpinan otokratif dan serbakomando, tidak akan pernah efektif dalam organisasi modern dan egalitarian ini.
Pengurus Muhammadiyah dari pusat sampai ke tingkat ranting bersifat sukarela tanpa gaji. Tidak ada janji keuangan atau jabatan duniawi yang ditawarkan, semuanya berdasarkan perintah iman untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan masyarakat luas.
Situasinya sungguh berbeda dengan lingkungan perusahaan melalui sistem karier, promosi, dan imbalan penggajian yang telah ditentukan. Agak mendekati apa yang berlaku di lingkungan perusahaan ini, yang berlaku dalam kultur partai politik belakangan ini sudah mengarah kepada janji-janji duniawi itu, sesuatu yang dapat mencederai sistem demokrasi. Politik yang semestinya untuk mengabdi pada kepentingan umum telah berubah menjadi ladang mencari rezeki.
Berbicara tentang pola hubungan antara pemimpin dan pengikut, dalam perusahaan tentu corak komunikasi otak (rasional) lebih diutamakan, dalam Muhammadiyah, komunikasi antara hati (spiritual) akan lebih efektif. Sesuatu yang mengalir dari hati akan mendarat di hati pula. Saya menggantikan posisi Prof Dr M Amien Rais yang sangat populer saat itu sebagai Ketua PP Muhammadiyah dalam situasi politik bangsa yang genting, suatu masa peralihan dari sistem otoritarian menuju sistem demokrasi. Sebagai seorang yang belum banyak dikenal publik, tiba-tiba harus memimpin organisasi sebesar Muhammadiyah, terus terang saya merasa ragu dan gamang.
Amien Rais telah berkibar sebagai tokoh publik nasional dan internasional, khususnya sejak 1993, ketika melontarkan isu tentang perlunya suksesi kepemimpinan nasional dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya. Lontaran ini telah memicu kemarahan luar biasa dari Presiden Soeharto dan para pendukungnya, termasuk yang ada di kalangan Muhammadiyah, selama beberapa tahun berikutnya sampai rezim Orde Baru itu jatuh pada Mei 1998. Perasaan gamang yang sering dibayang-banyangi sosok kharismatik Amien Rais berjalan sekitar setahun setelah saya memimpin Muhammadiyah. Kemudian, secara berangsur yang dibantu oleh banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh lintas iman, saya mulai menemukan diri sendiri di tengah-tengah pergolakan politik nasional dalam iklim euforia demokrasi yang nyaris tanpa kendali itu.
Muhammdiyah sebagai representasi dari salah satu sayap umat Islam terbesar di Indonesia, di samping NU, harus dipimpin oleh seorang yang berasal dari kawasan udik yang secepatnya mesti pandai merangkak ke panggung nasional. Jelas tidak mudah bagi saya yang ketika itu sudah berusia 63 tahun.
Saya lahir di sebuah nagari tersuruk Sumpur Kudus yang terletak di pedalaman Sumatra Barat pada 31 Mei 1935. Ketika kecil tidak punya mimpi apa pun untuk beranjak jauh dari kawasan udik itu. Memang kemudian saya pernah belajar di madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Lintau (Tanah Datar) dan Yogyakarta antara tahun 1950 dan 1956, tetapi modal itu terasa belum cukup untuk menduduki posisi puncak di Muhammadiyah.
Sekiranya Amien Rais tidak berputar haluan memasuki dunia politik, mungkin saya tidak akan pernah menjadi orang pertama di lingkungan Muhammadiyah. Maka, tidaklah heran, mengapa saya terkejut karena tiba-tiba harus tampil ke posisi seorang yang dituakan dalam Muhammadiyah. Sebelumnya hanyalah sebagai anggota pimpinan pusat dan sebagai wakil ketua sejak 1994, saat Amien Rais menggantikan posisi Ketua PP KH Azhar Basjir yang wafat pada tahun itu. Azhar Basjir, seorang kiai dengan pemahaman agama yang dalam dan lurus.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/09/mkyus1-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-1
-------------
Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (2)
Selasa, 16 April 2013, 20:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Berbeda dengan gaya kepemimpinan Azhar Basjir yang tenang dan lembut sesuai dengan sifat seorang kiai, di bawah Amien Rais, Muham madiyah harus berhadapan dengan negara di bawah sistem politik yang tabu untuk dikritik. Seluruh kekuasaan negara terpusat pada satu tangan, seorang jenderal lagi, sekalipun di depan forum Muktamar Muhammadiyah di Aceh pada Juli 1995 pernah mengakui sebagai "bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia".
Dalam situasi yang serbatertekan itu, pernyataan presiden Soeharto ini mendapat tepuk tangan yang membahana dari peserta muktamar. Bahkan, di beberapa daerah, pernyataan ini dicetak untuk "melunakkan" sikap penguasa setempat terhadap Muhammadiyah.
Anda bisa bayangkan betapa sulitnya posisi Muhammadiyah dalam konstelasi politik nasional yang sangat kritikal itu. Saya mendampingi kepemimpinan Amien Rais yang kadang- kadang memang tidak mudah diikuti dan dipahami, sering menempuh jalan sendiri, tetapi saya banyak belajar bersama anggota PP yang lain.
Sebagian kami kadang-kadang berada dalam situasi harap-harap cemas. Pihak istana sebenarnya ketika itu sudah ingin sekali agar Amien Rais tidak berada di puncak pimpinan Muhammadiyah karena dirasa sudah sangat mengganggu kemapanan sistem kekuasaan.
Harapan pihak istana ternyata sia- sia karena adalah sebuah kemustahilan memisahkan Muhammadiyah dengan Amien Rais. Tokoh ini di saat panas itu sangat diperhitungkan secara nasional oleh kawan dan lawan.
Seorang wartawan bahkan pernah menyebutnya sebagai sosok "yang telah putus urat takutnya" karena mengamati tingkat keberanian Amien Rais yang spektakuler itu.
Bulan Juli 2000 dalam muktamar ke-44 di Jakarta, saya terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan suara terbanyak. Sekitar tiga bulan menjelang muktamar, Amien Rais "sedikit marah" karena saya tidak begitu rajin berkunjung ke daerah-daerah. Dikhawatirkan, saya tidak akan terpilih sebagai ketua dalam muktamar itu. Sebagai seorang yang mulai mengenal medan, saya cuek saja. Terpilih, ya syukur, tidak ya syukur. Terserah saja kepada para pemilih.
Tidak ada tim sukses yang dibentuk, semuanya biar mengalir seperti air saja. Apalagi bagi saya, model-model tim sukses terasa bernuansa politik, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang menjaga jarak sama dengan semua kekuatan politik. Kata orang, di bawah kepemimpinan saya, Muhammadiyah berjalan lebih tenang dan aman sebab dipimpin oleh seorang yang bukan politisi.
Selain itu, Presiden Soeharto mungkin tidak begitu mengenal saya seperti mengenal Amien Rais.
Akan tetapi, ada ujian agak berat atas kepemimpinan saya ketika muncul berita awal 2001 bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan dijatuhkan oleh MPR, pimpinan Amien Rais.
Pengikut Gur Dur, khususnya di Jawa Timur, serta-merta mengamuk dan merusak masjid-masjid dan bangunan lain milik Muhammadiyah. Bahkan, gedung SMA Muhammadiyah di Situbondo dibakar habis.
Dalam situasi serba sulit ini, jelas tidak mudah bagi saya memimpin Muhammadiyah, sekalipun punya hubungan baik dengan elite NU, termasuk Ketua Umum nya KH Dr A Hasyim Muzadi.
Pada tingkat akar rumput, hubungan baik ini tidak berhasil meredakan amuk massa yang terkait dengan kekuasaan itu. Akal sehat sama sekali tidak ber fungsi.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dalam menyikapi situasi tidak normal itu, saya nilai sangat arif, tidak terpancing untuk melayani brutalitas massa, dengan membuat pernyataan tertanggal 5 Februari 2001 yang berbunyi: 1) Mendukung gerakan demokrasi dengan cara damai dan konstitusional. 2) Menyesalkan pelbagai tindakan yang mengarah kepada anarkisme dan perusakan. 3) Menyerahkan kepada aparat keamanan untuk dapat segera mengantisipasi timbulnya kerusuhan dan perusakan serta secepat mungkin mengusut dan menindak tegas tindakan yang melawan hukum. 4) Mengimbau kepada masyarakat Jawa Timur agar tetap tenang dan waspada terhadap kemungkinan adu domba dari pihak-pihak tertentu .
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/16/mlcmsl-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-2
-----------
Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (3)
Selasa, 23 April 2013, 07:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun Muhammadiyah disakiti dan harta miliknya dirusak, reaksi yang diberikan adalah dalam bentuk pernyataan di atas, yaitu agar hukum ditegakkan. Dengan sengaja menyamarkan nama pelaku teror itu, Muhammadiyah tidak rela lantaran politik kekuasaan persaudaraan umat di tingkat bawah menjadi kacau dan berantakan. Ongkosnya akan sangat tinggi bila teror dibalas dengan teror. Orang yang beradab pasti mampu menahan diri sebagai pertanda keadaban.
Anarkisme di Jawa Timur menjadi perhatian utama PP Muhammadiyah. Kontak dengan PWM Jawa Timur terus dilakukan sambil mendesak aparat agar tindakan kekerasan dihentikan secepatnya. Anak-anak muda NU yang dekat dengan saya terus dihubungi agar menggunakan pengaruh mereka untuk meredakan situasi yang panas, tetapi tidak membawa hasil. Cukup banyak milik Muhammadiyah yang menjadi sasaran tindakan brutal selama berbulan-bulan sampai Presiden Abdurrahman Wahid benar-benar harus rela meninggalkan kursi kepresidenannya pada 23 Juli 2001, setelah berkuasa sejak 20 Oktober 1999.
Pengalaman memimpin Muhammadiyah dalam kondisi semacam itu sungguh sangat membekas dalam hati dan perasaan saya. Ternyata sebagian umat Islam ketika tokoh idolanya sedang berada dalam proses kejatuhan karena dinilai melakukan kesalahan menjadi tidak stabil dan tidak normal, bahkan bisa berbuat apa saja yang dilarang agama. Sejarah Islam dalam bilangan abad tidak sunyi dari pengalaman pahit serupa ini, tetapi kita tidak mau belajar untuk tidak mengulanginya.
Alhamdulillah, beberapa bulan setelah itu hubungan NU-Muhammadiyah di tingkat dasar berangsur pulih secara perlahan, tetapi pasti. Kata orang, kepemimpinan saya telah lulus ujian, sekalipun Muhammadiyah harus berkorban. PBNU bukannya tidak mengakui bahwa milik Muhammadiyah telah dirusak oleh warganya. Oleh sebab itu, bantuan mereka tawarkan untuk perbaikan kembali, tetapi PWM Jawa Timur dengan sopan menolaknya dengan alasan: “…secara spontan warga Muhammadiyah telah mulai melakukan perbaikan.” Jawaban ini sebenarnya tajam, tetapi dianyam dalam bahasa simbolis yang santun, sejalan dengan salah satu diktum dalam kepribadian Muhammadiyah yang berbunyi: “Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.”
Saya dan teman-teman pimpinan yang telah bekerja keras sejak muktamar tahun 2000 untuk merajut tali persaudaraan yang tulus dengan kalangan NU tentu cukup terluka dengan apa yang dialami Muhammadiyah di Jawa Timur. Tetapi, di awal tahun 2002, upaya menguatkan persaudaraan itu saya teruskan lagi dengan hasil yang lumayan. Inilah rupanya risiko yang harus dilalui Muhammadiyah karena anggota masyarakat tertentu belum bisa membedakan antara figur Amien Rais sebagai Ketua MPR dengan Muhammadiyah yang ketika itu sudah berada di bawah kepemimpinan saya. Sampai dengan muktamar ke-45 di Malang, Juli 2005, gangguan terhadap Muhammadiyah sudah jauh berkurang, bahkan sampai hari ini, setelah saya sejak tahun itu tidak lagi berada dalam kepengurusan PP Muhammadiyah karena usia sudah 70 tahun.
Itulah sekilas pengalaman dari seorang anak kampung tersuruk dalam kiprah gerakan Muhammadiyah berhadapan dengan realitas umat dan bangsa. Suka dan getir saling melengkapi. Dalam segala cuaca, stamina spiritual memang tidak boleh melemah, sekalipun tidak jarang saya merasa sangat lelah.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/22/mlnr53-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-3habis
Republika, Selasa, 09 April 2013, 09:26 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dari sekian banyak teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh para ahli, tampaknya tipe kepemimpinan yang selaras dengan kultur Muhammadiyah adalah yang bercorak demokratik-konsultatif. Tipe kepemimpinan otokratif dan serbakomando, tidak akan pernah efektif dalam organisasi modern dan egalitarian ini.
Pengurus Muhammadiyah dari pusat sampai ke tingkat ranting bersifat sukarela tanpa gaji. Tidak ada janji keuangan atau jabatan duniawi yang ditawarkan, semuanya berdasarkan perintah iman untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan masyarakat luas.
Situasinya sungguh berbeda dengan lingkungan perusahaan melalui sistem karier, promosi, dan imbalan penggajian yang telah ditentukan. Agak mendekati apa yang berlaku di lingkungan perusahaan ini, yang berlaku dalam kultur partai politik belakangan ini sudah mengarah kepada janji-janji duniawi itu, sesuatu yang dapat mencederai sistem demokrasi. Politik yang semestinya untuk mengabdi pada kepentingan umum telah berubah menjadi ladang mencari rezeki.
Berbicara tentang pola hubungan antara pemimpin dan pengikut, dalam perusahaan tentu corak komunikasi otak (rasional) lebih diutamakan, dalam Muhammadiyah, komunikasi antara hati (spiritual) akan lebih efektif. Sesuatu yang mengalir dari hati akan mendarat di hati pula. Saya menggantikan posisi Prof Dr M Amien Rais yang sangat populer saat itu sebagai Ketua PP Muhammadiyah dalam situasi politik bangsa yang genting, suatu masa peralihan dari sistem otoritarian menuju sistem demokrasi. Sebagai seorang yang belum banyak dikenal publik, tiba-tiba harus memimpin organisasi sebesar Muhammadiyah, terus terang saya merasa ragu dan gamang.
Amien Rais telah berkibar sebagai tokoh publik nasional dan internasional, khususnya sejak 1993, ketika melontarkan isu tentang perlunya suksesi kepemimpinan nasional dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya. Lontaran ini telah memicu kemarahan luar biasa dari Presiden Soeharto dan para pendukungnya, termasuk yang ada di kalangan Muhammadiyah, selama beberapa tahun berikutnya sampai rezim Orde Baru itu jatuh pada Mei 1998. Perasaan gamang yang sering dibayang-banyangi sosok kharismatik Amien Rais berjalan sekitar setahun setelah saya memimpin Muhammadiyah. Kemudian, secara berangsur yang dibantu oleh banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh lintas iman, saya mulai menemukan diri sendiri di tengah-tengah pergolakan politik nasional dalam iklim euforia demokrasi yang nyaris tanpa kendali itu.
Muhammdiyah sebagai representasi dari salah satu sayap umat Islam terbesar di Indonesia, di samping NU, harus dipimpin oleh seorang yang berasal dari kawasan udik yang secepatnya mesti pandai merangkak ke panggung nasional. Jelas tidak mudah bagi saya yang ketika itu sudah berusia 63 tahun.
Saya lahir di sebuah nagari tersuruk Sumpur Kudus yang terletak di pedalaman Sumatra Barat pada 31 Mei 1935. Ketika kecil tidak punya mimpi apa pun untuk beranjak jauh dari kawasan udik itu. Memang kemudian saya pernah belajar di madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Lintau (Tanah Datar) dan Yogyakarta antara tahun 1950 dan 1956, tetapi modal itu terasa belum cukup untuk menduduki posisi puncak di Muhammadiyah.
Sekiranya Amien Rais tidak berputar haluan memasuki dunia politik, mungkin saya tidak akan pernah menjadi orang pertama di lingkungan Muhammadiyah. Maka, tidaklah heran, mengapa saya terkejut karena tiba-tiba harus tampil ke posisi seorang yang dituakan dalam Muhammadiyah. Sebelumnya hanyalah sebagai anggota pimpinan pusat dan sebagai wakil ketua sejak 1994, saat Amien Rais menggantikan posisi Ketua PP KH Azhar Basjir yang wafat pada tahun itu. Azhar Basjir, seorang kiai dengan pemahaman agama yang dalam dan lurus.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/09/mkyus1-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-1
-------------
Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (2)
Selasa, 16 April 2013, 20:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Berbeda dengan gaya kepemimpinan Azhar Basjir yang tenang dan lembut sesuai dengan sifat seorang kiai, di bawah Amien Rais, Muham madiyah harus berhadapan dengan negara di bawah sistem politik yang tabu untuk dikritik. Seluruh kekuasaan negara terpusat pada satu tangan, seorang jenderal lagi, sekalipun di depan forum Muktamar Muhammadiyah di Aceh pada Juli 1995 pernah mengakui sebagai "bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia".
Dalam situasi yang serbatertekan itu, pernyataan presiden Soeharto ini mendapat tepuk tangan yang membahana dari peserta muktamar. Bahkan, di beberapa daerah, pernyataan ini dicetak untuk "melunakkan" sikap penguasa setempat terhadap Muhammadiyah.
Anda bisa bayangkan betapa sulitnya posisi Muhammadiyah dalam konstelasi politik nasional yang sangat kritikal itu. Saya mendampingi kepemimpinan Amien Rais yang kadang- kadang memang tidak mudah diikuti dan dipahami, sering menempuh jalan sendiri, tetapi saya banyak belajar bersama anggota PP yang lain.
Sebagian kami kadang-kadang berada dalam situasi harap-harap cemas. Pihak istana sebenarnya ketika itu sudah ingin sekali agar Amien Rais tidak berada di puncak pimpinan Muhammadiyah karena dirasa sudah sangat mengganggu kemapanan sistem kekuasaan.
Harapan pihak istana ternyata sia- sia karena adalah sebuah kemustahilan memisahkan Muhammadiyah dengan Amien Rais. Tokoh ini di saat panas itu sangat diperhitungkan secara nasional oleh kawan dan lawan.
Seorang wartawan bahkan pernah menyebutnya sebagai sosok "yang telah putus urat takutnya" karena mengamati tingkat keberanian Amien Rais yang spektakuler itu.
Bulan Juli 2000 dalam muktamar ke-44 di Jakarta, saya terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan suara terbanyak. Sekitar tiga bulan menjelang muktamar, Amien Rais "sedikit marah" karena saya tidak begitu rajin berkunjung ke daerah-daerah. Dikhawatirkan, saya tidak akan terpilih sebagai ketua dalam muktamar itu. Sebagai seorang yang mulai mengenal medan, saya cuek saja. Terpilih, ya syukur, tidak ya syukur. Terserah saja kepada para pemilih.
Tidak ada tim sukses yang dibentuk, semuanya biar mengalir seperti air saja. Apalagi bagi saya, model-model tim sukses terasa bernuansa politik, sedangkan Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang menjaga jarak sama dengan semua kekuatan politik. Kata orang, di bawah kepemimpinan saya, Muhammadiyah berjalan lebih tenang dan aman sebab dipimpin oleh seorang yang bukan politisi.
Selain itu, Presiden Soeharto mungkin tidak begitu mengenal saya seperti mengenal Amien Rais.
Akan tetapi, ada ujian agak berat atas kepemimpinan saya ketika muncul berita awal 2001 bahwa Presiden Abdurrahman Wahid akan dijatuhkan oleh MPR, pimpinan Amien Rais.
Pengikut Gur Dur, khususnya di Jawa Timur, serta-merta mengamuk dan merusak masjid-masjid dan bangunan lain milik Muhammadiyah. Bahkan, gedung SMA Muhammadiyah di Situbondo dibakar habis.
Dalam situasi serba sulit ini, jelas tidak mudah bagi saya memimpin Muhammadiyah, sekalipun punya hubungan baik dengan elite NU, termasuk Ketua Umum nya KH Dr A Hasyim Muzadi.
Pada tingkat akar rumput, hubungan baik ini tidak berhasil meredakan amuk massa yang terkait dengan kekuasaan itu. Akal sehat sama sekali tidak ber fungsi.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dalam menyikapi situasi tidak normal itu, saya nilai sangat arif, tidak terpancing untuk melayani brutalitas massa, dengan membuat pernyataan tertanggal 5 Februari 2001 yang berbunyi: 1) Mendukung gerakan demokrasi dengan cara damai dan konstitusional. 2) Menyesalkan pelbagai tindakan yang mengarah kepada anarkisme dan perusakan. 3) Menyerahkan kepada aparat keamanan untuk dapat segera mengantisipasi timbulnya kerusuhan dan perusakan serta secepat mungkin mengusut dan menindak tegas tindakan yang melawan hukum. 4) Mengimbau kepada masyarakat Jawa Timur agar tetap tenang dan waspada terhadap kemungkinan adu domba dari pihak-pihak tertentu .
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/16/mlcmsl-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-2
-----------
Pengalaman Memimpin Muhammadiyah (3)
Selasa, 23 April 2013, 07:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun Muhammadiyah disakiti dan harta miliknya dirusak, reaksi yang diberikan adalah dalam bentuk pernyataan di atas, yaitu agar hukum ditegakkan. Dengan sengaja menyamarkan nama pelaku teror itu, Muhammadiyah tidak rela lantaran politik kekuasaan persaudaraan umat di tingkat bawah menjadi kacau dan berantakan. Ongkosnya akan sangat tinggi bila teror dibalas dengan teror. Orang yang beradab pasti mampu menahan diri sebagai pertanda keadaban.
Anarkisme di Jawa Timur menjadi perhatian utama PP Muhammadiyah. Kontak dengan PWM Jawa Timur terus dilakukan sambil mendesak aparat agar tindakan kekerasan dihentikan secepatnya. Anak-anak muda NU yang dekat dengan saya terus dihubungi agar menggunakan pengaruh mereka untuk meredakan situasi yang panas, tetapi tidak membawa hasil. Cukup banyak milik Muhammadiyah yang menjadi sasaran tindakan brutal selama berbulan-bulan sampai Presiden Abdurrahman Wahid benar-benar harus rela meninggalkan kursi kepresidenannya pada 23 Juli 2001, setelah berkuasa sejak 20 Oktober 1999.
Pengalaman memimpin Muhammadiyah dalam kondisi semacam itu sungguh sangat membekas dalam hati dan perasaan saya. Ternyata sebagian umat Islam ketika tokoh idolanya sedang berada dalam proses kejatuhan karena dinilai melakukan kesalahan menjadi tidak stabil dan tidak normal, bahkan bisa berbuat apa saja yang dilarang agama. Sejarah Islam dalam bilangan abad tidak sunyi dari pengalaman pahit serupa ini, tetapi kita tidak mau belajar untuk tidak mengulanginya.
Alhamdulillah, beberapa bulan setelah itu hubungan NU-Muhammadiyah di tingkat dasar berangsur pulih secara perlahan, tetapi pasti. Kata orang, kepemimpinan saya telah lulus ujian, sekalipun Muhammadiyah harus berkorban. PBNU bukannya tidak mengakui bahwa milik Muhammadiyah telah dirusak oleh warganya. Oleh sebab itu, bantuan mereka tawarkan untuk perbaikan kembali, tetapi PWM Jawa Timur dengan sopan menolaknya dengan alasan: “…secara spontan warga Muhammadiyah telah mulai melakukan perbaikan.” Jawaban ini sebenarnya tajam, tetapi dianyam dalam bahasa simbolis yang santun, sejalan dengan salah satu diktum dalam kepribadian Muhammadiyah yang berbunyi: “Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.”
Saya dan teman-teman pimpinan yang telah bekerja keras sejak muktamar tahun 2000 untuk merajut tali persaudaraan yang tulus dengan kalangan NU tentu cukup terluka dengan apa yang dialami Muhammadiyah di Jawa Timur. Tetapi, di awal tahun 2002, upaya menguatkan persaudaraan itu saya teruskan lagi dengan hasil yang lumayan. Inilah rupanya risiko yang harus dilalui Muhammadiyah karena anggota masyarakat tertentu belum bisa membedakan antara figur Amien Rais sebagai Ketua MPR dengan Muhammadiyah yang ketika itu sudah berada di bawah kepemimpinan saya. Sampai dengan muktamar ke-45 di Malang, Juli 2005, gangguan terhadap Muhammadiyah sudah jauh berkurang, bahkan sampai hari ini, setelah saya sejak tahun itu tidak lagi berada dalam kepengurusan PP Muhammadiyah karena usia sudah 70 tahun.
Itulah sekilas pengalaman dari seorang anak kampung tersuruk dalam kiprah gerakan Muhammadiyah berhadapan dengan realitas umat dan bangsa. Suka dan getir saling melengkapi. Dalam segala cuaca, stamina spiritual memang tidak boleh melemah, sekalipun tidak jarang saya merasa sangat lelah.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/04/22/mlnr53-pengalaman-memimpin-muhammadiyah-3habis
No comments:
Post a Comment