Potret Ulama Bersahaja
Judul Buku: Soal Jawab Yang Ringan-Ringan
Penulis: AR Fakhruddin
Penerbit: Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Cetakan: Tahun 2012
Tebal: xx + 287 halaman
Oleh M. Husnaini
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
Dimuat di Matan,
Edisi Februari, 2013
Mendakwahkan Islam
yang mudah dicerna lintas kalangan, terutama kalangan awam, jelas bukan upaya
sederhana. Dibutuhkan penguasaan materi mendalam sekaligus cara penyampaian
elegan. Ada muballig yang fasih melafalkan dalil-dalil agama, tetapi gagal
membahasakannya dengan sederhana. Belakangan muncul muballig-muballig yang bisa
menyajikan dakwah Islam dengan “meriah”, tetapi materinya justru tidak
bertenaga.
Kiai Haji Abdul
Rozak Fakhruddin tampaknya mampu melampaui semua kendala di atas. Buku ini
merekam jelas bagaimana Pak AR—begitu ia akrab disapa—menghadirkan Islam yang
mudah dicerna. Ulama yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1968-1990 ini
memang dikenal sebagai ulama yang sederhana. Kenyataan itu sudah menjadi trade
mark sejak Pak AR meniti karir sebagai muballig di pelosok Sumatera Selatan
hingga dipercaya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah selama 22 tahun.
Kepribadiannya yang
sejuk dan bersahaja membuat dakwahnya mudah diterima. Ketika ditugasi mengisi
pengajian di RRI Nusantara II Yogyakarta setiap Selasa dan Sabtu—embrio naskah
buku ini—tidak sedikit pemirsa non-Muslim yang tertarik dengan uraian-uraiannya
tentang Islam. Seperti sosoknya, dakwah Pak AR memang jauh dari kesan garang,
apalagi mudah menyalahkan.
Judul Soal Jawab
Yang Ringan-Ringan jangan dipahami bahwa buku ini hanya berisi
masalah-masalah ringan. Pemberian judul demikian lebih menggambarkan cara Pak
AR dalam membantu umat memecahkan persoalan agama tanpa menambah beban hidup
mereka. Tidak disertakannya dalil juga karena Pak AR sangat memahami realita
masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, yang tingkat keberagamaannya umumnya
masih pemula.
Bagi Pak AR, dakwah
harus bil hikmah dan biqadri uqulihim (sesuai kadar akal
umat). Karena itu, yang pemahaman agamanya menengah atau bahkan sudah pakar,
silahkan merujuk dalil-dalil sendiri dalam al-Quran, hadis, dan kitab-kitab
karya ulama, semacam Bulughul Maram, Riyadhus Shalihin, Fiqhus Sunnah, Zadul
Ma’ad, dan lainnya.
Yang pasti, sebagai
ulama besar, Pak AR tidak lantas bersikap ekstrem dan arogan. Perhatikan
penggalan kalimat berikut: “Buku ini saya dasarkan atas al-Quran dan hadis
shahih. Oleh karenanya, apabila terdapat kekeliruan supaya dibenarkan dengan
dasar hadis yang shahih pula …di samping itu, saya tidak berani menetapkan
sesuatu dengan hukum tertentu, misalnya wajib, sunnah, dan sebagainya. Tentang
hal itu saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca” (hal 3).
Sungguh sikap ulama
sejati yang jauh dari sikap tinggi hati. Dan itu bukan lips service
semata. Menelusuri lembar demi lembar halaman buku ini, saya tidak menemukan
satupun kalimat yang menghakimi orang meluncur dari lisan Pak AR, seperti
bid’ah, sesat, atau kafir. Pemilihan diksi katanya lembut, susunan kalimatnya
enak didengar.
Misalnya, saat
menjawab persoalan-persoalan yang “rawan” juga tidak membuat merah telinga.
Ketika menanggapi pertanyaan seputar hukum memuliakan kuburan orang tua dengan
membangun batu nisan, Pak AR memulai jawaban, “Sesungguhnya saya merasa berat
hati menjawab pertanyaan di atas. Rasa berat hati saya itu karena nanti akan
dikatakan: Wah kiranya yang tahu tentang agama, tentang hadis, seolah hanya Pak
AR saja”…” (hal 45).
Juga ketika
menanggapi hukum sedekahan dan tahlilan untuk orang meninggal. Pak AR menulis,
“…kalau boleh saya berkata yang sebenarnya, mengadakan sedekahan ketika orang
meninggal, kemudian berturut-turut pada hari ketiganya, ketujuhnya, keempat
puluhnya, keseratusnya, dan keseribunya, itu bukan berasal dari agama Islam.
Jelasnya, Allah tidak memerintahkan, begitu pula Rasulullah SAW…” (hal 55).
Maka pelajaran
penting yang dapat diambil dari buku ini adalah seorang muballig, guru, ustad,
bahkan kiai harus mampu mengatasi persoalan keseharian umat dengan sikap
bijaksana, bahasa yang sederhana, tidak menggurui, apalagi menghakimi dan serba
menyalahkan. Sikap terakhir ini jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Justru
ia akan menambah beban masalah, dan bahkan menghancurkan ukhuwah islamiyah
di kalangan umat.
mas admin, di manakah saya dapat membeli buku ini? terima kasih.
ReplyDelete