Saturday, April 27, 2013

Ketika Muhammadiyah Melirik Tasawuf

Jurnal Media Inovasi. No. 1. TH. XII/2002. pp. 28-29.
Oleh Ahmad Najib Burhani
Selama ini banyak berkembang persepsi bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang antitasawuf. Ia tampak sebagai lembaga yang lebih menekankan pada persoalan fiqh (hukum); pembangunan amal usaha yang berupa sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan sejenisnya; dan kurang peduli dengan masalah perkembangan ruhani para pengikutnya. Orgaisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini dianggap kering ibadah, miskin ulama atau kyai, dan terlalu memuja dunia.
    
Apakah seluruh persepsi ini betul? Memang, beberapa tokoh Muhammadiyah memperlihatkan sikap yang “garang” terhadap tasawuf. Haidar Naser, misalnya, dalam beberapa kesempatan seperti Halal bi-Halal DPP IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) di UHAMKA mengatakan, “Ketika kita masih butuh rasionalisme, mengapa beberapa aktivis Muhammadiyah justru terlibat dalam gerakan antirasional seperti pada tasawuf atau spiritualitas?” Baginya, tasawuf adalah vis-a-vis rasionalisme.

Berbeda dari Haidar, Amin Abdullah yang merupakan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah justru mencoba menawarkan satu pendekatan yang selama ini asing dalam tradisi tarjih, yaitu pendekatan ‘irfany dan burhany, suatu pendekatan yang dekat dengan gaya tasawuf. Gagasan Amin Abdullah ini mendapat respon negatif dari tokoh-tokoh sepuh Muhammadiyah. Bahkan ada reaksi keras yang meminta agar buku-buku yang pernah ditulis Amin ditarik dari peredaran dan diharamkan bagi warga Muhammadiyah. 

Dukungan terhadap Amin justru datang dari kalangan muda Muhammadiyah. Mereka mencoba untuk memulai mengimplementasikan ide-ide Amin itu dalam kegiatannya. Salah satu cabang IMM, contohnya, beberapa kali mengadakan diskusi tentang Ibn ‘Arabi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar diskusi tentang Spiritualitas dan Problem Masyarakat Urban, beberapa aktivis muda Muhammadiyah tekun menggeluti wacana tasawuf, dan dalam obrolan keseharian tema tasawuf sudah seperti makanan wajib.

Akar Tasawuf di Muhammadiyah
Banyak persepsi yang keliru, termasuk di kalangan Muhammadiyah sendiri, yang menganggap organisasi ini tak memiliki “darah” tasawuf, atau lebih ekstrem lagi “LSM gajah” ini adalah gerakan antitasawuf. Penolakan terhadap TBC (taklid, bid’ah, dan c(k)hurafat) sering dianggap sebagai “surat perintah” untuk menentang tasawuf. Dalam hal ini, tasawuf dipahami sebagai gerakan yang identik dengan perilaku syirik, memuja kuburan, klenik, horor, takhayul, pelanggaran syari’at, penolakan dunia dan hidup seperti kere, dan sejenisnya.

Persepsi di atas semakin berkembang ketika Muhammadiyah dianggap identik dengan Wahabisme di Arab Saudi yang secara keras menyatakan penolakan terhadap tasawuf. Wahabi, yang agak mirip dengan Taliban di Afghanistan, pernah melakukan penggusuran terhadap kuburan-kuburan di Mekah dan Madinah, bahkan kubur Rasulullah pun hampir-hampir ikut “dibolduser”. Menurut Alwi Shihab, perbedaan paling menonjol antara Wahabisme dan Muhammadiyah adalah sikap keduanya terhadap tasawuf. Pandangan-pandangan keagamaan Ahmad Dahlan menunjukkan sikap lunak, bahkan bersahabat terhadap tasawuf. Hal inilah yang mengantar Mitsuo Nakamura, peneliti pergerakan Muhammadiyah, menunjukkan elemen-elemen tasawuf dalam ajaran Muhammadiyah.

Anggapan Nakamura itu lebih jelas tergambar dalam ungkapan ulama yang bernama kecil Muhammad Darwisy yang bertendensikan tasawuf kepada pengikut-pengikutnya. Kata-kata mutiara sufi kenamaan Hasan Basri yang senantiasa mengingatkan manusia akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari bergema dalam ungkapan-ungkapan pendiri Muhammadiyah itu. Anjuran-anjuran sufi besar Al-Muhasiby yang menekankan bahaya penyakit riya (hiprokasi), dan Yahya ibn Muaz tentang peringatan kematian dapat ditemukan persamaannya dalam anjuran-anjuran tokoh dari Kauman Yogyakarta ini. Bahkan keengganan murid Syaikh Ahmad Khatib (1855-1916), ulama kelahiran Indonesia yang pernah menempati posisi tertinggi di Makkah, untuk melibatkan diri dalam pemikiran spekulatif teologis yang mengundang perdebatan adalah merupakan kelangsungan tradisi sufi-sufi besar Islam.(Alwi Shihab, 1998)

George Makdisi, seperti juga dikutip Alwi Shihab, dalam tulisannya  Ibn Taymiyyah: A Sufi of the Qadiriya Order menempuh langkah yang cukup jauh dalam membuktikan bahwa Ibn Taimiyah sebagai mentor dan figur inspiratif gerakan-gerakan modern Islam, termasuk Ahmad Dahlan, adalah anggota dan murid tarekat Qadiriah. Ibn Taimiyah, menurut Makdisi, menunjukkan sikap positif terhadap sekian banyak sufi besar Islam semacam Al-Junaid, Al-Tustari, Al-Fudhail, dan bahkan Al-Ghazali. Ibn Taimiyah sendiri, lanjut Makdisi, telah mengekspresikan tendensi tasawufnya dalam karya-karyanya yang menarik di bidang tasawuf --antara lain dalam kitabnya yang berjudul Al-Tuhfah al-’Iraqiyyahi fil-A’mal al-Qalbiyyah.

Demikian pula halnya dengan Ibnul Qayyim Al-Jawziyah, murid pinilih Ibn Taimiyyah yang juga menjadi salah satu rujukan Muhammadiyah, memiliki sikap yang sangat moderat terhadap tasawuf. Ibnul Qayyim Al-Jawziyah bahkan menulis tiga jilid tebal buku yang diberi judul Madarij as-Salikiin baina Iyyakana’budu wa Iyyaka Nastain. Ini merupakan syarah terbaik untuk buku klasik tasawuf yang menceritakan apa yang harus kita lakukan dalam perjalanan menuju Tuhan karya Abu Ismail Abdullah Al-Anshary yang berjudul Manazil al-Salikiin (station travellers atau spiritual travellers).

Muhammad Abduh, reformis pembaru Mesir yang banyak memberikan inspirasi kepada Muhammadiyah itu, adalah murid Syekh Darwisy, penganut Tarekat Syaziliyah. Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh memaparkan bagaimana Abduh mengenang jasa gurunya itu sebagai orang yang melepaskannya dari penjara kebodohan dan ikatan taklid serta mengantarkannya pada satu cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan dan disiplin jiwa yang sempurna.         

Mana yang Ditolak Muhammadiyah?
Seyyed Hossein Nasr menganggap tasawuf sebagai spirit of Islamic religion (jiwa dan semangat agama Islam). Tanpa tasawuf, Islam akan menjadi gersang, tidak subur, bahkan tidak hidup. Berbeda dari Nasr, Fazlur Rahman Menganggap tasawuf sebagai infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam. Mana yang benar? Dari persoalan inilah kita akan berangkat untuk melihat mana tasawuf yang disetujui Muhammadiyah dan mana yang ditolak.

Tidak ada yang menolak jika dikatakan bahwa tujuan tasawuf adalah kesempurnaan akhlak. Tidak ada umat Islam yang menggugat aksioma bahwa tasawuf adalah moral education atau moral elaboration perfection. Meski ada sufi yang menganggap etika itu sebagai peringkat dasar dari tasawuf, dan kelas-kelas selanjutnya adalah union atau wahdah (persatuan atau pertemuan), ada juga love (cinta). Tapi semua tingkatan itu harus didasari oleh etika.

Selain pandangan di atas, ada beberapa sufi yang merasa tidak cukup dengan definisi dan tujuan tasawuf sebagai sekadar untuk kesempurnaan akhlak. Mereka menganggap tasawuf sebagai jalan hidup atau metode untuk mencapai ma'rifatullah, pengenalan Tuhan. Nah, dalam konteks inilah lantas masuk ke dalam tasawuf aliran-aliran filsafat Yunani, pemikiran dari Persia, dan ajaran-ajaran dari agama lain. Ajaran-ajaran ini oleh ahli syari’ah dianggap sebagai penyimpangan tasawuf dari doktrin Islam.

Ibnu Sabiin, Suhrawardi dan Al-Hallaj adalah orang-orang yang bukan saja menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk mencapai akhlak mulia, tetapi lebih untuk pengenalan Allah (ma'rifah). Bahkan sebagian sufi lain menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk menyatu dengan-Nya. Sehingga muncul istilah wahdatul wujud (panteisme), wahdatussyuhud dan sebagainya. Banyak ungkapan sufi model ini yang menjadi kontroversi. Abu Yazid Al-Busthami mengatakan, "Ana al-Haq”, saya ini adalah yang Haq (Tuhan); Al-Hallaj berkata, "saya dan Tuhan menyatu", Ibnu Sabi'in yang menyatakan bahwa  wujud ini hanya satu saja, yaitu wujud Tuhan, dan kita semua adalah bayang-bayang.

Banyak orang yang ikut-ikutan kepada ajaran mereka lantas membentuk tarekat yang tidak mengindahkan syari’at; seperti tidak perlu sembahyang, yang penting kita eling. Syariat hanya untuk orang awam. Orang yang sudah sampai ke tingkat tertentu, dia sudah tidak perlu shalat lagi. Tasawuf yang semacam itulah bagi Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan agaknya beberapa orang Muhammadiyah --yang dalam konteks ini seide dengan Fazlur Rahman-- adalah alien, sesuatu hal yang berada di luar garis-garis yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Betulkah tasawuf seperti yang ditampilkan Al-hallaj, Ibn ‘Arabi, dan sebagainya itu sebagai infiltrasi dari luar yang menggerogoti Islam dan karena itu diharamkan? Secara umum para peneliti membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf agama (sunni) dan tasawuf filsafat yang sering kita terjemahkan sebagai teosophy. Teo tapi sophia; ada filsafatnya, tapi juga ada ketuhanannya. Tasawuf sunni melulu bersumber dari Qur'an dan Sunnah. Tokoh-tokoh tasawuf sunni adalah Hasan Bashri, Al-Muhasiby, dan Al-Ghazali. Sedangkan tokoh-tokoh tasawuf filsafat yaitu Ibn Arabi, Suhrawardi Al-Maqtul (dibunuh  pada umur 39 tahun, karena dianggap memperkenalkan banyak doktrin-doktrin di luar agama). Tokoh lain adalah Ibnu Sabi’in, Al-Qanawi, dan Al-Jilly. Dalam  sejarah tasawuf di Indonesia, dikenal Hamzah Fansuri, Siti Jenar dan Ar-Raniri.

Ketika Hossein Nashr menyatakan bahwa tasawuf adalah spirit dari agama, ia pasti menunjuk kepada akhlak. Sebagaimana halnya pada saat Fazlur Rahman mengatakan bahwa tasawuf itu menggerogoti Islam, ia tidak menunjuk pada akhlak, tapi menunjuk pada hal-hal yang sifatnya kebablasan dari tasawuf. Tasawuf yang diterima oleh semuanya adalah tasawuf agama. Tasawuf falsafi masih menjadi kontroversi.

Bila kita berpikir positif, sebetulnya para pelaku tasawuf falsafi itu mempunyai niat baik. Dengan tasawuf, mereka menggali cara untuk bisa mengenali Allah. Karena bagi mereka, tujuan tasawuf bukan semata akhlak, tapi lebih untuk mengenal Allah. Dalam rangka mengenal Allah inilah berbagai metode dilakukan, termasuk ilham, mukasyafah (membuka tirai gaib), dan sejenisnya. Ini adalah cara-cara yang tidak bisa didapat melalui ilmu pengetahuan. Dalam Islam ada ilmu ladunni, ilmu yang Allah berikan kepada orang-orang tertentu melalui intuisi, karena jiwa orang tersebut bersih. Pengalaman ini hanya bisa dirasakan dan tidak bisa diucapkan. Terkadang apabila dia ucapkan, orang akan keliru memahaminya. Ia adalah state of feeling yang tidak dapat diekspresikan. Kalau diekspresikan, sama halnya dengan yang terjadi pada Al-Hallaj, Siti Jenar, dan Suhrawardi.

Imam Ghazali pernah ditanya, bagaimana sebenarnya perasaan seorang yang menjalani pengalaman spiritual itu? Ia katakan, memang susah untuk disebutkan dan sulit diutarakan, sebagaimana halnya apabila anda bertanya, bagaimana rasanya jeruk. Tidak bisa mengutarakan manis kecutnya jeruk, sebelum si penanya merasakan sendiri. Begitulah kira-kira pengalaman spiritual itu.

Masalah tasawuf lain yang mendapat sorotan tajam dari Muhammadiyah dan yang membuat banyak aktivis organisasi merasa “ngeri” dengan dunia sufi adalah persoalan zuhud. Zuhud pada mulanya adalah berusaha untuk tidak diperbudak dunia. Ada yang menganggap karena tidak boleh diperbudak dunia, maka ditinggalkan saja. Ini adalah anggapan yang salah fatal. Dalam zuhud, dunia ditinggalkan dalam pengertian jangan sampai memperbudak kita. Kita perlu dunia untuk menjadi kuat dan mengantar kepada suatu kehidupan yang menyenangkan di akhirat. Zuhud adalah tidak tergiur untuk memiliki sesuatu dan diperbudak oleh apa yang kita miliki. Gerakan zuhud seakan menganggap dunia ini bangkai yang harus ditinggalkan. Padahal tidak demikian, menurut Nabi, al-mukmin al-qawiyyu khairun minal mukmin al-dhaif, mukmin yang kuat --segala bidang-- itu lebih mulia daripada mukmin yang lemah. Al-yadul 'ulya khairun min al-yadis sufla, tangan yang memberi lebih mulia daripada yang menerima.

No comments:

Post a Comment