Oleh M. Husnaini
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya
Dimuat di Suara Muhammadiyah, 16-31 Desember 2011
Di tengah perubahan zaman yang demikian cepat,
tantangan yang dihadapi Muhammadiyah tidak semakin mudah. Sejak berdiri satu
abad silam, Muhammadiyah telah mengukuhkan jati dirinya sebagai gerakan Islam
yang melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah dilakukan dengan mendirikan sistem
organisasi yang dinamis dan berkemajuan, dengan berlandaskan al-Quran dan
as-Sunnah. Tajdid dilakukan dengan dua cara, yaitu pemurnian (purifikasi) dan
pembaruan atau pengembangan (dinamisasi).
Wujud nyata dari gerakan itu sudah tercermin
dalam kepeloporan Muhammadiyah dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam
modern, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), panti asuhan, dan mendobrak segala
praktik dan pemikiran Islam yang jumud. Namun demikian, sejalan dengan tema yang
diusung dalam Muktamar Satu Abad: Gerak Melintasi Zaman, Dakwah dan Tajdid
Menuju Peradaban Utama, diperlukan
perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, serta metodologi konteksual dan
multiperspektif agar gerakan tajdid Muhammadiyah dapat masuk ke percaturan
dunia kontemporer sembari tetap kokoh dalam jati dirinya yang genuine.
Kontekstualisasi gerakan tajdid semakin
niscaya, ketika Muhammadiyah menjadi sebuah gerakan Islam yang memang punya
jati diri khusus dan berbeda dari organisasi Islam manapun di dunia. Sebagai
gerakan pemurnian, Muhammadiyah berbeda dari gerakan Islam semisal Wahhabi atau
Ikhwan al-Muslimin. Modernisme Islam Muhammadiyah juga tidak sama dan sebangun
dengan gerakan Islam modernis semacam Persatuan Islam (Persis).
Muhammadiyah bukanlah gerakan Islam bercorak
salafiah dan lebih menonjolkan aspek pemurnian an-sich, apalagi sampai
menempuh jalur kekerasan. Menurut Prof. Deliar Noer (1996), gerakan
Muhammadiyah bersifat toleran. Hal ini bisa dipahami. Sebab, KH. Ahmad Dahlan,
dalam pandangan Prof. Robert W Hefner (2001) adalah seorang pemikir Islam
moderat, yang berani mengambil modernitas Barat demi kemajuan umat dan dunia
Islam.
Tidak heran, Prof. Nurcholish Madjid (1983)
pernah menyatakan, Kiai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang
secara cerdas mampu menangkap makna tersirat tafsir al-Manar, sehingga
langkah tajdidnya bersifat break-through (terobosan). Dalam konteks ini,
Dr. Haedar Nashir (2006) menegaskan, gerakan Muhammadiyah tidak sekadar
meneguhkan dan memurnikan paham agama semata, tetapi juga mampu memajukan
kehidupan umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan kata
lain, Muhammadiyah telah menghadirkan Islam yang murni dan berkemajuan.
Pernyataan-pernyataan tadi bukan isapan jempol.
Senyatanya, memang terdapat dialektika pemikiran yang tidak pernah berhenti
dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan Islam yang murni dan berkemajuan, di
satu sisi Muhammadiyah terus berupaya mempertahankan keotentikan Islam sesuai
al-Quran dan as-Sunnah, lalu mengembangkan ijtihad dan tajdid yang senapas
dengan dinamika zaman di sisi lain. Muhammadiyah memang tidak anti-ijtihad,
selama itu sesuai dengan jiwa Islam.
Lima
Agenda
Di
tengah kemajuan teknologi informasi yang membuat manusia hidup dalam an integrated
digital network seperti sekarang, paling tidak, ada lima agenda tajdid yang
strategis dan patut segera diupayakan. Pertama, tajdid dalam bidang akidah.
Yang dimaksud pembaruan akidah di sini tentu bukan memodifikasi akidah Islam,
tetapi melenyapkan segala gejala dan praktik syirik. Tidak disangkal, pada
manusia modern, syirik kerap tampil dalam kemasan modern pula.
Materialisme,
misalnya, adalah syirik dalam kemasan modern. Saat ini, ada kecenderungan
seolah-olah materi (iptek, harta, tahta) adalah means everything, sehingga
menjadi ukuran keberhasilan dan kegagalan. Oleh pelaku syirik modern, segala
yang tampak dan nyata itu diberhalakan, senantiasa dikejar, seraya
mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan. Inilah yang harus diperbarui, dikikis
habis sampai ke akar-akarnya.
Kedua, tajdid
dalam bidang teologi. Yang dimaksud teologi di sini bukan ilmu teologi gaya
lama, seperti membahas secara bertele-tele dua puluh sifat Allah, dimanakah
kedudukan seorang muslim yang melakukan dosa besar, kemakhlukan dan keazalian
al-Quran, dan semacamnya. Semua itu bukan berarti tidak penting. Namun, yang
lebih penting lagi adalah bagaimana hubungan antara ketuhanan dan kemanusiaan.
Jadi, teologi tidak boleh sekadar didiskusikan secara njelimet dan tidak
jelas ujung-pangkalnya, tetapi harus dibumikan. Ajaran Islam harus menjadi
resep mujarab atas problem kehidupan nyata manusia, berupa eksploitasi,
penindasan, dan kemiskinan.
Ketiga, tajdid
dalam bidang ilmu pengetahuan. Prof. M. Amin Abdullah pernah menyatakan, umat
Islam jangan sampai terkena expired knowledge. Karena itu, kita harus
terus meng-update ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini sejalan dengan apa
yang dikatakan Alvin Toffler (1980), bahwa dalam dunia modern ini ada tiga
kekuatan: low level of power itu kekuatan fisik, midlevel of power
itu kekuatan ekonomi, sementara high level of power adalah sains dan
teknologi.
Jadi,
sains dan teknologi adalah kekuatan paling ampuh. Sekarang ada istilah ulama
pesantren dan ulama kampus. Dalam upaya meningkatkan sains dan teknologi, tidak
ada salahnya mereka yang akrab dengan kitab kuning (al-kutub al-shafra) bekerja
sama dengan mereka yang menguasai kitab putih (al-kutub al-baidha).
Keempat, tajdid
dalam bidang manajemen organisasi. Kemajuan teknologi informasi telah
menjadikan jarak spasial semakin menyempit. Begitu mudahnya orang mendapat
informasi dari seluruh penjuru dunia, tanpa menunggu dalam waktu lama. Menurut
David Hakken (1999), ruang maya (cyberspace) telah menjadi ruang
bertatap pikiran antara komunitas dunia. Karena itu, dalam pemanfaatan ruang
maya ini, Muhammadiyah jangan lagi tertinggal oleh organisasi Islam lain. Bukankah
Muhammadiyah ini tidak sebatas berorientasi dalam lingkup nasional, tetapi juga
internasional. Pemanfaatan ruang maya, selain untuk kepentingan internal, juga
sangat berguna untuk melebarkan sayap dakwah ke seluruh warga dunia. Terlebih,
sebagai organisasi Islam dengan amal usaha terbesar dan tersukses di dunia,
kehadiran Muhammadiyah di ruang maya, jelas akan menjadi bumbu penyedap bagi
kehidupan umat manusia di dunia.
Kelima, tajdid
dalam bidang etos kerja. Islam ini adalah agama yang mengajarkan orientasi
kerja (achievement-orientation). Paham fatalisme atau paham nasib tidak
punya tempat dalam Islam. Yang harus disadari, sekarang ini kita telah memasuki
era liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asia Tenggara. Pada 2020,
kita akan memasuki era liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asia
Pasifik (Indonesia, China, Jepang, Taiwan, Korea, Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Selandia Baru). Kita benar-benar tidak ingin umat Islam ini rajin
shalat lima waktu, berpuasa Ramadan, dan banyak mengaji al-Quran, tetapi
disiplin, kerja keras, menghargai waktu, prestasi, dan kejujuran tidak menjadi way
of life. Jika itu terjadi, jangan kaget jika nanti umat Islam hanya akan
menjadi kuli internasional.
Pembaruan
atas lima bidang tadi harus segera dilakukan. Muhammadiyah jangan sampai
terjebak pada masalah-masalah kontroversial yang sebenarnya sepele, tetapi
kerap melelahkan. Masih banyak agenda lebih besar, strategis, dan faktual
ketimbang sibuk mengurus masalah-masalah periferal (pinggiran), apalagi sekadar
ritualistik, yang bukan merupakan agenda utama pembaruan Islam menuju peradaban
utama.
Saya ingin memfokuskan tanggapan saya pada , tajdid di bidang teologi, bahwa perlunya Muhammadiyah meramu teologi yg mempunyai daya sahut pada kemanusiaan. Selain teologi baru Muhammadiyah ini, akan melahirkan etos solidaritas kemanusiaan yg besar, tetapi sebaiknya juga diikuti dengan etos kritis terhadap rezim kekuasaan. Hal ini dikarenakan problem kemanusiaan dan penindasan struktural, selalu berkaitan erat.
ReplyDelete