Tuesday, March 12, 2013

Kontekstualisasi Gerakan Tajdid



Oleh M. Husnaini
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Dimuat di Suara Muhammadiyah, 16-31 Desember 2011
Di tengah perubahan zaman yang demikian cepat, tantangan yang dihadapi Muhammadiyah tidak semakin mudah. Sejak berdiri satu abad silam, Muhammadiyah telah mengukuhkan jati dirinya sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah dilakukan dengan mendirikan sistem organisasi yang dinamis dan berkemajuan, dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Tajdid dilakukan dengan dua cara, yaitu pemurnian (purifikasi) dan pembaruan atau pengembangan (dinamisasi).

Wujud nyata dari gerakan itu sudah tercermin dalam kepeloporan Muhammadiyah dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam modern, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), panti asuhan, dan mendobrak segala praktik dan pemikiran Islam yang jumud. Namun demikian, sejalan dengan tema yang diusung dalam Muktamar Satu Abad: Gerak Melintasi Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama, diperlukan perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, serta metodologi konteksual dan multiperspektif agar gerakan tajdid Muhammadiyah dapat masuk ke percaturan dunia kontemporer sembari tetap kokoh dalam jati dirinya yang genuine.

Kontekstualisasi gerakan tajdid semakin niscaya, ketika Muhammadiyah menjadi sebuah gerakan Islam yang memang punya jati diri khusus dan berbeda dari organisasi Islam manapun di dunia. Sebagai gerakan pemurnian, Muhammadiyah berbeda dari gerakan Islam semisal Wahhabi atau Ikhwan al-Muslimin. Modernisme Islam Muhammadiyah juga tidak sama dan sebangun dengan gerakan Islam modernis semacam Persatuan Islam (Persis).

Muhammadiyah bukanlah gerakan Islam bercorak salafiah dan lebih menonjolkan aspek pemurnian an-sich, apalagi sampai menempuh jalur kekerasan. Menurut Prof. Deliar Noer (1996), gerakan Muhammadiyah bersifat toleran. Hal ini bisa dipahami. Sebab, KH. Ahmad Dahlan, dalam pandangan Prof. Robert W Hefner (2001) adalah seorang pemikir Islam moderat, yang berani mengambil modernitas Barat demi kemajuan umat dan dunia Islam.

Tidak heran, Prof. Nurcholish Madjid (1983) pernah menyatakan, Kiai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang secara cerdas mampu menangkap makna tersirat tafsir al-Manar, sehingga langkah tajdidnya bersifat break-through (terobosan). Dalam konteks ini, Dr. Haedar Nashir (2006) menegaskan, gerakan Muhammadiyah tidak sekadar meneguhkan dan memurnikan paham agama semata, tetapi juga mampu memajukan kehidupan umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan kata lain, Muhammadiyah telah menghadirkan Islam yang murni dan berkemajuan.

Pernyataan-pernyataan tadi bukan isapan jempol. Senyatanya, memang terdapat dialektika pemikiran yang tidak pernah berhenti dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan Islam yang murni dan berkemajuan, di satu sisi Muhammadiyah terus berupaya mempertahankan keotentikan Islam sesuai al-Quran dan as-Sunnah, lalu mengembangkan ijtihad dan tajdid yang senapas dengan dinamika zaman di sisi lain. Muhammadiyah memang tidak anti-ijtihad, selama itu sesuai dengan jiwa Islam.

Lima Agenda
Di tengah kemajuan teknologi informasi yang membuat manusia hidup dalam an integrated digital network seperti sekarang, paling tidak, ada lima agenda tajdid yang strategis dan patut segera diupayakan. Pertama, tajdid dalam bidang akidah. Yang dimaksud pembaruan akidah di sini tentu bukan memodifikasi akidah Islam, tetapi melenyapkan segala gejala dan praktik syirik. Tidak disangkal, pada manusia modern, syirik kerap tampil dalam kemasan modern pula.

Materialisme, misalnya, adalah syirik dalam kemasan modern. Saat ini, ada kecenderungan seolah-olah materi (iptek, harta, tahta) adalah means everything, sehingga menjadi ukuran keberhasilan dan kegagalan. Oleh pelaku syirik modern, segala yang tampak dan nyata itu diberhalakan, senantiasa dikejar, seraya mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan. Inilah yang harus diperbarui, dikikis habis sampai ke akar-akarnya.

Kedua, tajdid dalam bidang teologi. Yang dimaksud teologi di sini bukan ilmu teologi gaya lama, seperti membahas secara bertele-tele dua puluh sifat Allah, dimanakah kedudukan seorang muslim yang melakukan dosa besar, kemakhlukan dan keazalian al-Quran, dan semacamnya. Semua itu bukan berarti tidak penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana hubungan antara ketuhanan dan kemanusiaan. Jadi, teologi tidak boleh sekadar didiskusikan secara njelimet dan tidak jelas ujung-pangkalnya, tetapi harus dibumikan. Ajaran Islam harus menjadi resep mujarab atas problem kehidupan nyata manusia, berupa eksploitasi, penindasan, dan kemiskinan.

Ketiga, tajdid dalam bidang ilmu pengetahuan. Prof. M. Amin Abdullah pernah menyatakan, umat Islam jangan sampai terkena expired knowledge. Karena itu, kita harus terus meng-update ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Alvin Toffler (1980), bahwa dalam dunia modern ini ada tiga kekuatan: low level of power itu kekuatan fisik, midlevel of power itu kekuatan ekonomi, sementara high level of power adalah sains dan teknologi.

Jadi, sains dan teknologi adalah kekuatan paling ampuh. Sekarang ada istilah ulama pesantren dan ulama kampus. Dalam upaya meningkatkan sains dan teknologi, tidak ada salahnya mereka yang akrab dengan kitab kuning (al-kutub al-shafra) bekerja sama dengan mereka yang menguasai kitab putih (al-kutub al-baidha).

Keempat, tajdid dalam bidang manajemen organisasi. Kemajuan teknologi informasi telah menjadikan jarak spasial semakin menyempit. Begitu mudahnya orang mendapat informasi dari seluruh penjuru dunia, tanpa menunggu dalam waktu lama. Menurut David Hakken (1999), ruang maya (cyberspace) telah menjadi ruang bertatap pikiran antara komunitas dunia. Karena itu, dalam pemanfaatan ruang maya ini, Muhammadiyah jangan lagi tertinggal oleh organisasi Islam lain. Bukankah Muhammadiyah ini tidak sebatas berorientasi dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional. Pemanfaatan ruang maya, selain untuk kepentingan internal, juga sangat berguna untuk melebarkan sayap dakwah ke seluruh warga dunia. Terlebih, sebagai organisasi Islam dengan amal usaha terbesar dan tersukses di dunia, kehadiran Muhammadiyah di ruang maya, jelas akan menjadi bumbu penyedap bagi kehidupan umat manusia di dunia.

Kelima, tajdid dalam bidang etos kerja. Islam ini adalah agama yang mengajarkan orientasi kerja (achievement-orientation). Paham fatalisme atau paham nasib tidak punya tempat dalam Islam. Yang harus disadari, sekarang ini kita telah memasuki era liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asia Tenggara. Pada 2020, kita akan memasuki era liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asia Pasifik (Indonesia, China, Jepang, Taiwan, Korea, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru). Kita benar-benar tidak ingin umat Islam ini rajin shalat lima waktu, berpuasa Ramadan, dan banyak mengaji al-Quran, tetapi disiplin, kerja keras, menghargai waktu, prestasi, dan kejujuran tidak menjadi way of life. Jika itu terjadi, jangan kaget jika nanti umat Islam hanya akan menjadi kuli internasional.

Pembaruan atas lima bidang tadi harus segera dilakukan. Muhammadiyah jangan sampai terjebak pada masalah-masalah kontroversial yang sebenarnya sepele, tetapi kerap melelahkan. Masih banyak agenda lebih besar, strategis, dan faktual ketimbang sibuk mengurus masalah-masalah periferal (pinggiran), apalagi sekadar ritualistik, yang bukan merupakan agenda utama pembaruan Islam menuju peradaban utama.

1 comment:

  1. Saya ingin memfokuskan tanggapan saya pada , tajdid di bidang teologi, bahwa perlunya Muhammadiyah meramu teologi yg mempunyai daya sahut pada kemanusiaan. Selain teologi baru Muhammadiyah ini, akan melahirkan etos solidaritas kemanusiaan yg besar, tetapi sebaiknya juga diikuti dengan etos kritis terhadap rezim kekuasaan. Hal ini dikarenakan problem kemanusiaan dan penindasan struktural, selalu berkaitan erat.

    ReplyDelete