Kompas, 21 November 2012
MC Ricklefs
Sebagai institusi agama dan bakti sosial yang amat besar, Muhammadiyah terpaksa menjalin hubungan dengan pemerintah yang ada. Pada zaman kolonial isu ini agak rumit.
Di satu sisi Muhammadiyah kurang senang dengan ”netralitas” pemerintah kolonial dalam bidang agama, yang memungkinkan misi-misi Kristen mencari pengikut baru dalam masyarakat Indonesia. Di sisi lain Muhammadiyah merangkul pendekatan pendidikan modern pemerintah: bekerja sama dengan pemerintah dalam pendidikan, bahkan meniru kegiatan misi Kristen dalam amal usahanya.
Selama periode Revolusi dan Orde Lama Soekarno, Muhammadiyah berusaha memperkuat masyarakat madani dan menolong kaum fakir dan miskin. Pada masa itu, organisasi yang semakin besar ini harus menghadapi pertentangan dari pihak komunis dan kompetitor—terutama pada tingkat akar rumput di pedalaman– dari kaum tradisionalis, yang terutama di- wakili oleh Nahdlatul Ulama (NU). Pemerintah waktu itu cukup lemah dan kacau sehingga Muhammadiyah bisa jalan terus dengan kegiatannya tanpa harus memperhatikan sikap pemerintah.
Soeharto pro-Soeharto
Selama periode Orde Baru, pengalaman Muhammadiyah sekali lagi cukup rumit. Rezim Soeharto merupakan pemerintah yang pertama di Indonesia yang betul-betul beraspirasi totaliter—yaitu bertujuan mengontrol baik pikiran masyarakat maupun aktivitasnya secara total—dan berkemungkinan memenuhi aspirasi ini.
Namun, negara RI begitu besar, birokrasi dan militer begitu tak efisien, dan pemerintah begitu korup sehingga totaliterianisme itu tak bisa dijalankan sepenuhnya. Meski demikian, rezim Orde Baru merupakan pemerintah yang jauh lebih kuat daripada era sebelumnya dan Muhammadiyah–sama dengan semua institusi lain–harus bersikap terhadap pemerintah itu.
Soeharto kadang-kadang ditafsirkan sebagai tokoh yang anti-Islam pada mulanya, tetapi kemudian mengubah sikapnya menjadi pro-Islam pada akhirnya. Menurut saya, analisis itu salah karena pertanyaannya salah. Pertanyaannya bukan apakah Soeharto anti atau pro-Islam? Soeharto selalu pro-Soeharto; begitu saja. Karena itu, kadang-kadang rezimnya mendukung salah satu organisasi atau unsur sosial, kadang- kadang tidak. Yang penting ialah apakah institusi atau unsur sosial itu mendukung rezim dan tujuannya. Dari permulaannya, Orde Baru ingin melemahkan atau menghapus semua organisasi yang merupakan kompetitor atas rezim itu.
Rezim itu mendukung proses islamisasi dalam masyarakat karena proses tersebut mendukung tujuannya (1) mengontrol masyarakat dari atas sampai ke bawah dan (2) menghapus semua sisa-sisa komunisme. Namun, penting bahwa rezimlah yang memimpin itu. Jadi, pemerintah mendirikan atau melanjutkan institusi-institusi islamisasi sendiri: Pendidikan Tinggi Da’wah Islam, Gabungan Usaha Pembinaan Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Mental Agama, Majelis Ulama Indonesia, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, serta banyak masjid dan langgar yang didirikannya.
Beberapa tokoh Muhammadiyah sangat marah kepada rezim itu karena pembangunan, modernisasi, keterbukaan terhadap investor dan negara asing; juga karena pemerintah sendiri ingin mendominasi bidang agama. Rezim itu memungkinkan perkembangan baru yang dianggap kurang sehat, terutama (yang mencerminkan kebijakan kolonial) sikap pemerintah terhadap agama yang membuka masyarakat RI kepada gelombang kristenisasi yang mengejutkan pada 1960-an dan 1970-an.
Perkembangan ini paling nyata di kota-kota Jawa yang juga merupakan pusat kekuatan Muhammadiyah. Pada 1971, misalnya, jumlah penduduk Yogyakarta, ibu kota Muhammadiyah, sudah 11,6 persen Kristen. Pada 2006 menjadi 20,8 persen.
Pada 1969, tokoh sangat terkemuka, Hamka, berpidato di konferensi Muhammadiyah di Ponorogo. Dia memuji-muji pikiran tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutub dan pemikir Islamis Pakistan, Maududi. Dia sangat marah terhadap pemerintah yang, menurut Hamka, memperbolehkan dan malah mendukung kerja sama antara agama-agama, keluarga berencana, porno, miniskirt, Beattles, judi, ganja, dan mode hippy yang akan merusak umat Islam. Dia mencela serangan pikiran dari luar (Barat), misalnya filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, yang dia garis bawahi seorang Yahudi karena eksistensialismenya (yang dinamakan Wujudiyya oleh Hamka) lebih berbahaya daripada komunisme.
AR Fakhruddin membuka konferensi Angkatan Muda Muhammadiyah pada 1976. Menurut dia, ada upaya gerakan menghapus Islam secara total dari Pulau Jawa dalam 15-30 tahun dan dari RI seluruhnya dalam 50 tahun. Bahkan, ada kelompok yang bertujuan membersihkan Islam secara total dalam tiga tahun sesudah Pemilu 1977. Jadi, Angkatan Muda Muhammadiyah harus meningkatkan dakwahnya: harus memperkuat kegiatannya dalam amar makruf nahi mungkar.
Merasa terancam
Cukup banyak tokoh lain dari Muhammadiyah atau dari kaum modernis lebih umum yang merasa terancam oleh pemerintahan Soeharto. Sesudah jelas bahwa partai politik modernis Masyumi tidak boleh dihidupkan kembali, frustrasi politik kaum modernis cukup besar. Frustrasi itu tambah besar karena gelombang kristenisasi pada awal Orde Baru, perubahan sosial, dan korupsi rezim.
Pada saat yang sama pemerintah menjalankan modernisasi pendidikan yang sangat berdampak. Ratusan ribu sekolah didirikan. Orang yang melek huruf berkembang dengan pesat bersama dengan mereka yang bisa berbahasa bahasa nasional. Maka, bagian Muhammadiyah dalam persekolahan berkurang. Pada 1988, 44.430 guru di 4.262 sekolah Muhammadiyah mengajar hanya 1,6 persen dari semua anak sekolah di RI, yang jumlahnya saat itu 37,5 juta orang.
Di sekolah-sekolah negeri, pelajaran agama diwajibkan. Versi Islam yang diajarkan pada umumnya sesuai dengan tafsiran modernis. Apalagi, guru-guru agama di sekolah-sekolah negeri itu termasuk banyak lulusan dan aktivis Muhammadiyah. Alhasil, di tempat-tempat dengan sekolah-sekolah baru sering didirikan juga cabang Muhammadiyah baru. Madrasah Muhammadiyah dirangkul dalam sistem pendidikan nasional pada 1975 dengan kurikulum yang 70 persen ”sekuler” dan hanya 30 persen agama. Sementara selama 20 tahun pertama era Soeharto, pihak NU dicurigai oleh rezim dan pesantren-pesantrennya yang hanya mengajar agama kehilangan subsidi dari pemerintah.
Perluasan pendidikan umum yang dikaitkan dengan perluasan pendidikan agama dalam setiap sekolah memperluas pengaruh Muhammadiyah dan pendekatan modernis pada umumnya. Ini juga mendukung proses umum memperluas dan memperdalam pengaruh nilai Islam dalam masyarakat. Proses islamisasi jelas kuat dalam masyarakat Jawa yang sebelumnya mayoritas abangan. Sebagai indikator, pada 1969-1970 jumlah haji dari Jawa Tengah hanya 805 orang, sedangkan lima tahun sesudah itu sudah 4.024 orang. Sekarang sudah puluhan ribu dan hanya dibatasi oleh kuota Arab Saudi.
Jadi, pada era Orde Baru, Muhammadiyah merupakan pengkritik pemerintah ataupun teman bekerjasamanya dan meraih keuntungan dari rezim itu. Integrasi yang cukup kuat antara pemerintah dan agama merupakan salah satu warisan era Soeharto yang masih nyata dalam era Reformasi. Misalnya, fatwa MUI sering dianggap pemerintah dan polisi sebagai hukum negara: ”tobat” pengikut ”aliran sesat” dilaksanakan di kantor polisi dan disaksikan oleh polisi, militer, dan intel. Parpol-parpol mendirikan cabang dakwah. Politik mahasiswa hampir 100 persen diorganisasikan menurut fraksi agama.
Dalam suasana demikian, Muhammadiyah masih harus merumuskan sikap dan hubungan dengan pemerintah: mana yang paling cocok dengan kepentingan organisasinya, ribuan amal usahanya, dan puluhan juta pengikutnya.
MC Ricklefs Profesor Emeritus Australian National University
MC Ricklefs
Sebagai institusi agama dan bakti sosial yang amat besar, Muhammadiyah terpaksa menjalin hubungan dengan pemerintah yang ada. Pada zaman kolonial isu ini agak rumit.
Di satu sisi Muhammadiyah kurang senang dengan ”netralitas” pemerintah kolonial dalam bidang agama, yang memungkinkan misi-misi Kristen mencari pengikut baru dalam masyarakat Indonesia. Di sisi lain Muhammadiyah merangkul pendekatan pendidikan modern pemerintah: bekerja sama dengan pemerintah dalam pendidikan, bahkan meniru kegiatan misi Kristen dalam amal usahanya.
Selama periode Revolusi dan Orde Lama Soekarno, Muhammadiyah berusaha memperkuat masyarakat madani dan menolong kaum fakir dan miskin. Pada masa itu, organisasi yang semakin besar ini harus menghadapi pertentangan dari pihak komunis dan kompetitor—terutama pada tingkat akar rumput di pedalaman– dari kaum tradisionalis, yang terutama di- wakili oleh Nahdlatul Ulama (NU). Pemerintah waktu itu cukup lemah dan kacau sehingga Muhammadiyah bisa jalan terus dengan kegiatannya tanpa harus memperhatikan sikap pemerintah.
Soeharto pro-Soeharto
Selama periode Orde Baru, pengalaman Muhammadiyah sekali lagi cukup rumit. Rezim Soeharto merupakan pemerintah yang pertama di Indonesia yang betul-betul beraspirasi totaliter—yaitu bertujuan mengontrol baik pikiran masyarakat maupun aktivitasnya secara total—dan berkemungkinan memenuhi aspirasi ini.
Namun, negara RI begitu besar, birokrasi dan militer begitu tak efisien, dan pemerintah begitu korup sehingga totaliterianisme itu tak bisa dijalankan sepenuhnya. Meski demikian, rezim Orde Baru merupakan pemerintah yang jauh lebih kuat daripada era sebelumnya dan Muhammadiyah–sama dengan semua institusi lain–harus bersikap terhadap pemerintah itu.
Soeharto kadang-kadang ditafsirkan sebagai tokoh yang anti-Islam pada mulanya, tetapi kemudian mengubah sikapnya menjadi pro-Islam pada akhirnya. Menurut saya, analisis itu salah karena pertanyaannya salah. Pertanyaannya bukan apakah Soeharto anti atau pro-Islam? Soeharto selalu pro-Soeharto; begitu saja. Karena itu, kadang-kadang rezimnya mendukung salah satu organisasi atau unsur sosial, kadang- kadang tidak. Yang penting ialah apakah institusi atau unsur sosial itu mendukung rezim dan tujuannya. Dari permulaannya, Orde Baru ingin melemahkan atau menghapus semua organisasi yang merupakan kompetitor atas rezim itu.
Rezim itu mendukung proses islamisasi dalam masyarakat karena proses tersebut mendukung tujuannya (1) mengontrol masyarakat dari atas sampai ke bawah dan (2) menghapus semua sisa-sisa komunisme. Namun, penting bahwa rezimlah yang memimpin itu. Jadi, pemerintah mendirikan atau melanjutkan institusi-institusi islamisasi sendiri: Pendidikan Tinggi Da’wah Islam, Gabungan Usaha Pembinaan Pendidikan Islam, Proyek Pembinaan Mental Agama, Majelis Ulama Indonesia, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, serta banyak masjid dan langgar yang didirikannya.
Beberapa tokoh Muhammadiyah sangat marah kepada rezim itu karena pembangunan, modernisasi, keterbukaan terhadap investor dan negara asing; juga karena pemerintah sendiri ingin mendominasi bidang agama. Rezim itu memungkinkan perkembangan baru yang dianggap kurang sehat, terutama (yang mencerminkan kebijakan kolonial) sikap pemerintah terhadap agama yang membuka masyarakat RI kepada gelombang kristenisasi yang mengejutkan pada 1960-an dan 1970-an.
Perkembangan ini paling nyata di kota-kota Jawa yang juga merupakan pusat kekuatan Muhammadiyah. Pada 1971, misalnya, jumlah penduduk Yogyakarta, ibu kota Muhammadiyah, sudah 11,6 persen Kristen. Pada 2006 menjadi 20,8 persen.
Pada 1969, tokoh sangat terkemuka, Hamka, berpidato di konferensi Muhammadiyah di Ponorogo. Dia memuji-muji pikiran tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutub dan pemikir Islamis Pakistan, Maududi. Dia sangat marah terhadap pemerintah yang, menurut Hamka, memperbolehkan dan malah mendukung kerja sama antara agama-agama, keluarga berencana, porno, miniskirt, Beattles, judi, ganja, dan mode hippy yang akan merusak umat Islam. Dia mencela serangan pikiran dari luar (Barat), misalnya filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre, yang dia garis bawahi seorang Yahudi karena eksistensialismenya (yang dinamakan Wujudiyya oleh Hamka) lebih berbahaya daripada komunisme.
AR Fakhruddin membuka konferensi Angkatan Muda Muhammadiyah pada 1976. Menurut dia, ada upaya gerakan menghapus Islam secara total dari Pulau Jawa dalam 15-30 tahun dan dari RI seluruhnya dalam 50 tahun. Bahkan, ada kelompok yang bertujuan membersihkan Islam secara total dalam tiga tahun sesudah Pemilu 1977. Jadi, Angkatan Muda Muhammadiyah harus meningkatkan dakwahnya: harus memperkuat kegiatannya dalam amar makruf nahi mungkar.
Merasa terancam
Cukup banyak tokoh lain dari Muhammadiyah atau dari kaum modernis lebih umum yang merasa terancam oleh pemerintahan Soeharto. Sesudah jelas bahwa partai politik modernis Masyumi tidak boleh dihidupkan kembali, frustrasi politik kaum modernis cukup besar. Frustrasi itu tambah besar karena gelombang kristenisasi pada awal Orde Baru, perubahan sosial, dan korupsi rezim.
Pada saat yang sama pemerintah menjalankan modernisasi pendidikan yang sangat berdampak. Ratusan ribu sekolah didirikan. Orang yang melek huruf berkembang dengan pesat bersama dengan mereka yang bisa berbahasa bahasa nasional. Maka, bagian Muhammadiyah dalam persekolahan berkurang. Pada 1988, 44.430 guru di 4.262 sekolah Muhammadiyah mengajar hanya 1,6 persen dari semua anak sekolah di RI, yang jumlahnya saat itu 37,5 juta orang.
Di sekolah-sekolah negeri, pelajaran agama diwajibkan. Versi Islam yang diajarkan pada umumnya sesuai dengan tafsiran modernis. Apalagi, guru-guru agama di sekolah-sekolah negeri itu termasuk banyak lulusan dan aktivis Muhammadiyah. Alhasil, di tempat-tempat dengan sekolah-sekolah baru sering didirikan juga cabang Muhammadiyah baru. Madrasah Muhammadiyah dirangkul dalam sistem pendidikan nasional pada 1975 dengan kurikulum yang 70 persen ”sekuler” dan hanya 30 persen agama. Sementara selama 20 tahun pertama era Soeharto, pihak NU dicurigai oleh rezim dan pesantren-pesantrennya yang hanya mengajar agama kehilangan subsidi dari pemerintah.
Perluasan pendidikan umum yang dikaitkan dengan perluasan pendidikan agama dalam setiap sekolah memperluas pengaruh Muhammadiyah dan pendekatan modernis pada umumnya. Ini juga mendukung proses umum memperluas dan memperdalam pengaruh nilai Islam dalam masyarakat. Proses islamisasi jelas kuat dalam masyarakat Jawa yang sebelumnya mayoritas abangan. Sebagai indikator, pada 1969-1970 jumlah haji dari Jawa Tengah hanya 805 orang, sedangkan lima tahun sesudah itu sudah 4.024 orang. Sekarang sudah puluhan ribu dan hanya dibatasi oleh kuota Arab Saudi.
Jadi, pada era Orde Baru, Muhammadiyah merupakan pengkritik pemerintah ataupun teman bekerjasamanya dan meraih keuntungan dari rezim itu. Integrasi yang cukup kuat antara pemerintah dan agama merupakan salah satu warisan era Soeharto yang masih nyata dalam era Reformasi. Misalnya, fatwa MUI sering dianggap pemerintah dan polisi sebagai hukum negara: ”tobat” pengikut ”aliran sesat” dilaksanakan di kantor polisi dan disaksikan oleh polisi, militer, dan intel. Parpol-parpol mendirikan cabang dakwah. Politik mahasiswa hampir 100 persen diorganisasikan menurut fraksi agama.
Dalam suasana demikian, Muhammadiyah masih harus merumuskan sikap dan hubungan dengan pemerintah: mana yang paling cocok dengan kepentingan organisasinya, ribuan amal usahanya, dan puluhan juta pengikutnya.
MC Ricklefs Profesor Emeritus Australian National University
No comments:
Post a Comment