REPUBLIKA.CO.ID, Selasa, 20 November 2012, 07:00 WIB
oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya tidak punya cacatan sudah berapa ratus ribu anak bangsa yang pernah diasuh, dididik, dan dirawat oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Dari sisi ini warga Muhammadiyah secara keseluruhan pantas punya kebanggaan tersendiri dengan sebuah senyum syukur.
Dalam sebuah makalah pada Konferensi Internasional ke-3 tentang Islam dan Pendidikan Tinggi di Kuantan, Pahang (Malaysia), 1-2 Oktober 2012, di bawah tajuk “Muhammadiyah and Its Socio-Religio-Educational Network”, saya telah mencoba menyajikan di depan forum bergensi itu tentang apa dan siapa Muhammadiyah itu. Cobalah tuan dan puan tengok jumlah rumah sakit, klinik, dan poliklinik milik Muhammadiyah sudah berada pada angka 457, sementara perguruan tinggi ada 172. Dari angka 172 ini terdapat 40 universitas dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 450.000, sekitar 10 persen dari keseluruhan mahasiswa Indonesia.
Ada lagi Universitas Muhammadiyah yang unik di Kupang, karena sekitar 75 persen mahasiswanya beragama selain Islam. Sebagai salah seorang yang terlibat dalam kegiatan lintas iman pada skala nasional dan global, bagi saya fenomena Kupang ini sangat menggembirakan, bukan untuk menambah jumlah pemeluk Islam, tetapi membantu negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari 40 universitas, terdapat 10 besar dengan jumlah mahasiswa bergerak antara 11.000 sampai 36.000, berlokasi satu di Makassar, satu di Malang, satu di Solo, dua di Jogjakarta, satu di Medan, satu di, Palembang, satu di Jakarta, satu di Bengkulu, dan satu di Ternate.
Dalam perspektif lokasi ini saja, karakter nasional Muhammadiyah sangat kentara. Dalam ungkapan lain, gerak nafas Muhammadiyah sudah menyatu dan melebur dengan nafas keindonesiaan. Pada saat orang agak gelisah dengan masalah integrasi nasional, Muhammadiyah telah bekerja dengan rapi untuk tujuan itu melalui amal kongkret, tanpa banyak berwacana.
Di ranah kesehatan, contoh kecil di bawah ini patut dicermati. Beberapa tahun yang lalu seorang bupati di Jawa Tengah menyerahkan sebidang tanah kepada sebuah organisasi sosial keagamaan untuk rumah sakit. Dua tahun berlalu sejak penyerahan itu, tanah tetaplah tanah tanpa bangunan. Lalu bupati bertanya kepada Muhammadiyah, apakah bersedia membangun rumah sakit di atas tanah itu. Dijawab: “Insya Allah, kami akan usahakan.” Dalam tempo relatif singkat, berdirilah rumah sakit itu. Dan sekarang termasuk rumah sakit yang bermartabat di kabupaten itu. Mungkin sudah ribuan contoh semacam ini, teramasuk di bidang pendidikan dan sosial lainnya.
Berkat filsafat amal Muhammadiyah telah membantu negara untuk menyantuni dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan perintah ayat-ayat konstitusi. Umumnya amal itu dilakukan tanpa pambrih. Demikian gigihnya organisasi ini membantu negara selama puluhan tahun, maka tidaklah elok dan berada di luar pematang keadaban, jika masih saja ada pihak-pihak yang bernafsu menggusur pakar-pakar Muhammadiyah dari posisi-posisi strategis di lingkungan kementerian agama, P dan K, sosial, dan kesehatan.
Untuk menduduki posisi-posisi ini, orang Muhammadiyah mampu berkompetisi dengan siapa saja, asal parameter yang digunakan adalah profesionalitas, bukan politik kekuasaan. Akhirnya, memasuki abad ke-2 dalam mengemban misinya, energi dan stamina Muhammadiyah haruslah disiapkan untuk turut mengurus negara ini secara keseluruhan.
Apa yang telah dirintis oleh Prof M Amien Rais untuk memimpin negara, sekalipun belum berhasil maksimal, adalah fenomena baru yang penting untuk diikuti, yang oleh Ahmad Dahlan di bawah sistem penjajahan tempo doeloe tentu tak terbayangkan. Syaratnya adalah agar tokoh-tokoh Muhammadiyah itu haruslah sekaligus menjadi pengayom rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Semboyan bahwa Muhammadiyah adalah tenda besar bangsa baru akan punya makna manakala para tokoh itu punya wawasan keindonesiaan yang luas dan otentik. Ke jurusan inilah sebagian elit Muhammadiyah mesti mengayunkan langkah amalnya untuk masa depan, di samping meneruskan kerja besar yang telah ditandangi selama ini.
Retrieved from: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/11/19/mdqggq-100-tahun-muhammadiyah-ii
oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya tidak punya cacatan sudah berapa ratus ribu anak bangsa yang pernah diasuh, dididik, dan dirawat oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Dari sisi ini warga Muhammadiyah secara keseluruhan pantas punya kebanggaan tersendiri dengan sebuah senyum syukur.
Dalam sebuah makalah pada Konferensi Internasional ke-3 tentang Islam dan Pendidikan Tinggi di Kuantan, Pahang (Malaysia), 1-2 Oktober 2012, di bawah tajuk “Muhammadiyah and Its Socio-Religio-Educational Network”, saya telah mencoba menyajikan di depan forum bergensi itu tentang apa dan siapa Muhammadiyah itu. Cobalah tuan dan puan tengok jumlah rumah sakit, klinik, dan poliklinik milik Muhammadiyah sudah berada pada angka 457, sementara perguruan tinggi ada 172. Dari angka 172 ini terdapat 40 universitas dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 450.000, sekitar 10 persen dari keseluruhan mahasiswa Indonesia.
Ada lagi Universitas Muhammadiyah yang unik di Kupang, karena sekitar 75 persen mahasiswanya beragama selain Islam. Sebagai salah seorang yang terlibat dalam kegiatan lintas iman pada skala nasional dan global, bagi saya fenomena Kupang ini sangat menggembirakan, bukan untuk menambah jumlah pemeluk Islam, tetapi membantu negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari 40 universitas, terdapat 10 besar dengan jumlah mahasiswa bergerak antara 11.000 sampai 36.000, berlokasi satu di Makassar, satu di Malang, satu di Solo, dua di Jogjakarta, satu di Medan, satu di, Palembang, satu di Jakarta, satu di Bengkulu, dan satu di Ternate.
Dalam perspektif lokasi ini saja, karakter nasional Muhammadiyah sangat kentara. Dalam ungkapan lain, gerak nafas Muhammadiyah sudah menyatu dan melebur dengan nafas keindonesiaan. Pada saat orang agak gelisah dengan masalah integrasi nasional, Muhammadiyah telah bekerja dengan rapi untuk tujuan itu melalui amal kongkret, tanpa banyak berwacana.
Di ranah kesehatan, contoh kecil di bawah ini patut dicermati. Beberapa tahun yang lalu seorang bupati di Jawa Tengah menyerahkan sebidang tanah kepada sebuah organisasi sosial keagamaan untuk rumah sakit. Dua tahun berlalu sejak penyerahan itu, tanah tetaplah tanah tanpa bangunan. Lalu bupati bertanya kepada Muhammadiyah, apakah bersedia membangun rumah sakit di atas tanah itu. Dijawab: “Insya Allah, kami akan usahakan.” Dalam tempo relatif singkat, berdirilah rumah sakit itu. Dan sekarang termasuk rumah sakit yang bermartabat di kabupaten itu. Mungkin sudah ribuan contoh semacam ini, teramasuk di bidang pendidikan dan sosial lainnya.
Berkat filsafat amal Muhammadiyah telah membantu negara untuk menyantuni dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan perintah ayat-ayat konstitusi. Umumnya amal itu dilakukan tanpa pambrih. Demikian gigihnya organisasi ini membantu negara selama puluhan tahun, maka tidaklah elok dan berada di luar pematang keadaban, jika masih saja ada pihak-pihak yang bernafsu menggusur pakar-pakar Muhammadiyah dari posisi-posisi strategis di lingkungan kementerian agama, P dan K, sosial, dan kesehatan.
Untuk menduduki posisi-posisi ini, orang Muhammadiyah mampu berkompetisi dengan siapa saja, asal parameter yang digunakan adalah profesionalitas, bukan politik kekuasaan. Akhirnya, memasuki abad ke-2 dalam mengemban misinya, energi dan stamina Muhammadiyah haruslah disiapkan untuk turut mengurus negara ini secara keseluruhan.
Apa yang telah dirintis oleh Prof M Amien Rais untuk memimpin negara, sekalipun belum berhasil maksimal, adalah fenomena baru yang penting untuk diikuti, yang oleh Ahmad Dahlan di bawah sistem penjajahan tempo doeloe tentu tak terbayangkan. Syaratnya adalah agar tokoh-tokoh Muhammadiyah itu haruslah sekaligus menjadi pengayom rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Semboyan bahwa Muhammadiyah adalah tenda besar bangsa baru akan punya makna manakala para tokoh itu punya wawasan keindonesiaan yang luas dan otentik. Ke jurusan inilah sebagian elit Muhammadiyah mesti mengayunkan langkah amalnya untuk masa depan, di samping meneruskan kerja besar yang telah ditandangi selama ini.
Retrieved from: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/11/19/mdqggq-100-tahun-muhammadiyah-ii
No comments:
Post a Comment