Saturday, July 7, 2012

Mengenang Kang Moeslim

Mizan.com, 7 July 2012

Oleh: Ihsan Ali-Fauzi

Wafatnya Moeslim Abdurrahman, rekan senior sekaligus guru saya, Jumat malam (08/07/2012), ditangisi banyak orang. Itu tidak saja di RSCM, di mana almarhum terakhir dirawat akibat sakit gula yang sudah lama dideritanya, atau di kediamannya di Bekasi. Tapi juga di rumah pemakaman Sandiego Hills, Kerawang, di mana beliau akhirnya dikebumikan.

Saya hanya sempat ikut menyalatkan jenazahnya di Bekasi, siang keesokan harinya. Saya lihat hadir juga sejarawan Taufik Abdullah, kolumnis politik Sukardi Rinakit, Romo Muji Soetrisno, sutradara Garin Nugroho, peneliti pluralisme agama M. Syafii Anwar, Menko Ekuin Hatta Radjasa, selain aktivis HAM Usman Hamid dan Hariman Siregar. Djohan Effendy, rekan kental almarhum yang juga guru saya, mantan Mensesneg, saya dengar sudah hadir sejak pagi untuk ikut memandikan jenazah.

Salatnya sendiri dipimpin Amidhan, salah seorang Ketua MUI yang sering dikritik almarhum. Tempatnya di masjid yang ikut dibangunnya, meskipun dia, kata petugas masjid dan satpam yang menjaganya, tak pernah bersedia diminta sebagai penceramah.

Dilihat dari segi jumlah, jamaah yang ikut menyalatkan tak bisa disebut banyak. Tapi semuanya berasal dari beragam latar belakang, mencerminkan lingkup pergaulan almarhum yang sangat luas. Mereka juga mencerminkan pergaulan almarhum yang “lintas-status”, jika Anda alergi atau malu-malu menyebutnya “lintas-kelas”, satu frase yang sebenarnya biasa disebut almarhum. Mereka terdiri dari menteri atau mantan menteri hingga tukang ojek dan satpam.

Dan sekarang, di era di mana media sosial makin banyak digunakan, rasa kehilangan akan dan doa bagi almarhum memang bisa disampaikan tanpa Anda harus hadir di RSCM, Bekasi, atau Sandiego Hills. Malam sesudah beliau wafat, salawat dan doa sudah banyak disampaikan lewat Twitter, Facebook, atau SMS dan e-mail. Dari Bekasi, beberapa saat sesudah imam salat memimpin kami talqin, menjadi saksi bahwa almarhum orang baik dan layak masuk sorga, saya sendiri mengudarakan satu imbauan lewat Twitter: “Isyhadu bi anna Kang Moeslim Abdurrahman min ahl al-khayr.” Segera sesudahnya, di seberang sana, seruan saya disambut positif banyak orang: mulai dari Zuhairi Misrawi, aktivis pluralisme yang jelas NU, hingga Fadjroel Rachman, aktivis demokrasi yang jelas sekular.

Kang Moeslim, begitu kami, generasi yang lebih muda darinya, biasa memanggil almarhum, memang layak atas itu semua. Selain “anak” Muhanmmadiyah yang amat dekat dengan kalangan NU, dia juga sedikit di antara santri yang bergaul erat dengan lembaga-lembaga yang harus disebut “non-santri” di Indonesia, seperti CSIS (Center for Strategic and International Studies) atau The Jakarta Post. Penting dicatat, di semua lembaga ini, dia bukan sekadar simpatisan, tapi menjadi bagian integralnya.

Dengan selera humornya yang tinggi, tapi juga asketismenya, Kang Moeslim memang punya modal yang cukup untuk menjadi jembatan yang baik di antara berbagai kelompok. Saya duga faktor ini pulalah yang membuat sinismenya yang kadang sangat keras, misalnya kepada konservatisme Islam gaya MUI atau liberalisme ekonomi gaya Freedom Institute, bisa ditanggapi dengan rileks, tanpa sikap bermusuhan.

Tapi itu juga pasti karena pendidikannya yang di atas rata-rata santri Indonesia. Sebagai doktor antropologi dari Universitas Illinois, Urbana-Campaign, AS, Kang Moeslim punya wawasan dan nomenklatura yang membuatnya bisa diterima oleh dan berdialog dengan kalangan paling terdidik lain di negeri ini. Tak heran jika belakangan dia sangat getol mengusahakan agar lebih banyak santri dikirim ke luar negeri untuk pendidikan doktoral.

Kepergian Kang Moeslim juga ditangisi banyak orang karena dia pembangun institusi yang rajin. Selain Maarif Institute yang belakangan giat menyuarakan toleransi, dia juga mendirikan ICIP (Indonesian Center for Islam and Pluralism) yang sering mengundang pembicara asing untuk berbagi wawasan tentang pluralisme di sini. Meskipun belum tentu pemelihara institusi yang baik sebaik dia membangunnya, peran ini jarang dimainkan intelektual Muslim lain di negeri ini.

Tapi bagi saya, Kang Moeslim akan saya kenang sebagai seorang ilmuwan sosial yang rajin menyuarakan apa yang disebutnya “ilmu sosial transformatif”. Ini tercermin bukan saja dari kolom-kolomnya yang kemudian dibukukan,atau dalam disertasinya yang belakangan diterbitkan menjadi Bersujud di Baitullah, tapi dalam seluruh interaksi kami.

Jika saya tak salah ingat, kami pertama kali berjumpa di acara bulanan LIPI mengenai Islam sebagai gejala sosial di Indonesia. Itu sekitar pertengahan kedua dekade 1980-an, ketika saya masih mahasiswa di IAIN Jakarta. Waktu itu LIPI baru saja kedatangan Martin van Bruinessen, seorang antropolog Belanda, ahli mengenai Kurdi, yang datang untuk mempelajari “Pandangan Dunia Ulama di Indonesia.” Kita tahu bahwa belakangan dia menjadi salah satu peneliti paling tekun dan mencerahkan mengenai kaum Muslim santri di Indonesia, khususnya NU, dengan sisi-sisi pelengkapnya seperti fenomena kitab kuning, pesantren dan tarekat.

Singkatnya, di LIPI, tugas Martin adalah berdiskusi secara reguler dengan Taufik Abdullah dan (almarhum) Nurcholish Madjid, dua senior LIPI yang tanpa acara bulanan itu akan sulit bertemu. Dalam rangka itulah sejumlah peneliti lain, dengan minat serupa, juga dilibatkan, termasuk Kang Moeslim, yang waktu itu peneliti Balitbang Depag. Ikut juga peneliti muda seperti Wardah Hafidz dan Hermawan Sulistyo. Saya sendiri disarankan Cak Nur ikut, sebagai pendengar pasif.

Dari forum itu saya mulai mengenal Kang Moeslim sebagai peneliti yang peduli pada nasib kelompok terbawah dalam masyarakat. Komentarnya selalu berujung pada transformasi apa yang bisa dilakukan untuk kepentingan kelas itu. Darinya saya juga mulai mengenal kata “praksis”, perlunya kesatuan antara riset dan tindakan ke arah perubahan.

Belakangan, awal 1990-an, Kang Moeslim dan beberapa koleganya mulai memperkenalkan apa yang mereka sebut “ilmu sosial transformatif”. Mereka antara lain menerbitkan jurnal dengan nama itu. Mereka juga mengadakan pertemuan di antara kalangan peneliti muda sealiran di Malang. Itu dimaksudkan sebagai tandingan atas pertemuan sejenis oleh para ilmuwan sosial yang lebih mainstream, yang tergabung dalam HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial) dan sedang kongres di Ujung Pandang.

Seingat saya, jurnal dan forum tandingan-HIPIIS di atas kemudian mati suri. Saya tak tahu apa sebabnya. Tapi tema dan pesan “memperjuangkan kelas bawah” terus bertahan dalam kolom-kolom Kang Moeslim di berbagai publikasi, termasuk ketika dia menjadi bagian dari managemen baru yang mengelola harian Pelita di awal 1990-an. Di kolom-kolom inilah dia memperkenalkan tokoh wong cilik yang disebutnya “Kang Thowil”, yang kemudian diterbitkan dalam buku Kang Thowil dan Siti Marjinal atau Islam Transformatif.

Tema dan pesan di atas juga menjadi dasar penulisan disertasinya di Illinois. Saya sempat menerjemahkan sarinya, yang terbit dalam buku yang disunting Mark Woodward dan edisi Indonesianya diterbitkan Mizan, Paradigma Baru Islam (1989). Di situ dia menyajikan paparan antropologis sangat menarik mengenai pengalaman haji di bawah kapitalisme Orde Baru. Dia merefleksikan pengalamannya dikontrak tiga kali sebagai pembimbing haji kelas menengah oleh sebuah biro perjalanan haji. Bersamanya, dikontrak pula sejumlah artis dan tokoh lainnya.

Dengan detail, Kang Moeslim menceritakan bagaimana dia terperangah menemukan kontras yang sangat kentara antara apa yang dipelajarinya sebagai esensi haji dengan yang dipraktikkan jamaah kelas menengah itu: ketika haji sudah menjadi tur 14 hari; dengan hotel bintang lima dan bus-bus ber-AC; di mana beberapa jamaah perempuan pergi tanpa muhrim, berjilbab sambil merokok, membaca bukan buku manasik haji melainkan majalah pop, dan bersuara lantang dalam talbiyah; ketika pulang mengenakan gelar hajjah; dan seterusnya. Dalam kasus ini, tulisnya, haji berubah fungsi: dari ibadah yang dimaksudkan antara lain untuk memperkuat kesadaran keumatan dan egalitarianisme Islam (yang antara lain disimbolkan dengan seragam ihrâm), menjadi ibadah ritual yang justru memecah-belah dan mempertegas kelas-kelas sosial.

Di situ, Kang Moeslim sedang nyinyir mengarikaturi apa yang sering dibanggakan sebagian senior kami kala itu, termasuk Cak Nur, sebagai tingkat keberagamaan kelas menengah Muslim yang meningkat. Baginya, haji kelas menengah itu bukan lagi ibadah untuk menegaskan kembali identitas keagamaan, tapi sudah menjadi simbol status dan kelas sosial.

Setahu saya, posisi keilmuan di atas terus dipertahankan Kang Moeslim hingga akhir hayatnya. Ketika terakhir kali kami berbincang agak lama, di kantor Yayasan Paramadina, dia menyindir saya dengan mengatakan bahwa saya hanya menaruh perhatian pada (aliran) Cak Nur dan tidak pada (aliran)-nya. “Sampeyan itu enggak care sama aku. Aku jealous sama Cak Nur dan Gus Dur,” selorohnya, sambil mengutip “Dua Pendekar,” kolomnya di Tempo tentang dua tokoh intelektual Muslim tadi.

Saya tak tahu seberapa serius dia waktu itu. Tapi saya ingat saya berjanji akan mempelajarinya lebih jauh -- yang tak saya lakukan, hingga dia dipanggil ke hadirat-Nya.

Menimbang-nimbangnya kini, saya masih tak yakin apakah perbedaannya dengan kedua pendekar tadi memang pada soal substansi atau pada cara dan gaya. Tapi dapat saya pastikan bahwa kita akan kehilangan seseorang yang bisa bicara ketus tapi tanpa pamrih tentang gejala yang dulu sudah pernah dicibirnya, tapi sekarang justru tumbuh lebih subur: dari dana tabungan haji yang tak terkontrol hingga korupsi kitab suci; dari ustad seleb dan kolam renang syari`ah hingga suara toa yang makin memekakkan telinga.

Kang Moeslim, biarlah kini kami terima dan jalani kutukan itu. Salam kami untuk Cak Nur dan Gus Dur. Rest in peace!***

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Paramadina dan dosen Paramadina Graduate School (PGS), Jakarta.

Retrieved from: http://www.mizan.com/index.php?fuseaction=news_det&id=878

No comments:

Post a Comment