CATATAN LEPAS
Mas Moeslim dan Muhammadiyah
oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Gatra, 18 Juli 2012
Mas Moeslim Abdurrahman (Lamongan, 8 Agustus 1958-Jakarta, 6 Juli 2012) adalah seorang putra Muhammadiyah yang sangat progresif dan inklusif. Dia sangat bisa bercanda dan bergaul rapat dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang politik, suku dan agama, apalagi cuma aliran atau ormas. Dia orang yang sangat terbuka pemikirannya, bahkan sering dituding sebagai liberal. Tak mengherankan, dia menginginkan Muhammadiyah menjadi “tenda besar” umat.
Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus PhD di bidang antropologi dari The University of Illinois pada 1990-an, mas Moeslim benar-benar menampilkan diri sebagai cendekiawan bebas. Saking seringnya saling ledek dan olok di antara kami, dia terkekeh ketika saya pernah menyebutnya secara salah sebagai “petualang intelektual” dalam pengertiannya yang positif, bukan peyoratif. Bagi kaum awam ia dikenal suka berpindah-pindah dan meloncat-loncat dari satu bidang aktivisme ke aktivisme yang lain dengan enteng-enteng saja.
Suatu saat kita menemukannya rapat sekali dengan Hariman Siregar dan Fanny Habibie dalam satu lingkaran politik. Di lain waktu, dia menjadi Pemimpin Redaksi Pelita, aktivis Partai Amanat Nasional (PAN), dan bahkan pernah maju sebagai calon ketua umumnya. Suatu saat lagi ia sangat rapat dengan Gus Dur, bahkan menjadi Majelis Syura DPP PKB dan caretaker Ketua PKB Jakarta. Hanya—ini mengherankan—Presiden Gus Dur tidak juga menunjuk orang pintar ini menjadi menterinya.
Tentang loncatan-loncatan sosial politiknya yang sulit diduga itu, dia mengatakan kepada saya bahwa “itu cuma patrol”. Maksudnya, hanya duduk-duduk dengan berbagai kalangan yang berbeda sekadar untuk mengerti bagaimana setiap kelompok bersikap tentang suatu hal. Politik di Indonesia itu, kata Mas Moeslim, cuma politik patrol. Kadang patrol ke sini, kadang patrol ke sana.
Mas Moeslim seorang pemikir sejati yang paling pas beraktivitas di bidang intelektual. Berbeda dengan Pak Malik Fadjar, yang dengan tangan dingin dan jauh dari gegap gempita berhasil menangani pendidikan, Mas Moeslim lebih tepat menjadi man of reflection daripada man of action. Maka ketika Buya Syafi’I Maarif menjadi Ketua, saya Wakil Sekretaris, dan Mas Moeslim menjadi Ketua Lembaga Tani, Buruh dan Nelayan PP Muhammadiyah, praktis tidak ada yang kongkret yang bisa kami kerjakan.
Kami memang sempat keliling ke cabang-cabang Muhammadiyah. Tetapi, kecuali pencerahan intelektualisme, tidak ada yang kongkret yang kami kerjakan di bidang tani, buruh dan nelayan. Tak mengherankan, begitu memasuki sidang tanwir di mana majelis-majelis dan lembaga harus melaporkan kegiatannya selama satu tahun untuk dievaluasi, kami suka kebingungan apa yang mesti dilaporkan. Tetapi dasar Mas Moeslim, tetap saja dia bisa berbicara panjang lebar di depan sidang tanwir itu.
Tidak demikian halnya dalam aktivitas intelektualisme: Mas Moeslim adalah sebuah fenomena, bahkan fenomena itu sendiri. Dialah sejatinya yang berada di balik Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang sempat menghebohkan itu, sampai ada seorang tokoh Muhammadiyah yang tega memplesetkan JIMM itu sebagai—jangan ketawa—“Jaringan Iblis Muda Muhammadiyah”! Mas Moeslim berhasil membina mereka, dari tangannya kini ada belasan anak-anak JIMM menggondol Ph.D dari berbagai universitas di Barat.
Tetapi, dasar aktivis yang suka loncat indah, Moeslim jugalah yang memperkenalkan teologi Al-Ma’un yang diadopsi dari Sang Pencerah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (1912). Bayangkan, seorang pemikir justru mengkampanyekan teologi yang sangat mementingkan praksis itu.
Syahdan, pada suatu ketika, Dahlan mengajarkan S. Al-Ma’un kepada para muridnya:”Tahukah kalian siapa yang mendustakan agama itu? Pendusta agama adalah orang-orang yang menelantarkan anak-anak yatim dan tidak peduli pada orang-orang miskin. Celaka orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dalam salatnya, suka pamer (riya’), dan enggan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.”
Uniknya, beberapa kali pengajian berikutnya, Kiai Dahlan mengulang dan mengulang lagi S.Al-Ma’un itu sampai mereka tidak tahan lagi untuk tidak protes:”Kiai, mengapa diulang-ulang terus penjelasan S.Al-Ma’un itu? Kami sudah mengerti, bahkan sudah hafal.” Dengan tenang Dahlan menjawab:”Kalian memang sudah mengerti dan memahami S.Al-Ma’un, tetapi apakah sudah kalian amalkan?” para muridnya itu terdiam seribu bahasa. Al-ilmu bi la ‘amalin ka’l-syajarati bi la tsamarin, ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.
Mas Moeslim melakukan revitalisasi teologi Al-Ma’un dan teologi transformatif melalui Lembaga Buruh, Tani, dan Nelayan. Dengan sangat getol dia mencoba menghadirkan bidang yang masih langka di kalangan Muhammadiyah dan gerakan Islam. Mas Moeslim Abdurrahman telah memulainya. Selamat jalan, Mas…
Mas Moeslim dan Muhammadiyah
oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Gatra, 18 Juli 2012
Mas Moeslim Abdurrahman (Lamongan, 8 Agustus 1958-Jakarta, 6 Juli 2012) adalah seorang putra Muhammadiyah yang sangat progresif dan inklusif. Dia sangat bisa bercanda dan bergaul rapat dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang politik, suku dan agama, apalagi cuma aliran atau ormas. Dia orang yang sangat terbuka pemikirannya, bahkan sering dituding sebagai liberal. Tak mengherankan, dia menginginkan Muhammadiyah menjadi “tenda besar” umat.
Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus PhD di bidang antropologi dari The University of Illinois pada 1990-an, mas Moeslim benar-benar menampilkan diri sebagai cendekiawan bebas. Saking seringnya saling ledek dan olok di antara kami, dia terkekeh ketika saya pernah menyebutnya secara salah sebagai “petualang intelektual” dalam pengertiannya yang positif, bukan peyoratif. Bagi kaum awam ia dikenal suka berpindah-pindah dan meloncat-loncat dari satu bidang aktivisme ke aktivisme yang lain dengan enteng-enteng saja.
Suatu saat kita menemukannya rapat sekali dengan Hariman Siregar dan Fanny Habibie dalam satu lingkaran politik. Di lain waktu, dia menjadi Pemimpin Redaksi Pelita, aktivis Partai Amanat Nasional (PAN), dan bahkan pernah maju sebagai calon ketua umumnya. Suatu saat lagi ia sangat rapat dengan Gus Dur, bahkan menjadi Majelis Syura DPP PKB dan caretaker Ketua PKB Jakarta. Hanya—ini mengherankan—Presiden Gus Dur tidak juga menunjuk orang pintar ini menjadi menterinya.
Tentang loncatan-loncatan sosial politiknya yang sulit diduga itu, dia mengatakan kepada saya bahwa “itu cuma patrol”. Maksudnya, hanya duduk-duduk dengan berbagai kalangan yang berbeda sekadar untuk mengerti bagaimana setiap kelompok bersikap tentang suatu hal. Politik di Indonesia itu, kata Mas Moeslim, cuma politik patrol. Kadang patrol ke sini, kadang patrol ke sana.
Mas Moeslim seorang pemikir sejati yang paling pas beraktivitas di bidang intelektual. Berbeda dengan Pak Malik Fadjar, yang dengan tangan dingin dan jauh dari gegap gempita berhasil menangani pendidikan, Mas Moeslim lebih tepat menjadi man of reflection daripada man of action. Maka ketika Buya Syafi’I Maarif menjadi Ketua, saya Wakil Sekretaris, dan Mas Moeslim menjadi Ketua Lembaga Tani, Buruh dan Nelayan PP Muhammadiyah, praktis tidak ada yang kongkret yang bisa kami kerjakan.
Kami memang sempat keliling ke cabang-cabang Muhammadiyah. Tetapi, kecuali pencerahan intelektualisme, tidak ada yang kongkret yang kami kerjakan di bidang tani, buruh dan nelayan. Tak mengherankan, begitu memasuki sidang tanwir di mana majelis-majelis dan lembaga harus melaporkan kegiatannya selama satu tahun untuk dievaluasi, kami suka kebingungan apa yang mesti dilaporkan. Tetapi dasar Mas Moeslim, tetap saja dia bisa berbicara panjang lebar di depan sidang tanwir itu.
Tidak demikian halnya dalam aktivitas intelektualisme: Mas Moeslim adalah sebuah fenomena, bahkan fenomena itu sendiri. Dialah sejatinya yang berada di balik Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang sempat menghebohkan itu, sampai ada seorang tokoh Muhammadiyah yang tega memplesetkan JIMM itu sebagai—jangan ketawa—“Jaringan Iblis Muda Muhammadiyah”! Mas Moeslim berhasil membina mereka, dari tangannya kini ada belasan anak-anak JIMM menggondol Ph.D dari berbagai universitas di Barat.
Tetapi, dasar aktivis yang suka loncat indah, Moeslim jugalah yang memperkenalkan teologi Al-Ma’un yang diadopsi dari Sang Pencerah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (1912). Bayangkan, seorang pemikir justru mengkampanyekan teologi yang sangat mementingkan praksis itu.
Syahdan, pada suatu ketika, Dahlan mengajarkan S. Al-Ma’un kepada para muridnya:”Tahukah kalian siapa yang mendustakan agama itu? Pendusta agama adalah orang-orang yang menelantarkan anak-anak yatim dan tidak peduli pada orang-orang miskin. Celaka orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dalam salatnya, suka pamer (riya’), dan enggan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.”
Uniknya, beberapa kali pengajian berikutnya, Kiai Dahlan mengulang dan mengulang lagi S.Al-Ma’un itu sampai mereka tidak tahan lagi untuk tidak protes:”Kiai, mengapa diulang-ulang terus penjelasan S.Al-Ma’un itu? Kami sudah mengerti, bahkan sudah hafal.” Dengan tenang Dahlan menjawab:”Kalian memang sudah mengerti dan memahami S.Al-Ma’un, tetapi apakah sudah kalian amalkan?” para muridnya itu terdiam seribu bahasa. Al-ilmu bi la ‘amalin ka’l-syajarati bi la tsamarin, ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.
Mas Moeslim melakukan revitalisasi teologi Al-Ma’un dan teologi transformatif melalui Lembaga Buruh, Tani, dan Nelayan. Dengan sangat getol dia mencoba menghadirkan bidang yang masih langka di kalangan Muhammadiyah dan gerakan Islam. Mas Moeslim Abdurrahman telah memulainya. Selamat jalan, Mas…
No comments:
Post a Comment