Saturday, November 19, 2011

NUhammadiyah Bicara Nasionalisme


Judul                      : NUhammadiyah Bicara Nasionalisme 
Penulis                  : Acep Zamzam Nur, Zuly Qodir, dkk
Penyunting            : Binhad Nurrohmat dan Moh. Shofan
Penerbit                  : Ar-Ruzz Media
Edisi                        : Cetakan I, 2011
Tebal                       : 252 halaman
Membaca Semangat Nasionalisme
oleh Mukhamad Zulfa*)
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) tentu mempunyai segudang pengalaman heroik dalam membangun bangsa ini. Hadratusy Syekh Kyai Hasyim Asy’ari sebagai pendiri sekaligus ketua umum pertama mempunyai pandangan bahwa beliau tidak berkoperasi dengan penjajah. Bahkan menyerukan resolusi jihad untuk melawan.
Walau mempunyai guru yang sama dengan Hasyim Asyari dari Mekkah ataupun Indonesia sendiri. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan perserikatan Muhammadiyah pada tahun 1912. Dia mempunyai terjemahan tersendiri terhadap kolonial Belanda. Bahwa pendidikan itu penting untuk mencerdaskan bangsa. Terkesan bahwa mengekor pada cara dan kurikulum yang diajarkan Belanda pada masa itu yang kemudian dikembangkan di pesantrennya.
Buku ini hadir untuk menanggapi bagaimana nasionalisme itu diterjemahkan oleh generasi Muhammadiyah dan NU sekarang. Memberikan interpretasi terhadap cinta tanah air. Guna membangun bangsa ini agar lebih sadar betapa pentingnya menjunjung tinggi rasa kebangsaan. Sebagai organisasi besar yang ada di Indonesia mempunyai tanggung jawab penuh untuk tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terdapat adagium bahwa cinta tanah air merupakan sebagian dari pada iman. Hal ini menjadi salah satu landasan bersama untuk memperjuangkan kemerdekaan yang telah direbut oleh pahlawan. Kita
mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan bangsa.
Bunga rampai ini merupakan buah persinggungan dari buku yang dihadirkan masing-masing organisasi. Satu Abad Muhammadiyah (2010) dan bunga rampai Dari Kyai Kampung ke NU Miring (2010). Hingga
Binhad dan Sofwan setuju untuk memberikan sumbangsih pemikiran menyunting tulisan guna mewujudkan buku ini.
Dalam halaman depan Binhad mengawali dengan semangat perlawanan yang dilakukan oleh Kyai Ahmad Rifai terhadap Belanda di masa penjajahan dengan menggunakan tulisan. Berupa pamlet yang
disajikan merupakan bentuk protes terhadap ulama dan birokrasi yang tunduk pada Belanda.

Cerita tentang kyai Rifai ini ditulis hasil dari perjalanan Binhad di kota Pekalongan untuk menemukan kebenaran cerita yang langsung dari sumber asalnya. Gaya khas NU ini menjadi ciri bahwa Binhad merupakan NU sejati yang cinta ziarah sebagai laku “orang NU”. Beliau yang sadar akan keadaan yang menindas kaum muslimin, mulai mencurahkan pemikiran dengan menulis kitab yang berbahasa Jawa
menggunakan huruf pegon yang lebih mudah difaham oleh masyarakat. Dibanding dengan bahan ajar kitab di pesantren pada umumnya yang berbahasa Arab.
Untuk menyebarkan propaganda pada kyai Rifai dan pengikutnya merupakan orang yang patut dimusuhi Belanda menyebutnya sebagai santri celeng. Guna membunuh karakternya. Bahkan Kyai Rifai pernah dibuang di Ambon sebab menurut Belanda ajaran yang dibawanya membahayakan kolonial. Di tanah Maluku, beliau masih melakukan propaganda untuk melawan penjajah. Sebab itulah akhirnya beliau dibuang di Manado. Dan meninggal di sana.
Lain dengan tulisan Soffa Ihsan yang berjudul Nasionalisme Miring Nahdliyyin, membeber bahwa banyak tokoh dari NU yang melakukan perilaku “miring” dalam berbangsa. Misalnya, Mbah Lim
(Kyai Imam Puro) dari Klaten Jawa Tengah bernadzar apabila dirinya siap diadzab oleh Allah. Apabila hingga terwujudnya Indonesia bersatu, adil, dan makmur. Tak ayal, Mbah Lim tidak bisa berak selama beberapa bulan, walaupun makan dengan kenyang. (halaman 109)
Tak mau kalah dengan Mbah Lim, Gus Mus (Musthafa Bisri) menyerukan bahwa nasionalisme santri adalah dengan cinta Indonesia. Bahwa kita makan minum di tanah air ini. Jadilah Indonesia yang Islam
bukan Islam yang Indonesia. (119) Dan masih banyak lagi laku miring yang dilakukan oleh tokoh NU lainnya.

Nasionalisme ala Muhammadiyah
Paparan Benni Setiawan dalam Nasionalisme Muhammadiyah, mengutip perkataan Muarif bahwa terbagi menjadi tiga periode dalam proses nasionalisme Muhammadiyah yaitu pertama pada masa Kyai Ahmad Dahlan nasionalisme dimaknai sebagai konteks persatuan. Zaman kedua masa Kyai Ibrahim Nasionalisme berarti Indonesia sedangkan terakhir pada zaman Kyai Mas Mansur penerjemahan nasionalisme adalah semangat patriotik. (133)
Dalam pengantar penyunting buku ini, Binhad menjelaskan bahwa judul buku ini merupakan masalah rasa bahasa. Bukan berarti apa. Jika ditilik dalam kacamata historis tentu NU lebih muda dibanding
Muhammadiyah. Mengapa ditaruh di depan, bukan di belakang. Terdapat satu huruf yang dapat melebur antara keduaanya, yaitu huruf u. Sehingga lebih menarik menggunakan kata NUhammadiyyah dibandingkan MuhammadiyahNU.
*)Mukhamad Zulfa, kader muda NU aktif di IDEASTUDIES Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Retrieved from: http://analisisnews.com/analisis/resensi-buku/710-nuhammadiyah-bicara-nasionalisme 

----------
Binhad Nurrohmat (Penyunting, Kontributor), Moh. Shofan (Penyunting, Kontributor), David Krisna Alka (Kontributor), Soffa Ihsan (Kontributor),Benni Setiawan (Kontributor), Hodri Arief (Kontributor), Sahlul Fuad(Kontributor), Anggi Ahmad Haryono (Kontributor) , Sa’duddin Sabilurrasad (Kontributor), Subhi Ridho (Kontributor), M. Arief Hidayat(Kontributor), Asman Azis (Kontributor), Acep Zamzam Noor(Kontributor), Zuly Qodir (Kontributor), Eyik Mustain Romly(Kontributor)

No comments:

Post a Comment