Friday, November 25, 2011

Fatwa Rokok Muhammadiyah

Suryopratomo
Suryopratomo@metrotvnews.com

Metrotvnews.com, Minggu, 14 Maret 2010 20:14 WIB
Apa yang salah dengan fatwa haram yang dikeluarkan Muhammadiyah berkaitan dengan merokok? Adanya donasi yang diberikan Yayasan Michael Bloomberg membuat orang bertanya apakah fatwa itu murni untuk kebaikan umat ataukah ada pesanan dari pemberi donasi.
   
Pihak Muhammadiyah mengaku menerima donasi Rp 3,7 miliar dari Yayasan Michael Booolberg untuk kampanye antirokok di Indonesia. Namun mereka menyangkal bahwa penetapan fatwa rokok didasarkan oleh pemberian donasi tersebut.
     
Penyangkalan memang bisa saja disampaikan, namun sulit untuk menerima bahwa tidak ada hubungan antara pemberian donasi dengan penetapan fatwa. Apalagi donasi dari Yayasan Michael Bloomberg secara khusus ditujukan bagi kampanye antirokok di Indonesia.
     
Ini tentunya pelajaran berharga bagi Muhammadiyah. Sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan betapa pentingnya arti sebuah kepercayaan. Apalagi ketika hendak mengeluarkan sebuah aturan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat banyak.
     
Dalam konteks Indonesia, isu rokok tidak bisa dilihat secara sederhana. Sebab ini berkaitan dengan kehidupan begitu banyak petani tembakaU dan masyarakat yang bekerja di industri rokok.
   
Memang ada faktor kesehatan yang harus diperhatikan dan biaya kesehatan yang begitu mahal harus kita keluarkan untuk menangani  penyakit akibat merokok, apabila pembatasan tidak dilakukan. Namun penyelesaian persoalan tidak boleh dilakukan dengan menimbulkan persoalan yang baru.
     
Dalam konteks inilah maka penyelesaian persoalan rokok harus dilakukan secara lebih komprehensif. Terutama pemerintah harus memikirkan terlebih dahulu petani tembakau yang jumlahnya besar. Sebab bertani tembakau merupakan kegiatan yang sudah berlangsung turun temurun dan kebanyakan lahan yang mereka miliki hanya cocok untuk tanaman tembakau.
     
Bisa saja memang dicarikan alternatif tanaman yang bisa memberikan pendapatan seperti halnya tembakau. Namun itu tidak bisa sekali jadi. Kalau pun ditemukan tanaman yang bisa memberikan pendapatan yang minimal sama dengan tembakau, pemerintah harus mengajari petani untuk mengganti tanamannya tersebut.
     
Proses pergantian tanaman membutuhkan waktu sedikitnya tiga tahun. Sepanjang waktu itu pemerintah bukan hanya berkewajiban untuk mendampingi, tetapi memberikan kompensasi atas pendapatannya yang hilang akibat berhenti menanam tembakau.
     
Mengapa pemerintah harus bertanggung jawab? Pertama, karena pergantian tanaman bukanlah keinginan petani. Kedua, pemerintah tidak bisa membiarkan para petani tembakau kehilangan mata pencaharian, karena kalau itu yang terjadi akan menimbulkan ledakan pengangguran yang tinggi.
   
Itu belum kita memikirkan nasib jutaan pekerja yang hidup di industri rokok. Para pemilik industri rokok bisa menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin. Mereka pasti bisa bertahan dengan menggeser produknya ke pasar internasional. Namun terutama buruh rokok merupakan orang-orang dengan keterampilan yang terbatas dan tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan baru.
     
Aspek sosial inilah yang harus menjadi perhatian kita saat hendak menangani persoalan rokok. Kita tidak bisa hanya ikut kampanye global antirokok, tanpa harus memahami persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini.
     
Kita harus akui gerakan global antirokok berlangsung luar biasa. Jutaan dollar dana disediakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar paham akan bahaya merokok. Mereka mempunyai kemampuan untuk menembus kelompok-kelompok masyarakat yang dinilai bisa mendukung keberhasilan mereka.
   
Namun sekali lagi, penyelesaian persoalan Indonesia dengan menggunakan kaca mata global akan menyesatkan. Sekarang ini kita mulai melihat perlawanan dari daerah, khususnya dari para petani tembakau. Mereka tidak tinggal diam saat masa depan mereka diganggu.
     
Lalu bagaimana mencari cara penyelesaian yang terbaik? Tidak bisa lain kecuali mengundang semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mencarikan solusi yang bersama. Para pemangku kepentingan itu mulai dari pemerintah yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, Perindustrian, Pertanian, dan Keuangan, kelompok masyarakat antirokok, petani tembakau, buruh pabrik, dan industri rokok.
   
Pertemuan para pemangku kepentingan akan memutuskan seperti apa kita akan menangani isu rokok. Kalau akan akan pembatasan peredaran rokok seperti apa penjadwalannya. Pada masa itu bagaimana kemudian kita mengeliminir dampak negatif dalam penerapan kesepakatan tersebut.
     
Pemaksaan kehendak jelas bukan solusi terbaik. Hal itu justru akan membuat semua pihak  mengambil ancang-ancang untuk berseberangan dan akhirnya hanya sekadar saling serang. Di tengah situasi masyarakat yang sedang cair, itu hanya akan menimbulkan persoalan sosial yang baru.

Retrieved from: http://metrotvnews.com/index.php/metromain/tajuk/2010/03/14/278/Fatwa-Rokok-Muhammadiyah

Thursday, November 24, 2011

A Holy War Against Smoking

The Yale Globalist,  October 22, 2010 at 3:43 am
 
by Nathan Yohannes:

JAKARTA—The perplexing medley of ultra-modern malls and office buildings coupled with street vendors and ragged beggars is the second thing that riles the senses. The first is the thick haze of cigarette smoke inescapable in the offices, stores, restaurants, and sidewalks of the most populous city in Southeast Asia. According to the World Health Organization (WHO), 60 million of Indonesia’s 225 million inhabitants and 70 percent of the country’s male population are smokers. Smoking has become so woven into the fabric of Indonesian life that in the town of Padang Panjang on the island of Sumatra, traditional marriage proposals are incomplete until a gift of tobacco is made to the bride’s family. Just recently, a two-year-old Indonesian named Ardi Rizal made international headlines for his habit of smoking 40 cigarettes a day. Controversial religious decrees have lately become a prime weapon in the fight to check the national tobacco addiction.

In March of this year, Muhammadiyah, the 40-million-member-strong Indonesian Muslim organization, issued a fatwa—an Islamic legal declaration—condemning cigarette usage as haram, or forbidden. Although the completion of the Qur’an certainly predates the invention of cigarettes, Muhammadiyah scholars cite various Islamic teachings to justify their decision, including keeping good health and not consuming intoxicants or emitting offensive odors. Organizations like Muhammadiyah and its peer Nahdlatul ulama—which has labeled smoking only as makruh, or frowned upon—issue fatwas, which they urge all members to follow, to clarify issues and debates that are not directly addressed in the Qur’an. Fatwas on the subject of tobacco have sparked some outrage, as many moderate Muslims view them as an invasion of privacy. But there is evidence to suggest that fatwas against smoking may not be inspired by religious duty only.
70 percent of Indonesia's male population are smokers, according to the WHO. Here, a boy smokes on a boat. (Kaiser, TYG)

Adlin Sila, a researcher at the Ministry of Religion who has studied this debate extensively, said that overseas anti-tobacco NGOs may be funding Muhammadiyah to continue their controversial campaign against tobacco. Piet Khaidir, the director of the Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations, a subsidiary of Muhammadiyah, identified an ulterior motive: politicking. The fatwa was apparently the brainchild of a Muhammadiyah leader with aspirations to be chairman of the organization. Rumors swirl about the true motivation for this fatwa, but Khadir revealed that even within the Muhammadiyah headquarters, there has been no decrease in smoking. “The joke,” Khaidir said, “is that there are two groups in Muhammadiyah. The majority is smoker while the minority is nonsmoker.” This trend is no exception; the fatwa is notoriously ignored and often lambasted by other Muslim organizations and even other anti-smoking organizations, which do not believe that religious doctrine is the most effective way to enact change. However, all agree that change is needed.

The cultural indoctrination of smoking feeds the monster that is the Indonesian cigarette industry. Nearly one million workers find employment in the sector, and tobacco tycoons top the lists of wealthiest Indonesians. According to the WHO, the average household spends more on tobacco than on health care or education and almost as much as on rice. According to Dr. Widyastuti Wibisana, a researcher at the WHO’s Tobacco-Free Initiative in Indonesia, “many Indonesians do not know that cigarettes hurt.” Naivety is understandable considering the misleading information—effectively propaganda—promulgated by tobacco companies about their products. In the past, smoking was considered patriotic; tobacco companies were locally owned and cigarette sales boosted the national economy. In recent years, major foreign juggernauts, most notably the U.S.-based Phillip Morris, have bought up these small enterprises and redirected the profits out of the country.

This realignment of the profit path has not checked Indonesia’s tobacco addiction. The nation, which loses between 200,000 and 400,000 people each year to tobacco-related diseases, has only recently passed its first smoking-related health law. Tax increases, which both create revenue and discourage Indonesia’s large lower and middle-class populations from purchasing traditionally cheap cigarettes, have been most effective in curbing smoking habits.

It is doubtful that the Indonesian people will ever embrace this crusade against their cherished cigarettes, whether by health-conscious or dogmatic appeals in the form of questionable fatwas and unproven public health policies.

Nathan Yohannes ’13 is in Pierson College. Contact him at nathan.yohannes@yale.edu. 

Retrieved from: http://tyglobalist.org/theme/a-holy-war-against-smoking/

Wednesday, November 23, 2011

NU disagrees with Muhammadiyah on anti-tobacco edict

Jakarta, NU Online, 2010-05-13
General chairman of the Central Board of Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj said that he disagreed with the Majelis Tarjih (Islamic Law Council: read) of Muhammadiyah for its anti-tobacco edict.

"We are really sorry before, We have disagreed with the Muhhamadiyah's edict. Do not issue an edict, let's see its impacts," Siradj said on the sidelines of a meeting with members of the House at the PBN U headquarters here on Wednesday.r />
 

Siradj said the edict had given social and economic impacts for not considering the fate of a large number of cigarette companies' employees whose livelihoods depend on the existence of cigarette factories.

"At least, some employees in cigarette companies, tobacco farmers, till security officers and others consider that they have so far done forbidden things. Whereas, they are mostly NU followers (Nahdliyin)," he said.

Sirajd aslo said that it's not easy to issue edicts of haram except for things explicitly forbidden under Islamic law like pork, wine and blood.

"All these things can clearly be declared as haram," he said.

Muhammadiyah which has around 20 million followers across the country, recently declared smoking to be haram, or forbidden under Islamic law.

The edict has sparked protests, particularly from the country’s tobacco industry and groups protesting the perceived meddling by religious groups in private affairs.

The Indonesian Ulema Council (MUI) earlier issued an edict banning smoking, but only for children and pregnant women. (nam)


Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/en/dinamic_detil/15/30322/News/NU_disagrees_with_Muhammadiyah_on_anti_tobacco_edict.html

-----------------

Indonesian Clerics Join Smoking Fatwa Row

A growing debate in the religious arena over smoking intensified on Sunday, with senior officials from the country’s largest Muslim organization and its top council of clerics deriding a recent fatwa issued against the habit.

Officials from Nahdlatul Ulama and the Indonesian Council of Ulema (MUI) both took issue with Muhammadiyah, the nation’s second-largest Muslim organization, issuing the religious edict last week, saying it went too far. Both organizations maintained their positions that smoking cigarettes was not haram, or forbidden in Islam.

“It’s not that easy declaring something as haram. There are many considerations that should be taken into account,” Masdar F Mas’udi, an NU deputy chairman, told the Jakarta Globe. “Nahdlatul Ulama still considers smoking as makruh [undesirable], and we have no plan to change that in the near future.”
Masdar said a full ban on cigarettes would adversely affect the tobacco industry, which directly employs 600,000 workers, as well as 3.5 million tobacco and clove farmers.

Masdar said there were more sensible ways to curb smoking, such as better awareness campaigns, enforcing smoking regulations in public places and raising taxes on cigarettes.

Muhammadiyah issued the fatwa on Tuesday, comparing smoking to suicide, which is prohibited in Islam. The next day, the organization and antitobacco campaigners jointly targeted cigarette advertising as one of the main culprits behind a spike in underage smokers.

Over the weekend, however, Muhammadiyah found itself on the defensive, denying that the fatwa was related to a grant it received from a US-based antitobacco organization. The Bloomberg Initiative to Reduce Tobacco Use, funded by New York Mayor Michael R. Bloomberg, lists a November 2009 grant to Muhammadiyah worth $393,234 on its Web site.

Among the grant’s stated purposes is “the issuance and dissemination of religious advice on the dangers of tobacco use.”

Retrieved from: http://www.indonesianstockmarket.com/idx/indonesian-clerics-join-smoking-fatwa-row/

 

Tuesday, November 22, 2011

Muhammadiyah Bans Smoking

The Jakarta Globe, Anita Rachman | November 14, 2011

The country’s second-largest Islamic group has thrown its full weight behind efforts to rid Indonesia of its heavy smoking habit.

After issuing a fatwa in March 2010 to tell its tens of millions of followers that it was religiously unacceptable to light up, Muhammadiyah is now set to declare all of its health and education institutions smoke-free zones.

Muhammadiyah operates some 500 health institutions such as hospitals and clinics, about 15,000 schools from the level of kindergarten to high school and nearly 200 higher education institutions. It also operates 350 orphanages across the country.

“On Monday [today], we are going to launch our nationwide program that, starting now, Muhammadiyah’s offices, enterprises and forums are officially smoke-free areas,” Syafiq A. Mughni, Muhammadiyah’s chairman for health issues, told the Jakarta Globe on Sunday. The campaign will kick off at the Muhammadiyah headquarters in Jakarta.

“This is also meant to protect the young generation from cigarette smoke exposure and to create a healthy living environment,” Syafiq said.

He added that the campaign did not mean Muhammadiyah was telling people to stop smoking or banning tobacco cultivation. “But we want people to smoke in the right place. Not in public facility areas.”

Syafiq, who is a professor at the Sunan Ampel Islamic State Institute (IAIN) in Surabaya, said Muhammadiyah understood there would always be people breaking the rules, but officials would not halt their efforts to enforce the regulation.

When coming out with a fatwa against smoking for its followers last year, Muhammadiyah equated smoking to suicide, something sinful in Islam.

Syafiq said the non-smoking zones in Muhammadiyah premises would be applicable to all, members or not.

Zainuddin Maliki, rector of Muhammadiyah University in Surabaya, said the new rule would increase pressure on smokers. But, he added, “It won’t be a problem for us. At our university, we banned smoking some time ago.”

While Muhammadiyah takes a tough stand against smoking, the country’s largest Islamic organization, Nahdlatul Ulama, is not likely to follow suit.

NU has defined smoking as makruh, or a habit that is best avoided but does not constitute a sin. Unlike Muhammadiyah, it never has issued a fatwa against smoking.

The Indonesian Council of Ulema (MUI), however, has declared smoking to be haram, or forbidden, in public places, for pregnant women and for children. The MUI is the country’s highest authority on Islamic affairs and includes representatives of Muhammadiyah and NU.

NU deputy chairman Slamet Effendy Yusuf told the Globe that the group applauded Muhammadiyah’s move. “The thing with NU is, our senior clerics, most of them are heavy smokers,” he said. “We couldn’t even stop some of our students in Islamic boarding schools from smoking. But we are going to try,” he said.

Douglas Bettcher, the director of the World Health Organization’s Tobacco Free Initiative, has said that low taxes, low prices and the lack of graphic warnings on Indonesian cigarette packaging were contributing to a pro-smoking environment in the country.

An estimated 200,000 Indonesians die each year from tobacco-related illnesses.

Anti-tobacco activists have accused the government of being reluctant to impose strict controls on tobacco because the industry generates significant tax revenue and is one of the nation’s major employers.

Editorial

Retrieved from: http://www.thejakartaglobe.com/home/muhammadiyah-bans-smoking/478254

------


Muhammadiyah Bans Smoking, Calling it ‘Suicide’

The Jakarta Globe, Anita Rachman | March 09, 2010

Comparing smoking to suicide, one of the country’s largest Muslim organizations on Tuesday issued a fatwa banning followers from lighting up.

Yunahar Ilyas, chairman of the fatwa committee at Muhammadiyah, said that since suicide was forbidden in Islam, so should smoking also be forbidden.

“Smoking negatively affects our bodies, killing us slowly,” he said, “therefore it is haram [forbidden] because Islam forbids suicide.”

The decision was reached after the fatwa body convened a meeting in Yogyakarta on Sunday.

Aside from issuing the ban on smoking, Muhammadiyah, the nation’s second-largest Muslim organization, is also expected to urge the government to immediately ratify the World Heath Organization’s Framework Convention on Tobacco Control.

Indonesia is one of just four countries that has no yet ratified the FCTC, which came into force in February 2005. The convention mandates that the 152 nations that signed implement effective methods to reduce tobacco use.

“We have studied it comprehensively and believe that smoking results in more negative impacts than those that are positive,” Yunahar said. “It can affect passive smokers too, such as our families.”

He said Muhammadiyah issued a directive in 2005 declaring smoking mubah , which means allowed but not recommended.

“We are confident that our followers will be able to obey the fatwa,” he said, adding that of Muhammadiyah’s estimated 30 million members, he was sure that smokers were among the minority.

In January 2009, the Indonesian Council of Ulema (MUI) issued a limited restriction on tobacco use. The fatwa banned Muslims from smoking in public places and prohibited children and pregnant women from taking up the habit.

The MUI’s fatwa prompted the Ministry of Finance to warn that its excise revenue from tobacco could fall below its 2010 targets. The ministry had hoped to rake in Rp 49.6 trillion ($5.41 billion) in excise duties this year, with Rp 48.24 trillion of that coming from cigarette sales.

There is, however, little evidence that the fatwa would have any effect on cigarette sales or levels of smoking.

But Tulus Abadi, chairman of the Indonesian Consumer Protection Foundation (YLKI) and a leading antismoking campaigner, said Muhammadiyah’s call for a ban could have a major impact, particularly with the organization’s close connections to a number of schools and universities.

“I believe students at campuses, for instance, will listen to the fatwa,” he said. “But we need to see real action from Muhammadiyah in sanctioning those who disobey the ruling.”

Yunahar, however, said sanctions were not a priority at the moment. He said Muhammadiyah would first raise awareness about the ban before imposing penalties.

“We will spread the message at our universities, schools, hospitals — all must not smoke,” he said.

As a first step, Muhammadiyah has committed to ban smoking at their national congress in Yogyakarta in July.

Retrieved from: http://www.thejakartaglobe.com/home/muhammadiyah-bans-smoking-calling-it-suicide/362944

Sunday, November 20, 2011

Bersama, Berdaulat Mengawal Negeri

oleh Abd. Sidiq Notonegoro
Judul Buku      : Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme
Penyunting      : Binhad Nurrohmat & Moh. Shofan
Penerbit           : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Cetakan           : I, 2011
Tebal               : 252 halaman
ISBN               : 978-979-25-4854-9

Tak selalu dan selamanya, ketika Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dihadapkan, yang muncul adalah perbedaan. Bila kita sudi menelisik secara lebih mendalam, yang tampak lebih menonjol sesungguhnya justru pada persamaannya daripada perbedaannya. Bukan hanya itu, pikiran-pikiran cerdas pun mampu dialirkan secara deras dari keduanya bila berkesempatan untuk berkolaborasi. 

Karena itu, idealnya energi warga Muhammadiyah dan NU lebih utama untuk menggali nilai-nilai persamaan yang (mungkin) selama ini terpendam oleh berbagai kepentingan sesaat dan politis, daripada mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang hanya bertebaran di wilayah permukaan (baca : kulit).
Bila perbedaan yang ada di Muhammadiyah dan NU hanya sebatas persoalan-persoalan kecil dan lebih menyangkut khilafiyah (perbedaan pendapat), persamaannya justru menyangkut persoalan-persoalan yang mendasar (fundamental) dan melingkupi hajat hidup bangsa (bukan sekedar kepentingan warga Muhammadiyah atau NU).  Dan tampaknya kesadaran bahwa bahwa kebersamaan dan kesamaan harus lebih dikedepankan daripada perbedaan telah ditandaskan oleh kedua belah pihak.

Mengapa lebih fokus pada persoalan kebangsaan (nasionalisme) daripada persoalan keagamaan? Selain seperti penulis ungkap diatas bahwa masalah keagamaan hanya berkutat pada masalah khilafiyah — sehingga tidak terlalu penting dibanding masalah bangsa —, tak terpungkiri bahwa secara historis Muhammadiyah dan NU sama-sama lahir sebelum berdirinya NKRI, dan keduanya secara nyata terlibat dalam perjuangan membentuk NKRI.

Terkait dengan persoalan kebangsaan, dalam buku bunga rampai ini intelektual muda Muhammadiyah, Dr. Zuly Qodir mengungkapkan bahwa baik Prof. Syafi’i Ma’arif maupun Prof. Dien Syamsuddin di era kepemimpinannya masing-masing di Muhammadiyah menandaskan tentang kebersamaannya dengan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengawal Pancasila sebagai satu-satunya pilihan dasar Negara Republik Indonesia yang tidak bisa ditawar lagi. 

Menariknya, proposisi yang paling tegas dari elit Muhammadiyah itu muncul ditengah maraknya gempuran dari kelompok Islam kecil-kecil seperti HTI, MMI, Anshoru Tauhit, FPI dan Wahdatul Islamiyah yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Muhammadiyah dan NU tetap pada pendiriannya untuk tidak mendukung pendirian Negara Islam di Indonesia (hal. 84).

Dalam hal ini, Muhammadiyah dan NU yang merupakan komunitas Islam terbesar di Indonesia harus berani dan mampu menjalankan peran-peran kebangsaan untuk melakukan transformasi sosial. Dengan meminjam pandangan Kuntowijoyo (1991), Beni Setiawan mengungkapkan bahwa betapa pentingnya agama dalam konteks kebangsaan diatas. Pemahaman terhadap agama (Islam) tidak sama dengan pemahaman Barat. Islam bukanlah sistem teokrasi, bukan pula cara berpikir yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat merangkul semua (all-embracing) bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya (hal. 130). Muhammadiyah dan NU tidak cukup hanya lantang bersuara untuk menolak atau menentang berdirinya Negara Islam di Indonesia, tetapi juga perlu menggalang aksi pencerahan kepada umat Islam di Indonesia bahwa perubahan dasar negara hanya dominan mudlarat-nya daripada manfaatnya.

Lepas dari persoalan kebangsaan (nasionalisme), buku yang sesungguhnya sangat menarik — karena penuh dengan gagasan kaum muda Muhammadiyah dan NU pewaris Indonesia masa depan — ini justru kurang diminati sebagian warga Muhammadiyah dan NU sendiri, khususnya yang pola pikirnya masih bercorak konservatif (ideologis?), tak terkecuali dari kalangan pimpinan. Utamanya yang memperlakukan Muhammadiyah atau NU seakan sebagai sebuah mazhab (aliran keagamaan). “Nuhammadiyah” dipahami sebagai keyakinan baru yang berpotensi menghilangkan karakteristik masing-masing, baik Muhammadiyah ataupun NU.
 
Alasan Binhad yang pertamakali menyodorkan judul tersebut sesungguhnya sederhana. Karena Nadhlatul Ulama diakronimkan menjadi NU, dan huruf “U” tersebut pun bisa menjadi milik dua organisasi itu ketika harus digabungkan. Maka jadilah Nuhammadiyah. Alasan lainnya hanya menimbang efisiensi, estetika atau rasa bahasa (hal. 7).

Karena itu, dengan membaca tulisan ini mudah-mudahan dapat terjadi perubahan pandangan terhadap buku ini, yang semula antipati atau ragu untuk memiliki dan membacanya, kemudian tergerak untuk memiliki, membacanya dengan tuntas dan menyatakan “apalah arti sebuah judul buku”. Semoga buku ini benar-benar mampu menjadi media pencerah bagi warga Muhammadiyah dan NU.

Abd. Sidiq Notonegoro,
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik
Pengajar di Univ. Muhammadiyah Gresik

 Published in Indo Pos,

Saturday, November 19, 2011

NUhammadiyah Bicara Nasionalisme


Judul                      : NUhammadiyah Bicara Nasionalisme 
Penulis                  : Acep Zamzam Nur, Zuly Qodir, dkk
Penyunting            : Binhad Nurrohmat dan Moh. Shofan
Penerbit                  : Ar-Ruzz Media
Edisi                        : Cetakan I, 2011
Tebal                       : 252 halaman
Membaca Semangat Nasionalisme
oleh Mukhamad Zulfa*)
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) tentu mempunyai segudang pengalaman heroik dalam membangun bangsa ini. Hadratusy Syekh Kyai Hasyim Asy’ari sebagai pendiri sekaligus ketua umum pertama mempunyai pandangan bahwa beliau tidak berkoperasi dengan penjajah. Bahkan menyerukan resolusi jihad untuk melawan.
Walau mempunyai guru yang sama dengan Hasyim Asyari dari Mekkah ataupun Indonesia sendiri. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan perserikatan Muhammadiyah pada tahun 1912. Dia mempunyai terjemahan tersendiri terhadap kolonial Belanda. Bahwa pendidikan itu penting untuk mencerdaskan bangsa. Terkesan bahwa mengekor pada cara dan kurikulum yang diajarkan Belanda pada masa itu yang kemudian dikembangkan di pesantrennya.
Buku ini hadir untuk menanggapi bagaimana nasionalisme itu diterjemahkan oleh generasi Muhammadiyah dan NU sekarang. Memberikan interpretasi terhadap cinta tanah air. Guna membangun bangsa ini agar lebih sadar betapa pentingnya menjunjung tinggi rasa kebangsaan. Sebagai organisasi besar yang ada di Indonesia mempunyai tanggung jawab penuh untuk tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terdapat adagium bahwa cinta tanah air merupakan sebagian dari pada iman. Hal ini menjadi salah satu landasan bersama untuk memperjuangkan kemerdekaan yang telah direbut oleh pahlawan. Kita
mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan bangsa.
Bunga rampai ini merupakan buah persinggungan dari buku yang dihadirkan masing-masing organisasi. Satu Abad Muhammadiyah (2010) dan bunga rampai Dari Kyai Kampung ke NU Miring (2010). Hingga
Binhad dan Sofwan setuju untuk memberikan sumbangsih pemikiran menyunting tulisan guna mewujudkan buku ini.
Dalam halaman depan Binhad mengawali dengan semangat perlawanan yang dilakukan oleh Kyai Ahmad Rifai terhadap Belanda di masa penjajahan dengan menggunakan tulisan. Berupa pamlet yang
disajikan merupakan bentuk protes terhadap ulama dan birokrasi yang tunduk pada Belanda.

Cerita tentang kyai Rifai ini ditulis hasil dari perjalanan Binhad di kota Pekalongan untuk menemukan kebenaran cerita yang langsung dari sumber asalnya. Gaya khas NU ini menjadi ciri bahwa Binhad merupakan NU sejati yang cinta ziarah sebagai laku “orang NU”. Beliau yang sadar akan keadaan yang menindas kaum muslimin, mulai mencurahkan pemikiran dengan menulis kitab yang berbahasa Jawa
menggunakan huruf pegon yang lebih mudah difaham oleh masyarakat. Dibanding dengan bahan ajar kitab di pesantren pada umumnya yang berbahasa Arab.
Untuk menyebarkan propaganda pada kyai Rifai dan pengikutnya merupakan orang yang patut dimusuhi Belanda menyebutnya sebagai santri celeng. Guna membunuh karakternya. Bahkan Kyai Rifai pernah dibuang di Ambon sebab menurut Belanda ajaran yang dibawanya membahayakan kolonial. Di tanah Maluku, beliau masih melakukan propaganda untuk melawan penjajah. Sebab itulah akhirnya beliau dibuang di Manado. Dan meninggal di sana.
Lain dengan tulisan Soffa Ihsan yang berjudul Nasionalisme Miring Nahdliyyin, membeber bahwa banyak tokoh dari NU yang melakukan perilaku “miring” dalam berbangsa. Misalnya, Mbah Lim
(Kyai Imam Puro) dari Klaten Jawa Tengah bernadzar apabila dirinya siap diadzab oleh Allah. Apabila hingga terwujudnya Indonesia bersatu, adil, dan makmur. Tak ayal, Mbah Lim tidak bisa berak selama beberapa bulan, walaupun makan dengan kenyang. (halaman 109)
Tak mau kalah dengan Mbah Lim, Gus Mus (Musthafa Bisri) menyerukan bahwa nasionalisme santri adalah dengan cinta Indonesia. Bahwa kita makan minum di tanah air ini. Jadilah Indonesia yang Islam
bukan Islam yang Indonesia. (119) Dan masih banyak lagi laku miring yang dilakukan oleh tokoh NU lainnya.

Nasionalisme ala Muhammadiyah
Paparan Benni Setiawan dalam Nasionalisme Muhammadiyah, mengutip perkataan Muarif bahwa terbagi menjadi tiga periode dalam proses nasionalisme Muhammadiyah yaitu pertama pada masa Kyai Ahmad Dahlan nasionalisme dimaknai sebagai konteks persatuan. Zaman kedua masa Kyai Ibrahim Nasionalisme berarti Indonesia sedangkan terakhir pada zaman Kyai Mas Mansur penerjemahan nasionalisme adalah semangat patriotik. (133)
Dalam pengantar penyunting buku ini, Binhad menjelaskan bahwa judul buku ini merupakan masalah rasa bahasa. Bukan berarti apa. Jika ditilik dalam kacamata historis tentu NU lebih muda dibanding
Muhammadiyah. Mengapa ditaruh di depan, bukan di belakang. Terdapat satu huruf yang dapat melebur antara keduaanya, yaitu huruf u. Sehingga lebih menarik menggunakan kata NUhammadiyyah dibandingkan MuhammadiyahNU.
*)Mukhamad Zulfa, kader muda NU aktif di IDEASTUDIES Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Retrieved from: http://analisisnews.com/analisis/resensi-buku/710-nuhammadiyah-bicara-nasionalisme 

----------
Binhad Nurrohmat (Penyunting, Kontributor), Moh. Shofan (Penyunting, Kontributor), David Krisna Alka (Kontributor), Soffa Ihsan (Kontributor),Benni Setiawan (Kontributor), Hodri Arief (Kontributor), Sahlul Fuad(Kontributor), Anggi Ahmad Haryono (Kontributor) , Sa’duddin Sabilurrasad (Kontributor), Subhi Ridho (Kontributor), M. Arief Hidayat(Kontributor), Asman Azis (Kontributor), Acep Zamzam Noor(Kontributor), Zuly Qodir (Kontributor), Eyik Mustain Romly(Kontributor)

Sunday, November 13, 2011

Introducing Human Rights Education in Indonesia: the Experience of Muhammadiyah Schools 2005-2010

Miswanto, Agus. 2010. Introducing Human Rights Education in Indonesia: the Experience of Muhammadiyah Schools 2005-2010. MA Thesis - Institute of Social Studies, the Netherlands.


Abstract
This research examines the introduction and negotiation of Human Rights Education (HRE) in Muhammadiyah schools in Indonesia. The content of the curriculum is a central concern of this research, especially in how it reveals debates between the progressive and the conservative tendencies within Muhammadiyah itself.  Regarding the HRE curriculum model and the strategies or approaches used in introducing HRE, the study explores both the curriculum itself and draws on interviews with key actors in the process of curriculum design.  Through literature study and in-depth interviews data was collected and a value-critical policy analysis carried out.  The research found that the refusal of conservatives groups to acknowledge the importance of HRE in the Muhammadiyah school curriculum arose from uncertainties about the connection between HRE and dominant western ideologies, viewed as hostile to ‘Islamic values’. Since, in practice, implementing HRE in Muhammadiyah schools has entailed positive impacts upon students’ learning experience, and has improved of teaching performance, the assessment in this study is positive overall; HRE has proven to be a valuable addition to the curriculum.  Some of the fears and doubts among more conservative educators and thinkers, have proven unfounded to the extent that HRE in Muhammadiyah schools seems to have reinforced rather than undermined the Islamic pillars of the Muhammadiyah educational system.  The present curriculum is thus the result of reconciled values which incorporate both Islamic values and universal values of human rights. The study ends with a number of modest recommendations to strengthen HRE in future.

Keywords
Muhammadiyah, Human Rights Education (HRE), Universalism, Relativism, conservatives, progressives, Islam, Indonesia.

Saturday, November 12, 2011

Buku Ajar Pendidikan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM

Muhammadiyah
Buku Suplemen Berbuah Protes

Kultum (kuliah tujuh menit) bakda lohor yang disampaikan Achmad Solomo, Selasa dua pekan lalu, itu membuat resah jamaah. Pasalnya, kultum yang disampaikan anggota Lembaga Pembina dan Pengawas Keuangan PP Muhammadiyah di Masjid At-Taqwa, di kawasan Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, itu mengkritik tiga buku yang diajarkan untuk lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Tiga buku yang diterbitkan atas kerja bareng Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah dengan Maarif Institute itu adalah Buku Ajar Pendidikan Al-Islam Berwawasan Hak Asasi Manusia, Buku Ajar Pendidikan Kemuhammadiyahan Berwawasan Hak Asasi Manusia, serta Buku Panduan Guru Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan Hak Asasi Manusia (HAM). Ketiga buku itu ditulis dengan bahasa yang komunikatif dan dihiasi dengan ilustrasi atraktif.

Oleh Achmad Solomo, ketiga buku itu dinilai tidak sesuai dengan pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah. Sebab judulnya disertai "berwawasan HAM". Penyertaan dua kata itu juga dimasalahkan oleh Risman Muchtar, Wakil Sekretaris Majelis Tablig dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.

Risman bersama wakil ketua majelis itu, Fakhrurrazi Reno Sutan, melayangkan surat tanggapan resmi kepada penerbitnya. Dalam surat tanggapan itu, kata Risman, ketiga judul buku yang selesai dicetak pada Agustus lalu itu tidak sesuai dengan pemahaman resmi Muhammadiyah tentang Islam. Teks "berwawasan HAM" itu mengindikasikan bahwa Al-Islam dan kemuhammadiyahan menjadi sub-ordinat HAM. "Harusnya HAM yang menyesuaikan dengan ajaran Islam," ujarnya.

Lebih jauh lagi, lanjut Risman, dalam pengantarnya disebutkan, selain bersumber pada Al-Quran dan sunah, juga berlandaskan HAM. Embel-embel berwawasan dan berlandaskan HAM itu dinilai Risman merusak ajaran Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang benar. Sehingga, kata Risman, ada kesan, Al-Islam dan kemuhammadiyahan dalam tiga buku itu merujuk pada HAM yang berpaham Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Dengan demikian, menurut Adian Husaini, yang juga anggota majelis itu, karena sudah meletakkan HAM sebagai landasan untuk memahami Al-Quran dan sunah, maka buku itu mendukung DUHAM kelahiran San Francisco tahun 1948. DUHAM itu dinilainya memosisikan syariat Islam di bawah HAM. Yang benar, lanjut Adian, syariat Islam berada di atas HAM, sebagaimana Deklarasi Kairo menegaskannya pada 1990. "Sejumlah pasal Deklarasi Kairo merupakan koreksi terhadap DUHAM," papar Adian.

Selain itu, kata Risman, isi buku-buku kaya kelir itu provokatif. Karenanya, buku-buku itu berpotensi menimbulkan salah paham tentang ajaran Islam. Contohnya, menurut Risman, dapat dilihat di halaman 74 pada Buku Panduan Guru Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM. Pada halaman itu, Risman tidak setuju tafsiran "din yang berarti agama" dalam surat Al-Kaafirun diartikulasikan lebih jauh hingga menjadi tujuh poin. "Pengertiannya sudah jauh dari asbaabu an nuzuul yang utama," katanya.

Untuk itu, Risman meminta penerbit tiga buku itu urung mengedarkan dan mengajarkannya ke seluruh lembaga pendidikan menengah Muhammadiyah. Ia pun meminta Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah melibatkan pimpinan majelis-majelis lain yang terkait dengan materi tersebut. Misalnya Majelis Tablig dan Dakwah Khusus atau Majelis Tarjih dan Tajdid. "Kami sangat berkepentingan karena majelis menangani dai-dai di akar rumput secara langsung," ia menegaskan.

Selain di tingkat pusat, geger buku itu juga terjadi hingga tingkat pimpinan daerah. Jamaludin, Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember, Jawa Timur, misalnya, menolak sosialisasi dan launching buku itu pada Oktober silam. "Sejak Rakernas Dikdasmen se-Indonesia di Pondok Gede, Oktober lalu, saya minta tiga buku itu dicabut," katanya.

Jika akan diralat, lanjut Jamaludin, judul buku itu harus berbunyi "HAM Berwawasan Islam & Kemuhammadiyahan". Ini dapat dipahami bahwa Islam adalah rahmatan lil'alamin. "Al-Islam dan kemuhammadiyahan berwawasan HAM itu berarti berwawasan sempit," ujarnya.

Tapi Husni Toyyar, Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, menanggapinya dengan kalem. Ia menerangkan, tiga buku itu sebetulnya bukan buku pokok atau wajib dan harus diajarkan di seluruh lembaga pendidikan menengah Muhammadiyah di Indonesia. Sifatnya mubah saja. "Itu buku suplemen, bukan buku pokok atau wajib," katanya.

Lagi pula, kata Husni, tiga buku itu belum resmi diedarkan, baru sebatas diuji coba di tiga wilayah: Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Suplemen itu, menurut Husni, sebetulnya hasil pengembangan buku wajib pendidikan Al-Islam dan kemuhammadiyahan level SMA, yang telah disusun dan diedarkan ke seluruh sekolah Muhammadiyah di Indonesia.

Setelah dikaji secara berjamaah, kata Husni, dalam buku wajib yang berdasarkan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan itu ditemukan materi-materi yang berkaitan dengan HAM. Lewat materi yang berkaitan dengan HAM inilah kemudian terjalin kerja sama dengan Maarif Institute untuk menerbitkan tiga buku itu.

Husni juga mengklarifikasi pengantar Ketua Majelis Dikdasmen, Yahya A. Muhaimin, dalam buku itu yang berbunyi "berlandaskan HAM". Menurut dia, itu terjadi karena kesalahan teknis. Yang benar adalah "berwawasan HAM". Baginya, kata "berwawasan HAM" tidak perlu dipersoalkan. Sebab kata "berwawasan" itu berarti memperkaya dan menambah cara pandang, bukan mendasarkan atau melandasi. Justru dua deklarasi HAM itu menghiasi isi buku tersebut. "Rujukan ajaran Muhammadiyah tetap Al-Quran dan sunah," ia menegaskan.

Terkait contoh soal "din yang berarti agama" dalam surat Al-Kaafirun itu, Husni memaklumi bila ada sekelompok orang yang berpandangan berbeda. Sebab, bila dibaca secara utuh, tidak akan menjauh dari substansi sebab-sebab keturunan ayat itu. Ayat itu, lanjut Husni, menjelaskan tentang menghargai keberadaan agama selain Islam. Lalu menghargai hidup dan berdampingan dengan nonmuslim dalam konteks Indonesia yang heterogen. "Soal iman akidah memang harus teguh. Tapi kita juga tetap berkomunikasi sosial dengan nonmuslim," katanya.

Direktur Program Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq, menyatakan bahwa buku-buku itu bagian dari agenda besar institusinya. Agenda yang dilakukan sejak Mei 2007, berkerja sama dengan New Zealand Agency For International Development, itu adalah program pengembangan kapasitas pendidikan Al-Islam dan kemuhammadiyah, dengan pilot project Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.

Sebelum buku-buku itu terbit, kata Fajar, pihaknya melakukan berbagai kegiatan. Dari halaqah, penelitian, hingga lokakarya. "Buku itu sudah di-review berulang-ulang oleh editor ahlinya," tuturnya. Fajar dan Husni menyatakan akan meralat isi tiga buku itu, setelah Majelis Tarjih dan Tajdid mengkajinya secara intensif. Sebab majelis inilah yang dinilai paling berkompeten menyelesaikan dan memvonisnya di internal Muhammadiyah.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, Syamsul Anwar, mengakui adanya polemik atas tiga buku itu. Ia pun memakluminya. Di Muhammadiyah, menurut Syamsul, masih berkembang dua tipikal kelompok. Yakni kelompok literalis dan kontekstual. Kelompok literalis lebih cenderung pada pendekatan teks dan berlatar belakang pendidikan tradisional. Kelompok ini masih kuat di wilayah-wilayah.

Sedangkan kelompok kontekstual lebih mempertimbangkan konteks sosial dan dinamika kebudayaan dalam menafsirkan teks. "Saya akan segera menjelaskan hasilnya bila proses membaca dan mengkajinya sudah selesai," ujar Syamsul.

Deni Muliya Barus
[Buku, Gatra Nomor 4 Beredar 4 Desember 2008]

Friday, November 11, 2011

Muhammadiyah dan HAM: Catatan untuk buku “Kemuhammadiyahan berwawasan HAM”

“Muhammadiyah dan HAM”

Mewajibkan buku “kemuhammadiyahan berwawasan HAM” di sekolah-sekolah Muhammadiyah sebaiknya ditinjau kembali. Dikaji cermat oleh para ulama yang benar-benar mengerti tentang Islam. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-147

Oleh: Adian Husaini

Selasa (28 Oktober 2008) lalu, dalam sebuah acara pengajian di lingkungan warga Muhammadiyah, saya menerima sebuah buku berjudul Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (Buku Panduan Guru). Di dalam pengantarnya, buku ini dicanangkan sebagai buku wajib yang harus dipelajari oleh semua siswa dan guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Juga dikatakan, bahwa buku ini ”telah sesuai dengan prinsip dasar ajaran Muhammadiyah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta berlandaskan HAM.”

Disebutkan juga, bahwa naskah buku ini disiapkan oleh Maarif Institute for Culture and Humanity, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan oleh Prof. Syafii Maarif, mantan ketua PP Muhammadiyah. Direktur Program Maarif Institute mengakui, bahwa penerbitan buku ini juga didukung oleh New Zealand Agency for International Development (NZAID).

Karena ditulis sebagai buku wajib untuk seluruh siswa dan guru Muhammadiyah, maka tentu saja buku ini wajib dicermati. Sebagaimana umat Islam lainnya, warga Muhammadiyah sudah terbiasa menegaskan paham keagamaannya dengan berdasar kepada Al-Quran dan Sunnah. Untuk mempertegas metodologi dalam pemahaman Al-Quran dan Sunnah, ada yang memperjelasnya dengan tambahan: ’ala manhaj salafus-shalih. Maka, umat Islam akan merasa aneh ketika mendengar ungkapan, ”sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah serta berlandaskan HAM.”

Jadi, menurut buku ini, tidaklah cukup dalam ber-Islam, kita hanya berdasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah saja. Tapi, masih harus ditambah lagi dengan kaedah ”berlandaskan HAM” atau ”berwawasan HAM.” Gampangnya, HAM harus dijadikan sebagai landasan, sebagai tolok ukur, dalam melihat Islam, dalam memahami Al-Quran dan Sunnah. Sebab, HAM itu sesuai dengan Islam. Bahkan, tulis buku ini: ”Islam datang menawarkan sejumlah upaya untuk liberasi, membebaskan manusia dari seluruh bentuk penistaan, penindasan, dan pelanggaran atas HAM. Islam juga sangat menekankan humanisasi, memanusiakan manusia secara adil dan seimbang.” (hal. 7).

Karena sudah meletakkan HAM sebagai dasar dalam memahami Al-Quran dan Sunnah itulah, maka buku ini berupaya mengajak kita agar mendukung dan menerapkan isi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ditulis dalam buku ini:

”Deklarasi ini berisi 30 pasal yang dirancang untuk mencapai standar bersama tentang hak dan kebebasan bagi semua orang dan bangsa. Secara individu maupun kolektif, kita semua harus secara terus-menerus mengupayakan terpenuhinya hak-hak kebebasan tersebut. Tentu saja ini bisa disebarluaskan dan ditanamkan melalui pengajaran dan pendidikan.” (hal. 9).

Upaya untuk meletakkan HAM di atas Al-Quran dan Sunnah akan selalu ditolak oleh umat Islam. Umat Islam lazimnya melihat HAM, demokrasi, kesetaraan gender, dan berbagai paham atau gagasan baru dengan kacamata Al-Quran dan Sunnah. Kaum sekuler, akan berpikir sebaliknya. Mereka melihat Al-Quran dan Sunnah dengan kacamata HAM. Padahal, jika dicermati, konsep HAM itu sendiri masih merupakan konsep yang bermasalah. Ada yang bisa diterima dalam Islam, dan ada yang tidak bisa diterima.

Karena itulah, pada tahun 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) menghasilkan ”Deklarasi Kairo” (The Cairo Declaration on Human Rights in Islam), sebagai ”tandingan” dari DUHAM yang dikeluarkan di San Francisco pada 24 Oktober 1948. Pasal 25 Deklarasi Kairo menegaskan: ”The Islamic Syariah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.” (Syariat Islam adalah satu-satunya penjelasan atau klarifikasi dari semua artikel dalam Deklarasi Kairo ini).

Jadi, dalam Deklarasi Kairo, negara-negara Islam telah sepakat untuk meletakkan syariat Islam di atas HAM. Bukan sebaliknya: meletakkan Islam di bawah HAM. Karena itulah, ada sejumlah pasal Deklarasi Kairo yang merupakan koreksi terhadap DUHAM. Sebagai contoh, dalam konsep perkawinan. DUHAM pasal 16 menyatakan: ”Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution.” (Laki-laki dan wanita yang telah dewasa, tanpa dibatasi faktor ras, kebangsaan atau agama, memiliki hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama terhadap pernikahan, selama pernikahan, dan saat perceraian).

Dalam Deklarasi Kairo, soal perkawinan ditegaskan dalam pasal 5 yang bunyinya: ”The family is the foundation of society, and marriege is the basis of its formation. Men and women have the right to marriege, and no restrictions stemming from race, colour or nationality shall prevent them from enjoying this right.” (Keluarga adalah fondasi masyarakat, dan perkawinan adalah basis pembentukannya. Laki-laki dan wanita memiliki hak untuk menikah dan tidak boleh ada pembatasan dalam soal ras, warna kulit, dan kebangsaan yang menghalangi mereka untuk menikmati hak tersebut).

Dari sini kita paham bahwa negara-negara Islam telah sepakat untuk menolak mengabaikan faktor agama dalam pernikahan. Sebab, memang ajaran Islam mengatur masalah perkawinan dengan jelas dan tegas. Wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki kafir (non-Muslim). Bagi kaum Muslim, faktor agama adalah soal mendasar dalam membangun tali ikatan kasih sayang. Tidaklah mungkin dua manusia yang berbeda iman akan dapat membangun tali kasih sayang yang sejati.

”Kamu tidak akan jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara, atau pun keluarga mereka.” (QS al-Mujadilah:22).

DUHAM dirumuskan dengan berbasis paham humanisme sekuler, yang meletakkan faktor ”kemanusiaan” lebih tinggi dari pada agama. Bagi mereka, agama disamakan dengan faktor ras dan kebangsaan; agama bukanlah hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan perkawinan. Jika dua insan sudah saling mencintai, maka faktor apa pun – termasuk agama dan jenis kelamin – tidak boleh menghalangi mereka untuk melaksanakan pernikahan. Itu kata DUHAM.

Tapi, tidak!, kata umat Islam. Deklarasi Kairo menolak rumusan hak perkawinan ala DUHAM itu. Bagi kaum sekular, agama harus tunduk kepada HAM. Bagi kaum Muslim, HAM harus tunduk kepada ajaran Islam. Karena itulah, bagi seorang Muslim, tidak ada pilihan lain kecuali melihat segala sesuatu – termasuk HAM – dengan kacamata Islam. Itulah konsekuensi seorang memilih Islam. Prinsip Islam itu akan berbeda dengan orang sekuler yang menjadikan DUHAM sebagai kitab sucinya. Bagi mereka – sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 DUHAM -- bahwa setiap orang mempunyai hak dan kebebasan tanpa perbedaan apa pun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, termasuk agama.

Maka, dunia Islam tentu saja menolak prinsip seperti itu. Disamping soal pernikahan, Deklarasi Kairo juga menolak konsep kebebasan beragama ala DUHAM, sebagaimana tercantum dalam pasal 18:

“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.” (Setiap orang mempunyai hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup hak untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan -- baik sendiri atau di tengah masyarakat, baik di tempat umum atau tersendiri – untuk menyatakan agama atau kepercayaannya, dengan mengajarkannya, mempraktikkannya, beribadah atau mengamalkannya).

Jadi, DUHAM menjamin hak untuk pindah agama (hak untuk murtad). Sebagian kalangan yang menjadikan DUHAM sebagai kitab sucinya telah mendatangi Komnas HAM dan menuntut pembubaran MUI, karena MUI telah mengeluarkan fatwa sesat atas Ahmadiyah, agama Salamullah, dan sebagainya. Bagi mereka, HAM dan kebebasan adalah segala-galanya. Aturan-aturan agama yang dianggap bertentangan dengan DUHAM harus dibuang atau ditafsirkan ulang.

Deklarasi Kairo membuat konsep tandingan terhadap konsep kebebasan beragama versi DUHAM tersebut. Pasal 10 menegaskan:

“Islam is the religion of unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of compulsion on man or to exploit his poverty or ignorance in order to convert him to another religion or to atheism.” (Islam adalah agama yang murni (tidak rusak atau tercemar). Islam melarang adanya paksaan dalam bentuk apa pun untuk mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan seseorang untuk mengganti agamanya ke agama lain atau ke atheisme)

Karena berbasis pada pemikiran humanisme sekuler, maka DUHAM tidak memandang penting soal pergantian agama. Mau Islam, Kristen, atheis, atau apa pun, tidak dianggap penting. Bagi kaum sekuler, yang penting iman kepada HAM dan tidak melanggar kebebasan. Mereka juga tidak peduli, apakah suatu aliran keagamaan menyimpang atau melecehkan suatu agama atau tidak. Yang penting bebas beragama apa pun, aliran apa pun.

Padahal, dalam Islam, soal murtad adalah masalah yang sangat serius. “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dan dia dalam keadaan kafir, maka hapuslah amal perbutannya di dunia dan akhirat, dan mereka itu penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah:217).

Ulama Muhammadiyah terkenal, Prof. Dr. Hamka telah membuat kajian khusus tentang DUHAM, dalam satu makalah berjudul Perbandingan antara Hak-Hak Azasi Manusia Deklarasi PBB dan Islam. Terhadap pasal 18 DUHAM, Hamka memberikan kritik yang sangat tajam. Mengutip QS al-Baqarah ayat 217, Hamka menyatakan:

“Kalau ada orang-orang yang mengaku Islam menerima hak pindah agama ini buat diterapkan di Indonesia, peringatkanlah kepadanya bahwa ia telah turut dengan sengaja menghancurkan ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an. Dengan demikian Islamnya sudah diragukan. Bagi umat Islam sendiri, kalau mereka biarkan program penghancuran Islam yang diselundupkan di dalam bungkusan (kemasan) Hak-hak Azasi Manusia ini lolos, berhentilah jadi muslim dan naikkanlah bendera putih, serahkanlah ‘aqidah dan keyakinan kepada golongan yang telah disinyalemen oleh ayat 217 Surat al-Baqarah itu; bahwa mereka akan selalu memerangi kamu, kalau mereka sanggup, selama kamu belum juga murtad dari Agama Islam.”

Terhadap pasal 16 DUHAM, yang mengabaikan faktor agama dalam pernikahan, Hamka juga menolak dengan keras. Dalam soal pernikahan, harus ada pembatasan soal agama.

“Tegasnya di sini bahwa Muslim yang sejati, yang dikendalikan oleh imannya, kalau hendak mendirikan rumah tangga hendaklah dijaga kesucian budi dan kesucian kepercayaan. Orang pezina jodohnya hanya pezina pula, orang musyrik, yaitu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Tuhan Allah, jodohnya hanya sama-sama musyrik pula,” tulis Hamka.

Mengapa pasal 16 dan 18 DUHAM ditolak oleh Hamka?

“Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; al-Qur’an dan al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan,” demikian Hamka.

Demikianlah, memang ada yang sangat bermasalah dalam konsep HAM yang tertera dalam DUHAM. Karena itu, konsep HAM justru perlu diletakkan dalam kacamata Islam. Itulah yang dilakukan Prof. Hamka, dan juga OKI, sehingga sampai muncul Deklrasi Kairo. Sayangnya, buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan produksi Maarif Institute ini tidak mengklarifikasi soal HAM terlebih dulu, tetapi justru mencarikan legitimasinya dalam ajaran Islam. Cara pandang semacam ini keliru.

Karena itu, sebelum buku ini dijadikan buku wajib di sekolah-sekolah Muhammadiyah, sebaiknya ditinjau kembali; dikaji dengan cermat oleh para ulama yang benar-benar mengerti tentang Islam. Sebenarnya, agenda pengajaran HAM bukanlah hal yang mendesak bagi umat Islam. Ini jelas agenda Barat. Padahal, negara-negara Barat itulah yang perlu ditraining tentang HAM, agar mereka tidak semena-mena memaksakan ideologinya kepada umat manusia. Agar mereka menghormati kaum Muslim. Jika mereka menghormati kebebasan manusia, harusnya mereka tidak ‘belingsatan’ melihat orang Islam yang menjalankan syariat agamanya. Katanya toleran dengan yang lain. Faktanya, mereka sangat sensitif dengan penerapan syariat Islam.

Tapi, sebaiknya kita berkaca pada diri sendiri. Seharusnya, sebagai umat, kita memiliki izzah, memiliki kehormatan diri, tidak mudah silau dengan konsep-konsep baru yang datang dari Barat. Bukan kita yang harusnya menerima dana dari mereka untuk mengubah ajaran Islam agar sesuai dengan cara pandang Barat. Harusnya kita malu melakukan hal itu. Harusnya, kita-lah yang mendidik orang-orang Barat agar mereka mengenal ajaran Islam dengan baik.

Memang, seperti dinyatakan oleh Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam buku klasiknya, Islam at the Crossroads, imitasi terhadap pola pikir dan pola hidup Barat inilah yang merupakan bahaya terbesar dari eksistensi umat Islam. Kata Asad:

The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic civilization.”

Kebanggaan akan nilai-nilai Islam itulah yang harusnya diajarkan kepada para pelajar Muslim, baik di sekolah-sekolah Muhammadiyah atau sekolah Islam lainnya. Semangat itu pula – bangga sebagai pengikut Nabi Muhammad saw -- yang sejak awal ditanamkan oleh pendiri Muhammadiyah, KH A. Dahlan. Karena itu, di kalangan Muhammadiyah, kita mengenal keteguhan Hamka dalam mempertahankan keteguhan pendiriannya.

Kita juga mengenal keteguhan Ki Bagus Hadikusumo, yang dengan tegas menolak menolak keharusan Saikeirei (membungkuk ke arah matahari terbit sebagai penghormatan kepada Kaisar Jepang). Penguasa Jepang di Yogya, Kolonel Tsuda, pernah memanggil Ki Bagus, sembari membentak: “Tuan Ki Bagus, saya minta agar Tuan memerintahkan kepada orang-orang Islam dan Muhammadiyah, serta murid-murid semua untuk melakukan Saikeirei!” Jawab Ki Bagus: “Tidak mungkin, karena agama Islam melarangnya.!” (Lihat, Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusumo, Yogya: Pilar Media, 2005).

Mudah-mudahan kita bisa meneladani pemimpin kita yang tidak rela membungkuk kepada “penjajah”. [Jakarta, 30 Oktober 2008/www.hidayatullah.com

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7834:muhammadiyah-dan-ham-&catid=3:catatan-akhir-pekan-adian-husaini&Itemid=58

Kritik buku: “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Pertama)

IFTITAH : MENAKAR ULANG SUDUT PANDANG KITA
Fathurrahman Kamal, Lc., MA
Pada awal Nopember lalu, sahabat saya Ustadz Adian Husaini, bercerita tentang pengajian warga Muhammadiyah, yang kebetulan, beliau menjadi nara sumbernya. Seorang jama’ah pengajian menyodorkan buku bertajuk “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” yang diterbitkan oleh Ma’arif Institute dengan sokongan dana dari New Zealand Agency for International Development, seperti penjelasan Fajar Riza Ulhaq, direktur program penyusunan buku panduan mata pelajaran AIK bagi para guru di lingkungan pendidikan menengah Muhammadiyah. Alhamdulillah, tak lama kemudian saya mendapatkan satu naskah copian buku tersebut.
Suara Muhammadiyah No. 23/TH. Ke-93/1-15 Desember 2008 pada rubrik Telaah Pustaka, memuat resensi AIK Berwawasan HAM bertajuk “Wawasan HAM Dalam Al-Islam dan Kemuhammadiyahan”. Resensi tersebut ditulis oleh Farid Setiawan, peneliti di Lentera Research Institute Yogyakarta dan sekretaris Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta.
Farid Setiawan menulis demikian,
“Di era sekarang, HAM dan Islam sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Ini tidak dimaknai bahwa posisi HAM berada di atas Al-Qur’an dan Al-Hadits. Akan tetapi, hal itu lebih dititik-beratkan pada upaya penggalian kembali terhadap khasanah Islam. Dalam konteks ini, para cendikiawan muslim sudah selayaknya melakukan “adaptasi” dan bahkan “integrasi” terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dilandasi oleh spiritualitas agama. Di sinilah posisi HAM menjadi elemen penting bagi kehidupan masyarakat Muslim modern, khususnya dalam dunia pendidikan.”
“Berangkat dari upaya penggalian khasanah Islam yang disertai dengan keprihatinan teramat mendalam akan tindakan-tindakan tidak manusiawi di zaman modern, buku Al-Islam dan ke-Muhammadiyahan (AIK) berwawasan Hak Asasi Manusia ini hadir…”
“Karenanya, buku ini menjadi layak untuk dipelajari oleh semua pihak, tak terkecuali, para stake-holder pendidikan Muhammadiyah.
“Ada sebuah harapan yang sangat obsesif ketika buku ini diperkenalkan dan dipelajari oleh peserta didik. Upaya pengenalan akan HAM terhadap peserta didik tentunya dapat mengeliminasi munculnya para “preman berseragam”, yang pada kurun waktu terakhir ini mulai mendominasi”.[1]
Namun anehnya, pada bagian akhir resensinya, Farid mengekspresikan sikapnya yang ambivalen dan paradoks dengan segala pujian dan harapan obsesifnya yang tertulis dan terbaca di atas. Dengan nada bimbang ia menulis sebagai berikut :
“Sebaliknya, saya kurang sependapat jikalau buku ini benar-benar dipaksakan sebagai buku pegangan wajib siswa maupun guru di sekolah Muhammadiyah se Indonesia. Karena, dalam dunia yang sangat pluralis, sebagaimana terjadi sekarang, adalah penting untuk dicatat, bahwa susah memaksakan satu standar paradigma atau worldview, di mana paradigma itu mengklaim orang lain salah dan harus berubah mengikuti paradigma HAM. Pun juga demikian, apabila materi pokok AIK cenderung dipaksakan dalam perspektif HAM, tentu saja pemahaman peserta didik akan AIK menjadi terlalu sempit. Masih banyak perspektif lain yang perlu disampaikan melalui AIK…”[2]
Tulisan resensi di atas, secara sederhana, menggambarkan sedikitnya tiga hal; pertama, sikap ‘gamang’ dan ‘bingung’ bagaimana seharusnya mendudukkan Al-Qur’an dan Sunnah secara operasional dalam keseharian kita; kedua, keresahan akan tindak kekerasan atas nama agama yang “selalu” dan “hanya” dialamatkan kepada umat Islam berikut stigma negatifnya yang khas “preman berseragam”. Ada juga yang melabelnya dengan sebutan “preman berjubah”; ketiga, idealisasi Duham sebagai paradigma penafsiran atas Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, konsep hak asasi manusia ala Duham yang menafikan relasi transenden manusia dengan Allah s.w.t., antroposentris dan sekaligus dualis itu menjadi standar nilai bagi aplikasi Islam dan Kemuhammadiyahan.
Mencermati tiga catatan di atas, dalam hemat pendapat penulis, kita berkewajiban untuk merefresh kembali struktur aqliyah, ruhiyah dan jasadiyah ke-Islaman dan ke-muhammadiyahan kita, khususnya tentang pandangan hidup. Sekali lagi, Pandangan hidup atau worldview kita (al-tashawwur al-Islami) meniscayakan wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai dasar perspektif dan cara pandang. Sepadan dengan penjelasan Dr. Haedar Nashir, “Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w., menjadikan ajaran Islam itu sebagai Way of Life bagi kehidupan segenap warga Muhammadiyah sebagaimana tercermin dalam keseluruhan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah.”[3] Penjelasan inilah yang semestinya menjadi spirit dan pedoman kita dalam menerima atau menolak segala sesuatu yang belum sepenuhnya disepakati dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Tidak apriori menerima ataupun apriori menolak.
Berbeda dengan buku AIK Berwawasan HAM tersebut. Islam dan Sunnah, atau lebih khusus lagi semacam Kemuhammadiyahan, Pedoman Hidup Islami, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah yang menjadi rujukan otentik manhaj dakwah Muhammadiyah, tidak lagi menjadi perspektif dan cara pandang. Tetapi semuanya ditundukkan dan diletakkan dibawah ‘mikroskop’ bernama Hak Asasi Manusia versi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948). Lugasnya, Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) dan Muhammadiyah dikungkung dalam teropong dan perspektif HAM. Implikasinya jelas, apapun pemaknaan terhadap Islam dan Muhammadiyah beserta seluruh sistem nilai dan ajarannya harus diselaraskan dengan pasal-pasal deklarasi tersebut yang sejak kemunculannya hingga kini masih problematis dan menyisakan sejumlah perkara substantif dan prinsip dalam agama.
Mungkin ada banyak tawaran yang lebih menggiurkan secara pragmatis, tapi Al-Qur’an bertutur demikian :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Al-An’am : 153)
Lagi pula, sebagai manusia beriman kita wajib mawas diri sekaligus khawatir dengan keterangan dan tuntunan ayat lain terbaca di bawah ini. Mungkin pengembaraan intelektualitas tak terbendung. Akal beranjak ke tangga langit pengetahuan tak lagi tertahankan. Sokongan dan pujian sosial tak lagi tertakar. Tapi, sekali lagi, apalah makna hidup bertabur mutiara, pujian dan kilauan lentera dunia, sementara di akherat, sudah buta tak menatap, dicuekin pula?! Ah, terlalu gambling dan spekulatif!
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى.
“Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam Keadaan buta, Padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” (Thaha : 124-126)
Jika kita tak mampu menundukkan segala kepentingan pragmatis kehidupan dalam berbagai konteks; pemikiran, sosial, politik, budaya, adat-istiadat dan seterusnya dibawah tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah maka, dalam pandangan KH Ahmad Dahlan rahimahullah, kita telah tertawan oleh hawa nafsu, bahkan kita telah mempertuhankannya. Memaknai ayat 36 surat al-Jatsiyah, beliau berkata demikian,
“Kita dilarang untuk menghambakan diri kepada siapapun atau benda apapun jua, kecuali kepada Allah SWT. Orang yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, mengerjakan apa saja yang menjadi dorongan hawa nafsunya dapat dikategorikan sebagai musyrik. Kaum musyrikin menyembah berhala karena taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang mereka. Ini bermakna mereka menjadi hamba dari hawa nafsunya, patuh mengikuti perilaku kebiasaan yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat mereka.”
“Siapa saja yang tunduk/taat dan berbuat mengikuti kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Allah SWT juga dapat disebut sebagai penyembah hawa nafsu. Karena jelas, kita tidak diperbolehkan secara syar’iy untuk mencintai siapapun jua di atas cinta kasih kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.”
“Berhala hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Dalam pemenuhan cinta terhadap hawa nafsunya, manusia seringkali lupa akan akibat dan malapetaka yang ditimbulkannya, lupa akan akibat-akibat buruknya. Manusia berbuat semaunya, mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan, kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.”[4]

[1] Suara Muhammadiyah No. 23/TH. Ke-93/1-15 Desember 2008, hal. 43 (paragraf ke-1)
[2] Ibid. (paragraf ke-10)
[3] Haedar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), Cet. Pertama, hal. 96
[4] KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 45-47

Retrieved from: http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=168
For those who are interested to read the next part of this article, see the following link:
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Kedua) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=170
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Ketiga) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=172
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Keempat) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=174
KRITIK BUKU : “Al-Islam & Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM” (Bagian Kelima) -->http://fathurkamal.staff.umy.ac.id/?p=176

Thursday, November 10, 2011

Islam, civil society and democratization : the case of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama in post-Suharto Indonesia

Tanthowi, Pramono Ubaid. 2008. Islam, civil society and democratization : the case of Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama in post-Suharto Indonesia. Thesis (M.A.)--University of Hawaii at Manoa, 2008.

Abstract
Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama (NU) are two largest Islamic organizations in Indonesia. Long active as both religious and political organizations during 1950s and 1960s, they withdraw from formal political arena and declared their disenggagement from any political parties in the 1970s and 1980s that enabled them to survive under the repressive Suharto regime and consequently develop nascent civil society movements.

This thesis examines the relation between those Muslim civil society organizations and democratization in the post-Suharto Indonesia: how they defend their positions as autonomous entities beyond state and simultaneously intensely involve in political arena. It also studies their roles in the process of democratization.

The study reveals a great deal about their participation in the political system, where they are now an important part of the political leadership and their interests are now well represented. However, the problem is that, in reality, there is a significant degree of overlap between civil society and political society as well as between civil society and the state.

This study also shows the role of those Muslim civil society organizations in the democratization process. These mass-based religious organizations seemed to be consequential in all stages of democratization: they sought to broaden the free public sphere and combined their efforts, along with other pro-democracy movements, in de-legitimating and bringing the authoritarian Suharto regime down. They also join forces in encouraging political participation, monitoring the elections, forcing the government to be more accountable and transparent, and spreading the ideas of religious tolerance.

download file

Tuesday, November 8, 2011

Modernization and Religious Purification: Islam in Indonesia

Tamney, Joseph. 1980. "Modernization and Religious Purification: Islam in Indonesia". Review of Religious Research. 22 (2): 207-218.

Abstract
Modernization, or, more specifically, education and urbanization, has been associated with secularization. Some writers, however, suggest that modern people are not so much secular but religiously different. In this paper I test the idea that modernization is associated with the purification of religious lifestyles. Data come from a stratified random sample of Javanese (N=1667). The main findings are that education and community size are related to the decline of folk religion and to a net increase in the proportion of Muslims who are active religious purists. It is suggested that modernization favors purification, not so much because modern people reject syncretism, as because they abandon magical practices.

Conclusion
In this paper it was suggested that a consequence of modernization is religious purification. Education and, to some extent, urbanization are associated with the decline of folk practices. Moreover, Santri religiosity is more frequent among the most modern compared to the least modern. But the frequency of pure folk religion declines --in fact, disappears-- with modernization. Thus, our results suggest that purification results from the destruction of folk religion as a differentiated religious tradition, not from a deliberate attempt to purge one's religion of elements from other religious traditions.

The evidence does not suggest that modernization favors making one's religious life-style consistent; however, being modern does seem associated with the rejection of magical practices. But it should not be assumed that the decline of a folk religion is due only to the impact of science on magic. Since modern people may be aware of international cultural diversity and that religions tend to become culture bound, they might reject folk elements because these practices undermine the universalistic claims of modern religions. The value of this explanation is that it accounts for attempts to eliminate folk religions in all parts of the world, no matter how developed.

Monday, November 7, 2011

Muhammadiyah: A preliminary study

Azra, Azyumardi. 1994. "Muhammadiyah: A preliminary study." Studia Islamika, 1 (2): 187-200.

This is a bibliographic survey of important books on Muhammadiyah. The list of the books are the following:
  1. A.R. Sukrianta & Abdul Munir Mulkhan, Perkembangan pemikiran Muhammadiyah dari masa ke masa: Menyambut Muktamar ke-41. Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985.
  2. A.R. Sukriyanto & Abdul Munir Mulkhan (eds.), Pergumulan pemikiran dalam Muhammadiyah. Yogyakarta: Sipress, 1990.
  3. Abdulgani, Ruslan. et al. Cita dan citra Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
  4. Arifin, M.T., Gagasan pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.
  5. Arifin, M.T., Muhammadiyah: Potret yang berubah. Surakarta: Institut Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosila Budaya dan Kependidikan, 1990.
  6. Asrofie, M. Yusron, Kiyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan kepemimpinannya. Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983.
  7. Djamil, Fathurrahman. "Ijtihad Muhammadiyah dalam masalah-masalah fiqh kontemporer. Jakarta: doctoral dissertation, IAIN, 1994.
  8. I.N. Soebagijo. K.H. Mas Mansur, Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
  9. Ilyas, Yunahar, et al. (eds.). Muhammadiyah dan NU: Reorientasi wawasan keislaman. Yogyakarta LPPI UMY, LKPSM NU & PP Al-Muhsin, 1993.
  10. Kamal, Musthafa, Chusnan Yusuf and Rosyad Sholeh. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Yogyakarta: Penerbit Persatuan, 1976.
  11. Karim, M. Rusli (ed.). Muhammadiyah dalam kritik dan komentar. Jakarta: Rajawali, 1986.
  12. Lubis, Arbiyah. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Suatu studi perbandingan. Jakarta: doctoral dissertation, IAIN, 1989.
  13. Mulkhan, Abdul Munir. K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam perspektif perubahan sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
  14. Mulkhan, Abdul Munir (compiler). Pak AR menjawab 245 permasalahan dalam Islam. Yogyakarta: Sipress, 1990.
  15. Syamsuddin, M. Din (ed.). Muhammadiyah kini dan esok. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
  16. Prodjokusumo, H.S. Melestarikan Muhammadiyah. Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1985.
  17. Puar, Yusuf Abdullah. Perjuangan dan pengabdian Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Antara, 1989.
  18. Rosidi, Sahlan. Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Solo: Penerbit Mutiara, 1982.
  19. Yatim, Usman & Almisar Hamid (eds.). Muhammadiyah dalam sorotan. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1993.
  20. The Central Committee of Muhammadiyah. Mengkaji Muhammadiyah. Jakarta: n.d. [1983?].
  21. The Central Committee of Muhammadiyah. Menuju Muhammadiyah. Yogyakarta, 1984.
  22. The Central Committee of Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta [?]: n.d. [after 1974].
  23. The Tarjih Board of the Central Committee of Muhammadiyah. Tanya jawab agama. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Pers Suara Muhammadiyah, 1990.
  24. The Tarjih Board of the Central Committee of Muhammadiyah. Amwal fi al Islam: Fungsi harta menurut ajaran Islam. Yogyakarta: Penerbit Persatuan, n.d.
  25. The Tarjih Board of the Central Committee of Muhammadiyah. adab al-Mar'ah fi al-Islam. Yogyakarta: 1982.
  26. The Central Committee of Muhammadiyah Youth. Buku pegangan bagi instruktur kaderisasi Pemuda Muhammadiyah. Jakarta: 1982.
  27. The Center of Documentation and Publication, Malang Muhammadiyah University. Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha. Malang: 1990.

Saturday, November 5, 2011

Etos kerja dan perilaku ekonomi di kalangan NU dan Muhammadiyah

Mintarti. 2001. "Etos kerja dan perilaku ekonomi di kalangan NU dan Muhammadiyah."Sosiohumanika, 14 (3): 537-547.

Abstract
This writing elaborates on finance institution (LKM) that has Muhammadiyah background which was founded with the aims to empower the economic condition of lower layer society. The open system of its membership opens the possibility that this institution recruites its members not only from the Muhammadiyah community, but from the NU as well. This system, although brings a positive result, also can cause several problems, especially in the organization. This is because the membership of this institution comprises of two different group of communities (Muhammadiyah and NU), receiving different version of Koran interpretation and indoctrination about the religious text of their parent organization. This fact causes the emergence of differences in the thinking pattern, the way of understanding problems, even the behavior among them. Based on those facts, the question emerges, that is, around their working ethos and economic behavior of the members of the LKM who have different organization background. This study basically is a qualitative research using a case study as its approach. The collected data analyzed using a descriptive interpretive qualitative method.

The result of this study showed that the members of LKM, both from Muhammadiyah and NU did not show significant difference in the case of their working ethos, economic behavior and participation in the institution activities. However, there were little "here and there' in differences between the two groups. The similarity was, for example, they believed working as a form of worship and as the command of God that should be conducted. The differences were, for example, the Muhammadiyah group gave the meaning to working in the way that showed an "activism" (religion is a social-praxis), meanwhile for the NU group, working was understood as a form of worship that should be conducted relently (men are merely doing it). This finding meant that the values brought about by Muhammadiyah and NU were merely one of factors that influenced the working ethos and economic behavior. Many more factors could influence those behaviors. That is why other studies on the similar topics are still required.

Keywords: working ethos, economic behavior.

Downloadable at : http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=4359.