Saturday, August 27, 2011

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan. Perbedaan terkahir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakati untuk mengubah kriterianya.

Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.

Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak faham ilmu hisab. Oktober 2003 saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mangatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya beda dengan metode hisab atau rukyat). Lalu berkembang hisab imkan rukyat, tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya maish rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kekurangan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat sudah sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.

Muhammdiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kelendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamat rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan. Lalu mau kemana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Semoga!

Retrieved from: http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/

3 comments:

  1. Kritikan pedas Prof. Djamaluddin ini selayaknya ditanggapi dengan serius oleh pimpinan Muhammadiyah. Menurut saya, kata kuncinya adalah: ta'rif syar'i hilal. Apakah hilal yang dihisab itu adalah hilal yang bisa dilihat, ataukah hilal yang tidak bisa dilihat. Ta'rif hilal inilah yang belum ada di buku Pedoman Hisab Muhammadiyah. Bahkan ayat yang menyebut hilal sebagai mawaaqiitu linnaas pun sama sekali tidak tercantum di buku tsb. Terlepas dari kelemahan ormas lain dalam metode mereka masing masing, harus diakui bhw wujudul hilal memang lemah dalam hal ta'rif syar'i, karena yang dihisab bukan hilal sebagaimana yang diru'yah oleh Nabi Muhammad dan para sahabat. Dengan wujudul hilal, maka bisa jadi kasus di mana langit bersih tak berawan, posisi rembulan sudah diatas ufuk tetapi tidak bisa terlihat mata. Pada kondisi ini, Rasulullah SAW dan para sahabat masih melanjutkan puasa di keesokan harinya. Oleh karena itu, wujudul hilal berpotensi menyalahi praktek Rasulullah, bukan hanya metodenya yang berbeda (ru'yah diganti hisab), tetapi definisi/ta'rif hilal-nya pun juga sudah berbeda. Karena itulah, definisi/ta'rif hilal perlu ditinjau/dirumuskan kembali sesuai AlQur'an dan AlHadits. Wallahu a'lam bis-shawab.

    ReplyDelete
  2. Sedikit tambahan: mengapa saya katakan bahwa ta'rif hilal-nya berbeda dari hilal yang dijaidkan acuan Rasulullah dan para sahabat ? Karena hilal yang dijadikan acuan Rasulullah dan para sahabat adalah "bagian dari rembulan yang tersinari matahari yang tampak dari bumi berbentuk lengkung sabit di saat maghrib di hari setelah berakhirnya siklus rembulan berjalan."
    Dalam buku pedoman hisab Muhammadiyah, tidak ada ta'rif yang definitif tentang apa itu hilal. Yang ada adalah penjelasan detail perhitungan "tinggi hilal" yang didefinisikan sebagai jarak vertikal (dalam satuan sudut-menit-detik) dari horizon ke titik tertinggi piringan atas rembulan pada saat matahari terbenam. Dengan demikian, hilal adalah titik tertinggi bola rembulan, bukan bagian rembulan yang tampak dari bumi sebagai bulan sabit sebagaimana yang dijadikan acuan masuknya bulan baru di jaman Rasulullah SAW.

    ReplyDelete
  3. Dalam bahasa sederhana, hilal sebagai acuan masuknya bulan baru yang di jaman Rasulullah HARUS TERLIHAT oleh mata (dengan ru'yah), oleh Muhammadiyah di-ijtihadi menjadi TIDAK HARUS TERLIHAT (dengan hisab), dan pada kondisi tertentu dimana posisi rembulan masih rendah di-ijtihadi lagi (dengan wujudul hilal) menjadi HARUS TIDAK TERLIHAT oleh mata.
    Artinya, kalau hari senin 29 agustus 2011 ada orang bersaksi melihat hilal, maka kesaksian tsb harus ditolak sebab hilal tidak mungkin terlihat mata. Ironisnya, keesokan harinya sudah harus berhari raya meskipun hari senin tsb hilal HARUS TIDAK TAMPAK oleh mata. Ini sudah terlalu jauh menurut saya.

    ReplyDelete