Thursday, September 1, 2011

Lebaran dan Toleransi Internal: Muhammadiyah, Pemerintah, & Ahmadiyah


Untuk kesekian kalinya, umat Islam diharu-biru oleh kontroversi soal lebaran. Dan untuk kesekian kalinya umat dibuat pusing tujuh keliling, mungkin bahkan delapan atau sembilan keliling. Tahun ini (2011), ada dua pendapat yang saling bersaing keras: lebaran tiba pada hari Selasa; ini pendapat Muhammadiyah, ormas kedua terbesar Islam di Indonesia. Pendapat lain: lebaran jatuh pada hari Rabu. Ini adalah keputusan pemerintah (dhi. Kementerian Agama) berdasarkan masukan dari sebagian besar ormas Islam, selain Muhammadiyah. Di sana ada NU, Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, Perti, Persis, dll.

Senin malam (29/8) kemaren, melalui siaran langsung oleh sejumlah televisi swasta, publik menikmati adu argumentasi yang cerdas di antara wakil-wakil ormas Islam itu dalam sidang istbat (penetapan awal bulan) yang digelar di kantor kementerian agama. Walau sebentar, adu argumentasi itu sangat baik dipertontonkan kepada publik luas. Mereka bisa belajar tentang hujjah atau dalil masing-masing pihak. Ini pendidikan publik yang sangat berfaedah, hal yang hanya bisa kita nikmati setelah adanya rezim keterbukaan informasi saat ini.

Intinya, yang berlebaran hari Selasa punya sandaran yang kokoh. Begitu juga yang berlebaran hari Rabu. Kedua pihak punya hujjah masing-masing. Kedua pihak sama-sama berporos pada hadis, tapi toh tetap berbeda. Ini bukti bawa berpegang pada hadis tidaklah menjamin kesatuan pandangan umat Islam. Masalahnya sederhana. Hadis yang dipegangi oleh masing-masing pihak berkaitan dengan penentuan awal bulan, semuanya sama. Yang berbeda adalah cara menafsirkannya. Hadis sama, cara menafsirnya yang beda. Ini lazim dalam semua isu yang diperdebatkan oleh kelompok-kelompok Islam, sejak dahulu kala hingga sekarang. Hanya mereka yang tak mengerti sejarah intelektual Islam saja yang punya anggapan keliru (delusi?) bahwa kembali kepada Quran atau hadis akan mempersatukan umat.

Singkat cerita, akhirnya pemerintah mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas ormas Islam yang hadir dalam sidang istbat malam kemaren itu: lebaran jatuh hari Rabu.

Yang menarik bukan soal lebaran Rabu itu, tetapi sikap pemerintah yang secara terbuka dan lapang dada menjamin kebebasan Muhammadiyah untuk berlebaran hari Selasa. Penampilan Fatah Wibisono, wakil dari Muhammadiyah, dalam sidang itsbat kemaren malam itu sangatlah simpatik. Dengan gaya yang njawani dan santun, ia pamit kepada Menteri Agama untuk berbeda dengan keputusan pemerintah, yakni berlebaran hari Selasa. Gaya yang elegan. Patut diapresiasi.

Demikianlah, pemerintah memutuskan awal bulan Syawal jatuh pada hari Rabu. Tetapi pada saat yang sama, pemerintah juga memberikan keleluasaan pada Muhammadiyah untuk berlebaran hari Selasa. Ormas-ormas Islam yang lain juga bersikap yang sama: menghargai keputusan Muhammadiyah. Bahkan Gerakan Pemuda (GP) Ansor, ormas kepemudaan yang menjadi onderbouw-nya NU, dengan terang-terangan akan menjaga warga Muhammadiyah yang hendak melaksanakan salat ‘ied pada Selasa pagi. Sudah tentu tak akan terjadi hal apapun pada warga Muhammadiyah, namun sikap GP Ansor itu tetaplah layak dihargai sebagai “social gesture” atau isyarat akan pentingnya menghargai perbedaan.

Dalam pandangan saya, sikap toleran yang diperagakan pemerintah ini seharusnya juga berlaku untuk perbedaan-perbedaan internal apapun yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Pemerintah bisa menjadi fasilitator untuk mengkoordinasikan sidang itsbat yang melibatkan sejumlah ormas Islam di Indonesia. Tetapi pemerintah tak berhak untuk memaksakan keseragaman. Yang percaya lebaran jatuh hari Selasa, tak bisa dipaksa pemerintah untuk ikut keputusannya. Tidak bisa. Jika itu dilakukan, pemerintah sudah melakukan intervensi terhadap forum internum atau ruang keyakinan terdalam dari umat beragama. Masalah-masalah keagamaan selalu menyangkut keyakinan. Kita tahu, keyakinan tak bisa dipaksakan. Yang bisa kita lakukan hanyalah menghormati keyakinan pihak lain yang berbeda itu, walau kita tak sependapat dengannya.

Campur tangan pemerintah dalam soal penentuan awal bulan itu hanyalah campur tangan administratif. Itu masih bisa ditolerir, tak bertentangan dengan konstitusi kita. Yang tak diperbolehkan adalah campur tangan substantif, yakni mencampuri isi keyakinan atau pendapat suatu golongan keagamaan. Memaksakan keseragaman awal bulan Ramadan atau Syawal adalah campur tangan substantif. Itu tak bisa ditolerir. Sikap pemerintah yang memberikan kebebasan kepada Muhammadiyah untuk berlebaran pada hari yang berbeda sudah tepat dan layak dipujikan. Sikap ini, seperti sudah saya katakan tadi, mestinya menjadi “paradigma”, cetakan atau contoh dalam melihat kasus-kasus lain menyangkut perbedaan-perbedaan internal dalam tubuh umat Islam.

Saya akan ambil kasus Ahmadiyah yang menjadi perdebatan sengit beberapa waktu lalu. Kita tahu, sebagian besar golongan dalam Islam berpendapat bahwa Ahmadiyah adalah sekte yang sesat. Perkaranya sederhana: mereka percaya ada nabi baru. Dalam kepercayaan mayoritas umat Islam, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Yang percaya ada nabi lain setelahnya, sesat, menyimpang dari ortodoksi, meleset dari doxa atau ajaran yang benar. Menanggapi desakan dari berbagai pihak, pada 9 Juni 2008, akhirnya pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditekan oleh Menag, Mendagri dan Kejaksaan Agung. Substansi SKB itu tergambar dalam poin kedua. Saya kutip selengkapnya:

Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya, seperti pengakuan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

Poin ini memang sangat ambigu, tapi satu hal jelaslah di sana: kecenderungan untuk membatasi aktivitas Ahmadiyah. Ini memang jalan tengah yang terpaksa diambil oleh pemerintah untuk menengahi dua kubu: mereka yang menuntut pembubaran Ahmadiyah di satu pihak, dan mereka yang menuntut kebebasan penuh bagi golongan itu di pihak lain. Ini adalah jalan politis yang terpaksa diambil sebagai solusi pragmatis, meski, menurut saya, tidaklah ideal. Solusi ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita yang menjamin kebebasan agama dan keyakinan, tanpa pandang bulu. Dalam konteks konstitusi kita, istilah “keyakinan yang sesat” sama sekali tak dikenal, dan tak diperbolehkan. Istilah itu hanya relevan dalam konteks rumah tangga internal suatu umat, bukanlah konteks kenegaraan.

Solusi yang ideal adalah seperti diperagakan pemerintah dalam menangani kasus perbedaan lebaran saat ini. Pemerintah mengambil keputusan A, tetapi memberi kelonggaran pada kelompok lain yang berpendapat B. Mestinya, pemerintah memberikan kelonggaran kepada Ahmadiyah dan melindungi kebebasan mereka untuk menganut kepercayaan yang berbeda tentang kenabian (nubuwwah). Perkara apakah keyakinan Ahmadiyah itu sesat atau tidak, bukanlah urusan pemerintah. Ingat, pemerintah tidak bisa melakukan campur tangan substantif dalam soal keyakinan dan kepercayaan suatu golongan.

Saya sudah langsung bisa membayangkan sanggahan berikut ini: bagaimana saudara bisa menyamakan perkara lebaran dengan soal keyakinan mengenai kenabian? Yang satu menyangkut perkara furu’iyyah (cabang agama), yang lain perkara ushuliyyah (pokok agama). Yang satu soal fikih, yang satunya lagi soal akidah. Anda tak bisa menyamakan keduanya. Jika menyamakan keduanya, anda melakukan apa yang dalam ilmu fikih (hukum Islam) disebut qiyas ma’a al-fariq, menyamakan dua hal yang berbeda. Dalam argumentasi, analogi atau penyamaan semacam itu bisa disebut sebagai cacat dalam ber-hujjah.

Jawaban saya adalah sebagai berikut. Di mata konstituasi negara, pembedaan semacam itu tak relevan. Tugas negara adalah menjamin kebebasan perorangan atau kelompok untuk memiliki keyakinan atau pendapat, tak peduli apakah pendapat itu menyangkut soal fikih atau akidah, furu’iyyah atau ushuliyyah. Perdebatan apakah suatu pendapat masuk dalam kawasan furu’iyyah atau ushuliyyah, biarlah menjadi urusan “dapur” di dalam rumah tangga umat Islam sendiri. Sekali lagi, prinsip konstitusional yang kita anut adalah negara tak bisa melakukan campur tangan subtantif dalam keyakinan umat beragama. Sebab negara kita bukanlah negara agama. Tetapi negara kita juga bukan negara sekuler yang memusuhi agama; melainkan negara Pancasila yang menjamin semua pihak, perorangan atau kelompok, untuk memeluk keyakinan serta memiliki pendapat yang mereka anggap benar. Freedom of conscience. Hurriyyat al-i’tiqad wa al-ra’y.

Sementara itu, toleransi internal yang dipertunjukkan ormas-ormas Islam terhadap sikap Muhammadiyah yang berbeda dalam lebaran tahun ini bisa juga dikembangkan lebih luas lagi sehingga mencakup hal-hal yang lebih mendasar, seperti soal keyakinan. Dalam pandangan saya, toleransi dalam soal akidah bukanlah hal yang tercela, bahkan sangat baik. Toleransi bukanlah mengakui kebenaran pendapat atau keyakinan golongan yang lain; sekedar memberinya hak untuk “exist”.

Saat NU dan ormas-ormas Islam lain menolerir pendapat Muhammadiyah soal lebaran yang berbeda, bukan berarti mereka mengakui kebenaran pendapat kelompok yang terakhir itu. Dalam pendapat NU, prinsip Muhammadiyah dalam hisab (perhitungan tanggal dalam kalender Hijriyah) yang bersandar pada kaidah wujud al-hilal (adanya rembulan di ufuk atau cakrawala) jelas dianggap salah oleh NU yang berpegang pada kaidah lain, yakni imkan al-ru’yah (kemungkinan rembulan bisa dilihat).

Sekedar intermezzo untuk menjelaskan dua istilah teknis di atas bagi mereka yang tak akrab dengan ilmu penanggalan dalam kalender Hijriyah, saya akan memberikan keterangan selingan berikut. Kalender Hijriyah menganut sistem lunar, yakni, ditentukan berdasarkan posisi rembulan terhadap bumi. Ini beda dengan kalender Masehi/Gregorian yang memakai sistem solar, yaitu berpatokan pada posisi bumi terhadap matahari. Awal bulan Hijriyah ditentukan berdasar prinsip sederhana: jika rembulan sudah muncul di ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan yang baru dimulai. Karena itu, sidang itsbat tidak bisa dimulai kecuali setelah Maghrib, usai mendapat laporan dari tim-tim yang ditugasi untuk memindai atau mengawasi rembulan di ufuk.

Muhammadiyah berpandangat, tak diperlukan kegiatan melihat rembulan secara langsung; asal secara teoretis berdasarkan perhitungan sistem penanggalan (hisab), rembulan sudah dimungkinkan untuk muncul di ufuk, maka bulan yang baru sudah bisa dimulai. Itulah yang disebut dengan kaidah wujud al-hilal.

Sementara NU dan ormas Islam yang lain menganut dua prinsip pokok yang berbeda. Pertama, bulan tak bisa dilihat kecuali jika menurut perhitungan ilmu falak (ilmu astronomi Islam yang diadopsi dari, antara lain, Yunani) berada di atas ufuk setinggi minimal dua derajat atau lebih. Kedua, tak cukup dengan perhitungan ilmu falak saja; perhitungan falakiyyah harus dilengkapi dengan verifikasi dengan melakukan kegiatan “moon sighting” atau melihat bulan.

Masing-masing punya hujjahnya sendiri-sendiri. NU mendukung pendapatnya dengan sebuah hadis, begitu juga dengan Muhammadiyah. Baik hadis yang dipakai NU atau Muhammadiyah, keduanya adalah hadis yang valid alias sahih. Saya tak akan menjelaskan secara detil hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh kedua kelompok itu, karena akan membuat tulisan ini berkepanjangan.

Kembali ke pokok soal semula: jika ormas-ormas Islam bisa mengambil sikap toleran dalam soal lebaran terhadap Muhammadiyah, mestinya sikap serupa bisa dikembangkan oleh ormas-ormas itu terhadap sekte Islam yang kebetulan memiliki penafsiran dan keyakinan yang berbeda. Menurut saya, toleransi internal dalam soal akidah justru jauh lebih urgen ketimbang toleransi dalam soal-soal furu’iyyah atau fikih. Perbedaan dalam soal furu’iyyah, biasanya tak mengandung potensi kericuhan, cekcok, dan konflik yang mengancam stabilitas dan kohesi sosial.

Sebaliknya, perbedaan dalam soal akidah justru secara potensial mengandung ancaman-ancaman seperti itu. Oleh karena itu, toleransi internal dalam tubuh umat Islam justru jauh lebih urgen dan niscaya untuk menghindarkan sikap-sikap absolutisme doktrinal yang bisa mengancam kohesi dan stabilitas sosial.

Harus saya tegaskan kembali, menolerir kelompok lain bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan atau pendapat kelompok itu. Jika NU atau ormas lain menolerir Muhammadiyah dalam soal lebaran, bukan berarti mereka mengakui pendapat kelompok yang terakhir itu. Begitu pula, menoleri keyakinan kelompok Ahmadiyah bukan serta-merta mengakui kebenaran keyakinan mereka. Kita tetap bisa memiliki keyakinan bahwa pendapat kelompok Ahmadiyah dalam soal kenabian adalah sesat, seraya menolerir hak mereka untuk memiliki keyakinan yang berbeda.

Toleransi dalam soal lebaran, sudah semestinya dijadikan oleh umat sebagai paradigma untuk menentukan sikap terhadap hal-hal lain yang lebih luas dan lebih mendasar, misalnya soal keyakinan. Dengan kata lain, toleransi internal –istilah yang dulu diperkenalkan oleh almarhum Nurcholish Madjid alias Cak Nur—perlu menjadi sikap umat saat ini. Hanya dengan sikap semacam inilah, kleim bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluas mungkin umat manusia (rahmatan li ‘l-‘alamin) benar adanya – bukan bualan belaka.

Selamat merayakan Idul Fitri, mohon maaf atas segala khilaf. Kulla ‘am wa antum bi khair.[]

Retrieved from: http://ulil.net/2011/08/30/lebaran-dan-toleransi-internal/

No comments:

Post a Comment