Thursday, May 26, 2011

The Muhammadiyah Da'wah and Allocative Politics in the New Order Indonesia

Studia Islamika, Volume 2, Number 2, 1995

Oleh. M. Din Syamsuddin

Abstraks. Perubahan dari Islam politik ke da'wah merupakan hasil introspeksi budaya, yang merupakan akibat dari hubungan tidak seimbang antara Islam dan negara: Islam berada pada posisi inferior sedangkan negara berada pada posisi superior. Posisi Islam ini dengan sendirinya membatasi keleluasaan gerak aktivitasnya untuk tampil secara terbuka. Sementara itu, superioritas negara sedikit banyak juga mendorong Islam untuk menampilkan diri melalui cara-cara yang lebih halus dan hati-hati. Ketimpangan ini kemudian melahirkan satu bentuk praktek politik lain: politik alokatif. Di sini aktivitas politik muncul sebagai upaya memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam proses pembangunan politik yang didasarkan pada ideologi hasil konsensus nasional: Pancasila. Dengan demikian, politik alokatif bisa berarti repolitisasi Islam dalam kerangka Pancasila.

Kecenderungan politik umat Islam seperti itu terlihat pada Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di daerah perkotaan Indonesia. Muhammadiyah telah menunjukkan prestasinya dalam politik alokatif ini. Ia telah berusaha mendorong terwujudnya implementasi nilai-nilai Islam ke dalam wilayah politik Indonesia. Ini dapat dilihat dari peran aktif Muhammadiyah dalam mewarnai sejumlah kebijakan yang diputuskan pemerintah dan DPR, seperti Rencana Undang-undang Perkawinan (RUUP), Rencana Pendidikan Nasional (RUUPN), Rencana Undang-undang Keormasan (RUUK), dan Rencana Undang-undang Peradilan Agama (RUUPA).

Meskipun demikian, Muhammadiyah masih dihadapkan pada sebuah dilema: posisinya tetap inferior di hadapan negara. Repolitisasi Islam yang ditempuh melalui model politik alokatif masih berada pada posisi pinggiran dari arena pengambilan keputusan. Ia belum mampu menunjukkan diri sebagai agen penting yang memiliki daya tawar yang menentukan. Posisi negara masih saja dominan; dan dapat dikatakan bahwa lembaga ini tetap menjadi kekuatan yang belum tertandingi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Akibatnya Muhammadiyah terperangkap dalam situasi yang sulit dihindari: harus menyerah pada kepentingan negara ketimbang menjadikan dirinya sebagai faktor independen dalam proses pengambilan keputusan.


No comments:

Post a Comment