Monday, May 9, 2011

Agama Sebagai Konsep Kognitif

Republika, Senin, 08 Desember 2003

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Oleh Kuntowijoyo
Pengamat Sosial-Budaya

Tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab generasi muda pada banyak ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, menunjukkan gejala positif. Ada serangkaian pertemuan oleh generasi muda NU (sejauh ini kita belum tahu namanya) dan ada JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Gejala positif itu perlu disambut dengan penuh harapan, karena berarti ada kesinambungan sejarah. Akan tetapi, orang-orang yang lebih dewasa dengan jam terbang lebih banyak dalam pergumulan keagamaan perlu siap-siap dengan "saling berwasiat untuk tetap dalam kebenaran" --diminta atau tidak -- agar mereka tidak kebablasan. Sebab, setiap ada "pemberontakan" mestilah timbul gejala "sawan kekanak-kanakan" -- meminjam istilah Lenin -- yang berupa cara berpikir "kekanan-kananan" (sok liberal) atau "kekiri-kirian" (sok radikal). Coba simak apa yang sedang mereka pikirkan: "Islam kiri", "Islam liberal", "Islam proletar", "Islam borjuis", "konsep pendidikan Paulo Freire", dan entah apalagi.

Berkat kemudahan-kemudahan dalam penerbitan, kebanyakan pikiran-pikiran yang thrilling (menggetarkan) itu tersebar. Kita berharap jangan sampai generasi muda itu terjebak ke dalam ideolatry (pemujaan gagasan), sebab menurut Erich Fromm 'siapa yang menolak otoritas Tuhan, akan terpaksa menerima otoritas lain'. Tidak ada orang waras yang merdeka seratus persen. Oleh karena itu, "saling berwasiat" dibutuhkan untuk menjaga supaya mereka yang potensial itu tetap memakai ukuran-ukuran agama, dan tidak memakai parameter yang lain. Jangan sampai mereka tidak sadar akan apa yang sedang mereka kerjakan, dan terpeleset ke dalam konsep non-Islam atau bahkan anti-Islam.

Konsep dan peran kognitifnya
Seperti diketahui konsep-konsep menentukan cara pandang dan cara pikir. Kita tahu dari sosiologi pengetahuan dan ilmu budaya bahwa orang melihat realitas itu tidak pernah secara langsung, tapi melalui tabir berupa simbol-simbol (konsep, kata, budaya) yang dimiliki. Demikianlah, orang Islam akan melihat realitas melalui simbol berupa konsep Islam, orang non-Islam memakai konsep non-Islam, misalnya dari isme-isme lain. Isme-isme lain itu ialah ideologi, filsafat, dan aliran ilmu. Ideologi (seperti nasionalisme, liberalisme, demokrasi, marxisme, sosialisme, dan komunisme), filsafat (seperti positivisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan neo-konservatisme), dan aliran ilmu (seperti darwinisme, freudianisme, dan behaviorisme). Mereka juga menyediakan konsep-konsep untuk memahami realitas.

Bagi orang Islam konsep-konsep lain itu bisa menyesatkan, tapi sebaliknya juga dapat membantu. Orang Islam dapat belajar bagaimana mereka melihat realitas. Orang Islam yang tidak pernah belajar marxisme ("sejarah terdiri dari kelas penindas dan kelas tertindas") tidak tahu adanya kemiskinan struktural dalam masyarakat. Mereka yang tidak sadar akan positivisme ("puncak perkembangan kemanusiaan ialah pikiran manusia") tidak akan mewaspadai adanya gejala yang mengagungkan pikiran manusia. Mereka yang tidak belajar freudianisme ("agama adalah ilusi yang harus diberantas") tidak akan menyadari adanya praktik keagamaan yang membelenggu manusia dan bukannya membebaskan.

Tetapi, orang Islam yang kaffah tidak akan menganggap konsep-konsep non-Islam itu sebagai nilai kebenaran tertinggi yang menentukan, hanya sebagai pendamping agama untuk memahami realitas. Berdasarkan konsep kognitifnya, seorang Muslim yang kaffah tidak bisa mengatakan, "Sebagai pribadi agama saya Islam, tetapi sebagai politisi saya penganut sekularisme, sebagai anggota parlemen saya menganut demokrasi, sebagai pedagang saya menganut pragmatisme, dan sebagai orang LSM saya penganut marxisme". Agama hanya dipandang dari aspek ritual, bukan sebagai identitas diri yang utuh. Karenanya, kita perlu mengintegrasikan kekayaan khazanah pemikiran kemanusiaan --bahkan yang sangat anti-agama -- dengan agama. Akan tetapi, bila terjadi perbenturan nilai antara keduanya, kita harus memilih agama. Sebenarnya, adanya perbenturan nilai itu akan sangat jarang terjadi dalam masalah keduniaan. Kita ingat kaidah, "Dalam urusan ibadah, semua dilarang kecuali yang diperbolehkan. Dalam urusan muamalah, semua diperbolehkan kecuali yang dilarang".

Konsep normatif dan kontekstualitas
Konsep-konsep dalam Alquran itu abadi (dalam waktu) dan universal (dalam tempat), artinya tidak merujuk pada sistem sosial tertentu: masyarakat pra-industrial, masyarakat industrial, atau masyarakat pasca-industrial. Sementara itu ideologi-ideologi selalu merujuk ke sistem sosial tertentu. Marxisme (Ortodoks), misalnya, sebenarnya semula diperuntukkan bagi masyarakat industrial (kemudian oleh Mao Zedong diterapkan pada msyarakat agraris-praindustrial). Manifesto Komunis (1848) dengan jelas menyebut-nyebut kaum proletar sebagai
andalan perjuangan, "Marxisme adalah senjata ideologis kaum proletar". Buruh melawan kapitalis, proletar melawan borjuis, dalam suatu "kontradiksi yang tak terdamaikan". Lihat! Dengan jelas marxisme merujuk pada kelas-kelas sosial pada masyarakat industrial, buruh dan kapitalis, proletar dan borjuis. Apakah ideologi abad ke-19 untuk masyarakat industrial itu masih cocok untuk masyarakat pascaindustrial? Untuk masyarakat rasional -- masyarakat yang
dikelola dengan manajemen rasional? Untuk masyarakat abstrak -- masyarakat yang diatur oleh sistem? Tidak, marxisme sebenarnya sudah terbukti salah sebelum secara resmi Uni Soviet membubarkan diri pada 1989. Sosiologi industri mengajarkan bahwa menjadi buruh di pabrik-pabrik dalam sistem kapitalis dan sistem komunis itu sama saja: disiplin, spesialisasi, hierarki dalam pabrik, dan perbedaan skala gaji. Fungsionaris partai dalam sistem komunis sama saja dengan para pemilik modal dalam sistem kapitalis. Selanjutnya, kita juga belajar bahwa pabrik-pabrik dalam sistem kapitalis dan sistem komunis itu sama saja: keduanya adalah perusak lingkungan. Itulah sebabnya kini di Eropa berdiri banyak Partai Hijau. Orang lalu berpendapat bahwa ideologi-ideologi tidak ada gunanya, the end of ideology, berakhirnya ideologi.

Maka, kita justeru perlu konsep-kosep normatif yang tidak merujuk ke suatu zaman dan masyarakat tertentu, yang "tak lekang di panas, tak lapuk di hujan". Ambillah contoh konsep normatif zhalim. Zhalim bisa dikenakan sistem (seperti absolutisme, diktatorisme, otoritarianisme), institusi (seperti zionisme, fasisme), perilaku sosial (seperti perang yang merusak aset-aset produktif, pembagian kemakmuran yang timpang), orang (seperti Fir'aun, Mussolini, pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan semata, dan pejabat yang karena
korupsinya membuat sengsara rakyat), dan bahkan diri sendiri (bertapa dalam kubur selama sekian hari, ngebleng [tidak makan selama sekian hari]). Selanjutnya, konsep-konsep normatif, seperti amanah, rizq, 'adl, fasiq, riba, dan syura, dapat kita baca pada buku M Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996). Dalam buku itu akan kita lihat konteks sosial-budaya turunnya ayat (ashbabun-nuzul), konteks sejarah masa lalu, dan konteks masa kini.

http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=147128&kat_id=16

No comments:

Post a Comment