Oleh Ahmad Najib Burhani
Apakah
kelompok minoritas itu perlu ditemani dan dibela? Jika jawabannya “ya”, apa
landasan teologis untuk menemani minoritas? Dan siapa yang disebut sebagai
minoritas? Tuntutan untuk menemani dan melindungi minoritas dalam dalam konteks
HAM (Hak Asasi Manusia) tentu sudah tidak asing dan tak diragukan lagi.
Demikian pula dalam konteks kewarganegaraan (citizenship). Namun dalam konteks agama, terutama dalam konteks
mutakhir sekarang ini, hal ini masih perlu terus diingatkan kembali. Ini
karena, seperti dikemukakan oleh Robert W. Hefner (2019), menemani minoritas, “bisa
saja dilihat oleh sebagian dari warga negara sebagai wacana yang kering ataupun
kosong – karena dianggap terlalu jauh dari nilai-nilai warga negara yang
berdasar atas agama yang dimiliki masyarakat itu”. Di sinilah pentingnya
pembahasan teologis tentang minoritas atau mustadh’afin.
Mustadh’afin merupakan tema dan istilah yang telah
hadir sejak kedatangan Islam. Menurut catatan Abad Badruzaman (2007, 5),
istilah ini disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 13 kali. Namun jika mengacu kepada
kata asalnya dan berbagai derivasinya, seperti dhu’afa, maka Al-Qur’an menyebutkannya sekitar 52 kali. Istilah ini
sering diterjemahkan sebagai mereka yang lemah, dilemahkan, dihina,
didiskriminasi, ditindas, mengalami marjinalisasi, dan sejenisnya. Beberapa
penerjemahan dalam Bahasa Inggris untuk istilah ini adalah “brotherhood of the
oppressed”, “the oppressed and dispossessed”, “poor and marginalized people”,
“the downtrodden”, atau “the abased on earth”.
Dalam
masyarakat Islam, kelompok yang dimasukkan dalam kategori mustadh’afin seringkali terbatas pada kelompok fakir dan miskin. Namun
ketika Moeslim Abdurrahman memimpin Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan
Nelayan (LPBTN) Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 2000-2005, ia memperkenalkan konsep
“the new mustadh’afin” yang keluar
dari kategori tradisional dari konsep ini. Mereka yang disebut mustadh’afin bukan hanya fakir miskin,
tapi juga mereka mengalami ketertindasan secara sosial dan struktural atau,
dalam bahasa Moeslim Abdurrahman (2004, xvi), “’Miskin’ dan ‘mustadh’afin’
sebagai kategori sosial yang lahir dari penindasan struktur kapitalisme
nasional maupun global yang tidak adil.”
Apa
yang dilakukan oleh Moeslim Abdurrahman itu, meski belum banyak menuai hasil,
namun paling tidak berhasil menyodorkan perspektif baru yang membuka wawasan di
Muhammadiyah terkait mustadh’afin.
Bahwa banyak dari kelompok fakir dan miskin itu menjadi dhu’afa bukan karena mereka malas bekerja, tapi ada yang disebut
dengan struktur kemiskinan, kelas dan dosa sosial, matrix penindasan, dan
seterusnya. Banyak orang miskin yang justru bekerja 24 jam sehari dan tujuh
hari dalam seminggu. Mereka menjadi miskin karena kondisi nasional dan global
yang tidak memungkinkan mereka bangkit dari kemiskinannya. Mereka menjadi
miskin karena ekonomi digenggam oleh kekuasaan TNC (Trans-National Capitalist Network) yang kadang melakukan
“perselingkuhan dengan elite nasional, kaum komprador” (Tuhuleley, 2015).
Meski
telah berhasil memberikan perspektif baru tentang ketimpangan sosial dan konsep
mustadh’afin, apa yang dilakukan oleh
Moeslim Abdurrahman, dan kemudian dilanjutkan oleh Said Tuhuleley, itu masih
terfokus kepada ketertindasan dan ketidakadilan secara ekonomi. Padahal, mustadh’afin itu tidak selalu mengacu
kepada ekonomi.
Salah
satu ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang mustadh’afin
adalah Al-Qashash 28: 5, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang
yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”. Ayat ini berbicara tentang
Bani Israil yang ditindas oleh Fir’aun. Makna ketertindasan tentu lebih luas
dari persoalan ekonomi, atau bahkan ekonomi bukan merupakan aspek yang utama.
Ayat
lain yang berbicara tentang mustadh’afin terdapat
dalam Surah Al-Nisa’ 4: 75: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah
dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun
anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri
ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau,
dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’”. Sama seperti ayat yang dikutip
sebelumnya, ketertindasan di sini bukanlah terkait persoalan ekonomi, tapi diskriminasi
dan persekusi oleh mereka yang kuat kepada mereka yang lemah, atau adanya
kelompok superordinate yang bertindak
sewenang-wenang terhadap kelompok subordinate.
Karena
konsep mustadh’afin itu tidak
terkungkung pada dimensi ekonomi, maka berbagai kelompok minoritas yang
tertindas, termasuk kelompok minoritas agama, bisa masuk dalam kategori mustadh’afin. Konsekuensinya, adalah
sebuah religious imperative (keharusan
agama) dan religious call (penggilan
keagamaan) untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas. Menemani
minoritas adalah level yang lebih rendah daripada melakukan pemberdayaan atau
pembelaan terhadap minoritas. Namun menemani minoritas (becoming a friend of minorities) sudah merupakan upaya untuk
memenuhi panggilan Allah tersebut.
Dalam
konteks Indonesia, pembelaan kepada mereka yang tertindas juga merupakan makna
dari Sila Kelima Pancasila, “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sekali
lagi jika keadilan itu tidak hanya dibatasi maknanya dalam aspek ekonomi dan
keadilan itu tidak dikekang maknanya dalam batasan proporsional atau jumlah
penduduk.
Dalam
pembangunan bangsa, dikenal istilah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Dalam distribusi zakat oleh Lazismu juga terdapat istilah 3T yang berarti
Tertinggal, Terpencil, dan Terbelakang. Namun mereka yang “Termarjinalisasi”
dan “Tertindas” secara sosial dan agama sering luput dari sasaran zakat atau
bahkan kadang dihalang-halangi untuk menjadi penerima zakat, infak, dan
sadaqah. Seperti yang digambarkan oleh Hilman Latief, Direktur Utama Lazismu
(Lembaga Amil Zakat Infaq, dan Sadaqah) Muhammadiyah, dalam tulisannya
“Philanthropy and ‘Muslim Citizenship’ in Post-Suharto Indonesia” (2016),
ketika organisasi filantropi Islam hendak memberikan bantuan kepada orang-orang
Syiah Sampang yang terusir dari kampung halamannya, sejumlah kelompok Islam
mengkritik langkah itu. MUI (Majelis Ulama Indonesia), menurut Latief, bahkan
tidak berbicara tentang perlunya mendistribusikan
zakat kepada para pengungsi itu.
Dalam
beberapa kasus, hanya mereka yang mau “convert” (berpindah keyakinan) menjadi
pemeluk Sunni Islam yang diberi zakat dan dimasukkan dalam kategori muallaf. Sementara para mustadh’afin lain dari kelompok Ahmadiyah
dan Syiah dibiarkan menderita. “Whereas there were a number of Islamic
philanthropic organizations active in raising funds from the public, only a few
of them were willing to openly provide aid for Shi’a refugees in Sampang,
Madura” (Sementara ada sejumlah organisasi filantropi Islam yang aktif dalam
mengumpulkan dana dari publik, hanya beberapa dari mereka yang bersedia secara
terbuka memberikan bantuan kepada para pengungsi Syiah di Sampang, Madura)
(Latief 2016, 279).
No comments:
Post a Comment