Tuesday, December 8, 2015

Jihad Konstitusi sebagai Konstektualisasi Dakwah Pencerahan*



Oleh : Muhammad Ridha Basri**

Jihad konstitusi yang mengemuka sejak tahun 2010, menjadi fenomena baru yang berhasil menarik perhatian banyak kalangan dalam ranah hukum di Indonesia. Menyentak segenap kekuatan korporat kapitalis, perusahaan pribumi dan asing yang selama ini nyaman mengeruk untung dari bumi pertiwi. Jihad konstitusi berhasil menusuk ke jantung dan hulu. Beberapa Undang-undang yang memberi ruang untuk melemahkan kedaulatan bangsa akhirnya dianulir oleh MK.
Awal muda kemunculan Jihad Konstitusi, dipelopori oleh ormas Persyarikatan Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin. Term “jihad” dapat diartikan sebagai suatu bentuk usaha sungguh-sungguh untuk melaksanakan sesuatu. Misalkan disebut dalam Quran Surat al-Ankabut ayat [29]: 69. Secara kebahasaan, jihad berakar pada kata yang sama dengan ijtihad, yaitu jahd atau juhd. Baik kata jihad maupun ijtihad bermuara pada artian mengerahkan seluruh tenaga, daya, pikiran, waktu, dan harta benda secara totalitas (total endeavor), sehingga terwujud nilai-nilai luhur universal yang dicintai dan diridhai oleh Allah serta membawa kemanfaatan dalam kehidupan bersama.[1]
Adapun term “konstitusi” berkaitan dengan undang-undang dan hukum yang berlaku di Indonesia. KBBI mengartikan konstitusi sebagai segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan atau Undang-Undang Dasar, yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari Sabtu, tanggal 18 Agustus 1945.[2] Jadi, istilah jihad konstitusi dalam artian mudahnya adalah berkaitan dengan pengerahan segenap daya dan upaya untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang, yang dalam pertimbangan logis telah memicu mudarat, kontroversi, merugikan rakyat, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yang seharusnya.
Elemen masyarakat madani harus berani mengkritisi dan merekonstruksi ulang ketika menemukan adanya suatu produk perundang-undangan yang tidak memihak pada rakyat. Meskipun suatu undang-undang sudah disetujui di DPR --yang merupakan representasi keterwakilan publik--, namun tetap harus dicermati bagaimana suatu produk legislagi tersebut berdampak positif pada kepentingan jangka panjang dalam memakmurkan segenap komponen bangsa Indonesia. Untuk tujuan itu, maka Muhammadiyah berinisatif terlibat di garda terdepan dalam hal mengkritisi dan menggugat sejumlah undang-undang yang berpihak pada liberalisme ekonomi, neokolonialisme, oligarki, dan kepentingan asing, serta merugikan masyarakat kecil, baik secara langsung maupun tidak.[3]
Pada dasarnya, prosesi judicial review sudah pernah dilakukan oleh banyak kalangan, baik atas nama lembaga maupun perseorangan. Konstitusi Indonesia menjamin secara penuh dan memberikan hak bagi siapapun warga negara untuk melakukan gugatan atas undang-undang yang ada. Gugatan misalkan pernah dilakukan oleh Yusril Ihza Mahendra dan Efendi Ghazali. Atas nama organisasi kemasyarakatan, maka Muhammadiyah dengan menggunakan istilah jihad konstitusi bisa dikatakan sebagai pelopor gaya baru dalam melakukan judicial review terhadap suatu produk perundangan di Indonesia.
Sikap ini sebagai wujud komitment dan keberlanjutan perjuangan. Muhammadiyah sejak sebelum lahirnya bangsa sudah berperan besar. Merebut kemerdekaan dan kemudian mengisi kemerdekaan. Di masa awal kemerdekaan, beberapa tokoh Muhammadiyah –bersama dengan berbagai komponen bangsa lainnya—telah ikut serta menyusun dan merumuskan konstitusi Indonesia. Sejak kelahirannya, Muhammadiyah memang berperan sebagai pelopor, mulai dari ranah pendidikan modern, manajerial pelayanan publik, pelayanan kesehatan, mengkritisi dogmatisasi agama, hingga mempelopori pola membangun relasi dengan non-muslim, terutama kerjasama dalam ranah sosial-kemanusiaan.[4]
Target yang menjadi konsen perlawanan Muhammadiyah melalui jihad konstitusi adalah semua Undang-undang yang dianggap menabrak Undang-Undang Dasar 1945. Lebih ditekankan lagi ketika berkaitan dengan UUD 1945 pasal 33 tentang Kedaulatan Ekonomi. Pada ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) secara jelas merumuskan tentang prinsip dasar dalam ranah perekonomian, yang keseluruhan poinnya sangat memihak kepada pemenuhan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa. Misalkan pasal 33 UUD 1945 ayat (2) menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Pada ayat (3) menyatakan “Bumi, air, dan kekayaan alam  yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”[5] Realitasnya, apa yang diamanatkan oleh undang-undang itu tidak berjalan maksimal. Menurut Dawam Rahardjo, dominasi saham asing telah merambah berbagai segmen. Mulai dari perbankan, makanan, telekomunikasi, air minum, industri, perkebunan, hingga pertambangan, dijejali oleh campur tangan saham asing yang berkisar antara 60% hingga 100%. Ironisnya, justru pemerintah lebih sering mengundang dan mengajak asing untuk melakukan investasi di Indonesia dibanding dengan memberikan kesempatan kepada bangsa sendiri.[6] Keadaan ini tentu menjadi kegelisahan bagi Muhammadiyah dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu.
Secara lebih spesifik, Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) senantiasa memberikan perhatian dan kepedulian untuk menjaga Indonesia sebagai sebuah bangsa besar yang berciri; pertama, berdaulat dan bermartabat, terbebas dari rongrongan atau tekanan  kekuatan manapun, baik dari dalam maupun luar negeri. Kedua,  menjunjung tinggi keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketiga, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, sebagaimana diajarkan agama dan Pancasila. Keempat, menghormati dan memberikan perlindungan sekaligus memperkokoh kerukunan di kalangan umat dengan keyakinan dan pandangan keagamaan yang berbeda. Kelima, memberikan tempat yang cukup bagi terwujudnya kehidupan dan sistem politik yang demokratis dan bermartabat.[7]
Melalui keputusan Muktamar ke-46, juga dikemukakan bahwa Muhammadiyah akan berperan dalam isu-isu strategis keummatan, kebangsaan,  dan kemanusiaan universal. Isu kebangsaan meliputi kemiskinan, kepemimpinan keteladanan, komoditisasi agama, konservatisme agama, kemajemukan, dan gender. Masalah kebangsaan meliputi peluruhan visi dan karakter bangsa, korupsi, penegakan hukum, kesejahteraan pekerja, suksesi kepemimpinan nasional, reformasi birokrasi, dan persoalan agraria. Adapun masalah kemanusiaan universal terkait dengan krisis pangan dan energi, krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim, islamfobia, migrasi global, serta dialog agama dan peradaban.[8]
Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan pada umumnya, bisa menggunakan empat saluran dalam memperjuangkan aspirasinya, yaitu demonstrasi dan kekerasan, hubungan pribadi, perwakilan langsung (formal-institusional), dan saluran formal instusi lain seperti media massa.[9] Pada kenyataannya, Muhammadiyah bersikap realistis dalam usaha-usaha mencapai kepada tujuan yang dicita-citakan. Atas sikapnya yang tidak mau larut dalam belenggu kemapanan dan keterbelakangan ini, maka Muhammadiyah senantiasa melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar. Wujudnya sering mengalami dinamisasi dengan  beragam kreasi. Dalam teori perubahan sosial (social movement theory), sebuah pergerakan atau gerakan –seperti halnya Muhammadiyah-- selalu lahir untuk melakukan perubahan tertentu, baik yang evolusioner (perubahan bertahap) hingga yang revolusioner (perubahan drastis).[10]
Gerakan amar makruf nahi mungkar menjadi ciri khas bagi organisasi massa yang sudah eksis sejak 1912. Slogan itu menjadi ruh yang menggerakkan roda organisasi. Kesehariannya diisi oleh aktifitas yang real, tidak sekedar berwacana. Menyeru umat pada kebaikan, mempelopori kemajuan, memberdayakan mereka yang terlindas, membebaskan kaum marjinal, membela kaum yang lemah, mencipta terobosan baru, melakukan amal-amal kemanusiaan. Semua itu menjadi laku yang rutin dilakukan Muhammadiyah dan menjadi fokus dari gerakan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini sejak awal. Konsistensinya terlihat dalam bentuk amal nyata dan amal usaha yang tumbuh berkembang tiada henti, secara mandiri. Atas semua peran itu, Muhammadiyah dapat dikategorisasikan sebagai komunitas creative minority yang berhasil melakukan banyak perubahan besar dalam struktur kehidupan.
Setelah memasuki abad kedua, di satu sisi terlihat begitu banyak capaian yang dituai oleh Muhammadiyah. Terutama dalam hal kepemilikan amal usaha. Baik di bidang pendidikan, kesehatan, hingga ranah ekonomi. Muhammadiyah juga telah memberdayakan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Tugas-tugas ini pada dasarnya merupakan tugas pokok negara, namun oleh Muhamamdiyah sebagai pembantu negara, ikut serta mengambil peran dan tanggung jawab tersebut. Dari sisi ini, Muhammadiyah sangat berjasa. Tak hanya sebagai pembantu, tapi juga penentu. Walaupun demikian, Muhammadiyah tak (boleh) cepat berpuas diri, sebagai sebuah gerakan, Muhammadiyah (harus) terus bergerak dinamis
Sekedar membantu dalam hal fisik secara terus menerus tentu tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi secara totalitas. Di satu sisi, Muhammadiyah memang berkewajiban moral untuk turut andil dalam melayani dan memberdayakan rakyat kecil, namun di sisi lain menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah akan sia-sia belaka jika tidak diimbangi dengan pembenahan sistem. Selain konsisten membantu rakyat secara real, Muhammadiyah juga harus membantu rakyat dalam melawan dan mengubah sistem. Harus proporsional antara peran sebagai pembantu dan penentu kebijakan. Maka, judicial review terhadap perundangan yang merugikan kepentingan rakyat kecil merupakan langkah strategis yang harus selalu didukung. Faktanya, banyak orang yang miskin di Indonesia bukan karena disebabkan oleh faktor malas bekerja, justru mereka telah bekerja siang dan malam, namun sistem yang berlaku telah memaksa mereka untuk terus miskin. Kesenjangan yang terjadi begitu kentara antara pemilik modal dengan mereka yang tidak kuasa menguasai pasar.
Di antara tantangan sekaligus peluang Muhammadiyah di abad kedua adalah bahwa Muhammadiyah akan berhadapan dengan dunia korporasi.[11] Jika perjuangan di masa dahulu melawan bangsa asing, maka pada masa sekarang, perjuangan yang harus ditempuh oleh Muhammadiyah adalah secara non fisik, melawan bangsa asing dan bangsa sendiri sekaligus. Dikarenakan lawan yang dihadapi adalah para pemilik modal, para pemegang kuasa, korporat, orang-orang serakah, perusahaan, dan seterusnya, maka Muhammadiyah harus bisa mengimbangi, memberi solusi, dan bahkan melawan “segenap kejahatan” dengan langkah bijak, kreatif, dan penuh perhitungan. Salah satu langkah yang bijak itu adalah jihad konstitusi. Jihad konstitusi merupakan bentuk dari amar makruf nahi mungkar yang berupaya untuk mencegah kerusakan langsung pada hulunya, pada akar penyebab masalahnya.
Di masa globalisasi ini, Muhammadiyah perlu mengoptimalkan segenap kelebihan yang dipunyai untuk dakwah pencerahan yang lebih kreatif. Muhammadiyah punya bekal sumber daya manusia, amal usaha, dan jaringan yang sangat berlimpah. Untuk itu, kini saatnya Muhammadiyah tidak lagi terjebak pada konsep amar makruf dan nahi mungkar dalam artian purifikasi (saja), namun juga dalam artian dinamisasi di segala lini kehidupan. Sayap purifikasi dan dinamisasi ini harus bisa dikepakkan secara seimbang dan sesuai konsteks. Sebagaimana peran di abad pertama, Muhammadiyah harus tetap menjadi pelopor, berpikir jauh kedepan demi kemaslahatan bersama. Jihad konstitusi di satu sisi merupakan perluasan cakupan dakwah amar makruf nahi mungkar, tidak hanya kepada masyarakat, namun juga kepada penguasa.
Ketika sayap dinamisasi dikepakkan, maka akan ditemukan salah satu yang patut disinggahi berupa produk undang-undang, yang menentukan hajat hidup orang banyak. Di saat banyak kalangan yang mulai pesimis dengan segala sistem yang berlaku di Indonesia, mulai dari persoalan carut-marut perekonomian hingga perpolitikan, maka kemunculan Muhammadiyah dengan amalan jihad konstitusi menumbuhkan harapan baru. Hal ini mampu menawarkan solusi untuk menyelamatkan jutaan umat manusia. Melalui jalan jihad konstitusi, menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak berdiam diri. Cara ini terbilang efektif untuk jangka pendek. Namun, untuk solusi jangka panjang, Muhammadiyah perlu lebih mengefektifkan dakwahnya dengan cara ikut terlibat sejak awal proses penyusunan draft Rancangan Undang-Undang (RUU), mulai proses assesment, penjajakan ide, pembahasan, pengesahan, evaluasi, hingga sosialisasi. Muhammadiyah harus lebih berani dan maju dan masuk ke ranah ini, melakukan amar makruf nahi mungkar secara lebih efektif. Hal itu merupakan sebuah keniscayaan dan sesuai dengan bunyi ayat (1) pasal 33 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.”
Hingga kini, Muhammadiyah telah berhasil menggolkan empat kali judicial riview di Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, UU nomor 17 tahun 2013 tentang ormas, serta UU nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Selain itu, Muhammadiyah beserta ormas lain juga sedang berjuang menggugat UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Ketiga undang-undang tersebut secara langsung maupun tidak, menunjukkan adanya pertentangan dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945.[12]
Terakhir, di balik kesuksesan Muhammadiyah, yang diwakili oleh Pimpinan Pusat (PP), ada fakta yang terbilang ironis. Capaian gemilang para PP belum bisa menyebar ke ranah di bawahnya. Artinya, cara-cara elegan yang dilakukan PP belum (banyak) ditiru oleh para pimpinan wilayah dan daerah –walaupun tidak bisa digeneralisir. Bahkan terkesan Muhammadiyah tidak punya nyali dan tidak bisa menyumbangkan sumbangsih di daerah dalam ranah kebijakan. Padahal, banyak kasus pemberlakuan Perda (peraturan daerah), Pergub (peraturan gubernur), dan lain-lain, yang sebenarnya tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Karena itu, Muhammadiyah perlu untuk melakukan strukturisasi pemahaman jihad konstitusi ini pada level wilayah dan daerah. Sehingga keberpihakan Muhammadiyah pada mustad’afin di abad kedua bisa menemukan gerak pembaharuan yang genuin dan khas Muhammadiyah.[13] Hal ini juga sebagai bukti bahwa Muhammadiyah mampu menerjemahkan konsep amar makruf nahi mungkar secara konstektual. Jika tetap pada jalur ini, maka roda organisasi Muhammadiyah akan selalu hidup dan terus bergerak dinamis. Pada saatnya, masyarakat akan menilai kiprah kepeloporan dan keberpihakan Muhammadiyah terhadap siapapun yang patut dibela dan diperjuangkan (termasuk kaum new-mustad’afin). Dengan demikian, sinar pencerahan tak pernah meredup, meski sejenak. []

* Makalah ini ditulis dalam rangka kegiatan Darul Arqam Madya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yang diselenggarakan PC IMM Ciputat pada 2 s.d. 6 Desember 2015, di gedung Fokal IMM, Jakarta.
** Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Aktifis PC. IMM Sleman. Penggiat di Lembaga KIBAR.

Daftar Pustaka
Bahkri, Syaiful, “Genealogi Jihad Konstitusi”, artikel, dalam http://muhammadiyahstudies.com.
Lampiran Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Laporan Lembaga Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015”, diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015.
Mustopa, Zaenal. 2014, Perekonomian Indonesia Penerapan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, makalah pada Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Nashir,  Haedar. 2015, Dinamisasi Gerakan Muhammadiyah, Agenda Strategis Abad Kedua. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Setiawan, Benni, “Jihad Konstitusi Muhammadiyah”, dalam Jawa Pos, 2015.
Setyawan, Dharma, Muhammadiyah dan Jihad Konstitusi, Makalah di STAIN Jurai Siwo Metro, Lampung
Sofyat, Riza, “Jihad Konstitusi Menuju Kiblat Konstitusi”, dalam Sindo Weekly Magazine. 2015.
Thaib, Dahlan, dkk. 2001, Theori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hartono, Waskito, “Fakta Jihad Konstitusi yang Harus Kamu Ketahui”, Artikel dalam http://sambilngaji.com
Sadewo, Joko, “Jalan Memakmurkan Rakyat dengan Jihad Konstitusi”, Artikel dalam http://republika.com.


[1] Waskito Hartono, “Fakta Jihad Konstitusi yang Harus Kamu Ketahui”, dalam http://sambilngaji.com diakses pada 25 November 2015
[2] Dahlan Thaib, dkk., Theori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 95.
[3] Joko Sadewo, “Jalan Memakmurkan Rakyat dengan Jihad Konstitusi”, Artikel, dalam http://republika.com, diakses pada 24 November 2015
[4] Kepeloporan Muhammadiyah sering tidak terekspose di media, tak tercatat detil di buku-buku sejarah, apalagi terdokumentasi dalam tradisi oral. Kepribadian ini berdasar filosofi yang langsung dicontohkan Kyai Dahlan untuk banyak bekerja sedikit bicara. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kyai Ahmad Dahlan, (Jakarta: Kompas, 2010).
[5] Zaenal Mustopa, Perekonomian Indonesia Penerapan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, makalah pada Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014, hlm. 5.
[6] Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45, di Yogyakarta pada tanggal 15 Oktober 2015
[7] Lihat Lampiran Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Laporan Lembaga Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015”, diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015, hlm. 235.
[8] Haedar Nashir, Dinamisasi Gerakan Muhammadiyah, Agenda Strategis Abad Kedua, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), hlm. 70.
[9] Syaiful Bahkri, “Genealogi Jihad Konstitusi”, artikel, dalam http://muhammadiyahstudies.com, diakses pada 24 November 2015, pukul 22.20.
[10] Haedar Nashir, Dinamisasi Gerakan Muhammadiyah, Agenda Strategis Abad Kedua, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015), hlm. 258.
[11] Benni Setiawan, “Jihad Konstitusi Muhammadiyah”, dalam Jawa Pos, 10 Juni 2015.
[12] Riza Sofyat, “Jihad Konstitusi Menuju Kiblat Konstitusi”, Sindo Weekly Magazine. April 2015, hlm. 10.
[13] Dharma Setyawan, Muhammadiyah dan Jihad Konstitusi, Makalah di STAIN Jurai Siwo Metro, Lampung

No comments:

Post a Comment