Sunday, November 15, 2015

Transformasi Kepemimpinan Muhammadiyah

Oleh: Pradana Boy ZTF*)

PADA tanggal 14-15 November 2015, Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur menyelenggarakan Musyawarah Wilayah (Musywil). Di antara isu penting,jika bukan malah yang terpenting, dalam agenda ini adalah pemilihan pemimpin Muhammadiyah Jawa Timur untuk masa lima tahun yang akan datang. Meskipun kelihatan sebagai rutinitas biasa, pemilihan pemimpin adalah sebuah persoalan yang tidak selamanya sederhana. Dalam konteks ini, salah satu isu yang menarik untuk didiskusikan adalah berkaitan dengan transformasi kepemimpinan Muhammadiyah.

Transformasi kepemimpinan yang dimaksudkan di sini adalah terjadinya rotasi kepemimpinan yang sehat dan disertai dengan rekayasa sadar akan terjadinya kesinambungan antargenerasi dalam mengelola Muhammadiyah. Sebagai sebuah organisasi yang sering menyebut diri sebagai organisasi kader, maka perhatian pada kesinambungan regenerasi kader dalam Muhammadiyah harus menjadi bagian dari prioritas organisasi. Ini harus dilakukan karena kemampuan dan ketrampilan kepemimpinan bukanlah sebuah proses yang sederhana dan satu arah. Tetapi memerlukan kerja panjang, terstruktur dan penuh kesadaran.

Dalam teori kepemimpinan, memang seringkali muncul perdebatan: apakah seorang pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan? Sebagian meyakini teori nature, bahwa menjadi pemimpin lebih disebabkan oleh bakat bawaan alam ketimbang hasil dari rekayasa sosial. Sebaliknya, tak sedikit pula yang beranggapan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses yang berdimensi nurture. Artinya, kepemimpinan adalah sesuatu yang bisa dipelajari, dikembangkan, dilatihkan dan diajarkan. Karena itu, situasi dan lingkungan sosial juga sangat berpengaruh dalam melahirkan seorang pemimpin berkualitas.

Sebenarnya, tidak ada yang mutlak dalam kedua teori ini. Kepemimpinan adalah proses dialektika dari kedua konteks nature dan nurture ini. Maka sangat mungkin seseorang memiliki bakat dan potensi sebagai seorang pemimpin, tetapi karena kondisi dan situasi lingkungan sosial yang tidak memungkinkan bagi tumbuh-kembangnya potensi itu, maka tidak jarang potensi-potensi kepemimpinan itu tidak tumbuh maksimal dan bahkan mati begitu saja. Sebaliknya, seseorang yang mungkin saja tidak memiliki potensi menonjol sebagai seorang pemimpin, tetapi tumbuh dalam situasi dan lingkungan sosial yang mengarah kepada lahirnya sifat dan sikap kepemimpinan, maka sangat mungkin ia akan menjelma menjadi seorang pemimpin.

Rumusan teoretik-normatif ini sebenarnya bisa diterapkan dalam konteks Muhammadiyah. Bahwa di luar adanya bakat-bakat individual di kalangan generasi muda Muhammadiyah untuk menjadi pemimpin, setiap siklus kepemimpinan dalam Muhammadiyah harus memberikan porsi pada aspek nurture atau rekayasa kepemimpinan masa depan. Salah satunya adalah dengan melakukan transformasi kepemimpinan di Muhammadiyah pada aspek komposisi antarberbagai jenjang generasi. Atau dengan kata lain, melakukan regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan melalui transformasi kepemimpinan.

Disadari atau tidak, dalam Muhammadiyah seringkali muncul sinyalemen akan adanya krisis kader. Sesungguhnya, jika yang dimaksudkan adalah kader dalam arti kuantitas, maka Muhammadiyah sama sekali tidak mengalami krisis kader. Indikasinya adalah, organisasi-organisasi kepemudaan Muhammadiyah tidak pernah sepi peminat, dan tetap menjadi pilihan pengaderan ideologis dalam konteks Muhammadiyah. Tetapi, seringkali jumlah yang banyak tidak dengan sendirinya mencerminkan kualitas yang baik. Maka, pada berbagai bidang strategis, haruslah diakui bahwa ada persoalan cukup serius dalam kesinambungan antargenerasi di Muhammadiyah. Misalnya, dalam konteks regenerasi intelektual. Publik sama sekali tidak ragu bahwa Muhammadiyah dihuni oleh generasi-generasi intelektual seperti Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Malik Fadjar, almarhum Moeslim Abdurrahman, Munir Mulkhan atau yang sedikit di bawah generasi ini adalah Din Syamsuddin, M. Amin Abdullah, Syafiq Mughni, Haedar Nashir, Muhadjir Effendy, dan Hajriyanto Thohari. Sampai pada generasi ini, terdapat generational gap (kesenjangan generasi) yang cukup serius. Sehingga, publik mendengar geliat intelektualisme di Muhammadiyah baru pada sekitar sepuluh tahun lalu yang melahirkan generasi kelahiran 1970-an seperti Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawi, Najib Burhani, Hilman Latief dan Ahmad Norma Permata.

Hal yang sama juga bisa terjadi pada konteks regenerasi kepemimpinan, jika rekayasa sadar ke arah regenerasi kepemimpinan Muhammadiyah ini tidak dilakukan. Maka, meskipun tidak mayoritas, dan memang tidak boleh mayoritas, transformasi kepemimpinan Muhammadiyah dalam dalam arti akomodasi kaum muda dalam Muhammadiyah dalam struktur kepemimpinan harus mendapat perhatian serius.

Sayangnya, aspek-aspek ideal seperti ini seringkali terkalahkan oleh aspek-aspek pragmatis. Aspek-aspek pragmatis yang dimaksudkan adalah pola fikir segmentatif yang membagi orang ke dalam konteks inner circle (orang kita) dan outer circle (bukan orang kita). Pola fikir seperti ini dengan sendirinya mengesampingkan soal kelayakan (fitness) yang mesti dimiliki oleh seseorang dalam mengemban tugas-tugas tertentu, dan lebih mengedepankan aspek-aspek hubungan interpersonal atau komunal ketimbang pemenuhan kebutuhan profesional.

Sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semua pihak dalam Muhammadiyah Jawa Timur berharap agar Musywil Muhammadiyah 2015 mampu menjadi tonggak bagi lahirnya transformasi kepemimpinan di satu sisi, dan transformasi kader-kader muda ke dalam dunia kepemimpinan yang lebih nyata, dan bukan dunia kepemimpinan simulatif seperti yang selama ini mereka praktikkan di berbagai organisasi otonom Muhammadiyah.

*) Dosen FAI-UMM. Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Timur.

http://kedaide.com/transformasi-kepemimpinan-muhammadiyah/

No comments:

Post a Comment