Friday, November 27, 2015

Dr Said Tuhuleley, Mengapa Begitu Cepat Pergi?



Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sabtu sore, 6 Juni 2015, saya sempat menjenguk sahabat kita yang sedang terbaring di R.S. PKU Muhammadiyah Gamping Jogjakarta setelah malam sebelumnya Bung DR. Haedar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah, memberi tahu tentang sakitnya tokoh fenomenal kelahiran Saparua (Ambon) pada 22 Mei 1953 ini. Di kamar pembaringan yang ditunggui secara bergantian oleh staf MPM (Majelis Pengambangan Masyarakat PP Muhammadiyah, ada pula beberapa tamu yang sengaja datang dari Banjarnegara untuk menjenguk DR Said Tuhuleley. Para tamu ini tidak lain dari aktivis binaan MPM di bidang pertaniaan, peternakan, dan perikanan yang memang sudah tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Nama Said melekat sangat kuat dengan MPM yang diketuainya sejak 10 tahun yang lalu.

Kepergian Said pada 9 Juni 2015 untuk selama-lamanya terasa menggoncangkan Muhammadiyah, sebuah gerakan Islam yang dicintainya dengan sepenuh hati. Harapan kita semua tentu agar dari rahim Muhammadiyah akan lahir 1000 Said yang lain dari berbagai bumi Nusantara. Said juga dikenal sebagai penulis reflektif yang handal, di samping sebagai dosen tetap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pada 19 Desember 2014, beberapa bulan sebelum wafat, Universitas Muhammadiyah Malang telah memberi Said gelar Doktor Kehormatan (DR HC), sesuatu yang memang sangat pantas disandangnya.

Doktor Kehormatan yang pertama ini diberikan oleh Program Studi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya di bidang pemberdayaan masyarakat, sebuah bidang yang langsung bersentuhan dengan nasib rakyat miskin. Said adalah simbol pembela sejati rakyat miskin dan terlantar itu. Maka sebenarnya yang berduka bukan hanya kalangan Muhammadiyah, tetapi seluruh rakyat kecil Indonesia yang belum sempat merasakan apa makna kemerdekaan bangsa. Said menghayati betul apa dampak kemiskinan bagi manusia. Itulah sebabnya seluruh energi yang dia miliki dikerahkan untuk mengembalikan martabat para fakir miskin itu agar sejajar dengan manusia lain yang telah merasakan kondisi hidup yang lebih baik.

Masih di pembaringan PKU Gamping, Said malah sempat bercerita tentang kunjungan barunya ke Sorong, Papua. Katanya, di sana ada suku penganut Islam, tetapi masih buas. Komunitas inilah yang dikunjungi Said untuk diberdayakan di bidang pertanian dan peternakan. MPM memberikan empat ekor sapi untuk dikembangbiakkan. Lalu apa yang terjadi? Sambil terkekeh kecil Said mengatakan: “Dua ekor sapi mati, karena tidak diberi minum. Dikiranya sapi itu tidak perlu minum.” Demikianlah Said menggambarkan suka duka dalam pemberdayaan masyarakat. Ada banyak banyak anekdot yang berlaku, di samping kisah sukses yang berjibun. Saat mendengar anekdot itu, tamu yang hadir pada 6 Juni itu juga turut terkekeh. Said dalam kondisi lemah itu ternyata tidak kehilangan daya humornya. Dan humor itu tidak akan kita dengar lagi untuk selama-lamanya.

Said pergi untuk tidak kembali. Semua pelayat berhati duka, dan duka itu dalam sekali. Dimakamkan di pekuburan Karang Kajen pada 10 Juni siang, hanya berjarak sekitar tiga meter dari makam Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang wafat pada tahun 1923. Mungkin saja memang secara kebetulan berkubur berdekatan dengan makam Dahlan, tetapi kita yang melihat merasa senang sekali, karena Said dengan energi yang dimilikinya telah bergerak pada sebuah ranah yang selama ini belum menjadi arusutama Muhammadiyah. Nama Said pasti sudah dicatat dengan tinta emas dalam sejarah MPM yang digelutinya sekian lama sampai maut datang menjemput ruhnya. Semoga Bung Said mendapatkan ḥusnu al-khâtimah, amin, ya Allah! Entah berapa kali umat pelayat melakukan salat secara bergantian untuk jenazah Said yang disemayamkan di masjid kantor PP Muhammadiyah Jogjakarta, terakhir disalatkan lagi di masjid dekat makam Karang Kajen. Said yang tidak sempat berumah tangga telah mengabdikan sebagian besar usia dewasanya untuk beramal saleh sebagai ujud dari iman yang dimilkinya sejak kecil.

Rupanya Said ini telah punya para aktivis yang fanatik terhadap dirinya, karena kinerja kepemimpinannya yang efektif dan sungguh-sungguh atas amanah yang diberikan kepadanya oleh PP Muhammadiyah. Para aktivis memanggilnya Bang Said, sebuah panggilan hormat dan akrab. Bila ditengok dari gaya kepemimpinannya, Said tergolong dalam kategori seorang petarung sejati. Keberhasilannya membina dan mengembangkan MPM adalah bukti nyata dari kepemimpinan yang dengan elok telah mengawinkan antara idealisme untuk membela rakyat kecil dengan kerja nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Batin Said sudah lama merintih membaca dan mengamati ketimpangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa masih ada sekitar 46% rakyat miskin Indonesia jika ukuran yang dipakai adalah perbelanjaan dua dolar (sekitar Rp. 26.000) per kepala per hari. Dengan demikian, dari 253 juta rakyat Indonesia, sekitar 120 juta masih berada dalam kondisi miskin. Lautan kemiskinan ini telah menantang MPM untuk melawannya dengan energi yang belum seberapa. Tetapi energi itu pasti akan berlipat-lipat yang diasuh dan dikembangkan oleh para kader militan bentukan Said.

Sekiranya MPM rintisan Said ini dikembangkan lebih jauh secara dinamis dan ekspansif dengan dukungan penuh PP Muhammadiyah, maka ujungnya sudah kelihatan: MPM akan muncul sebagai pilar ketiga gerakan Muhammadiyah berdampingan dengan ranah pendidikan dan kesehatan yang sudah ditandanginya sejak dasa warsa kedua abad ke-20. Pendidikan mencerahkan otak dan hati manusia, kesehatan untuk menjaga fisik manusia, maka MPM langsung berurusan dengan perut manusia, suatu ranah yang baru mulai digarap Muhammadiyah dengan lebih sungguh-sungguh di bawah komando Said. Jika kita mau meberi gelar tambahan selain Doktor HC, Said adalah Bapak MPM, sebab di bawah kepemimpinannya lembaga ini telah dikenal secara luas di seluruh Nusantara.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari keteladanan hidup Said ini bagi Muhammadiyah? Tidak muluk-muluk, sederhana saja, tetapi bisa punya dampak sangat dahsyat. Suatu amal perbuatan yang semula tampaknya kecil jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh hampir sudah dapat dipastikan akan berbunga rimbun dan kemudian berubah menjadi buah lebat. Filsafat amal ini terpampang dalam seluruh karier Said dalam Muhammadiyah. Sebagai perbandingan, pembenahan yang dilakukan oleh Deni Asyari dan kawan-kawan sejak 18 bulan yang lalu pada majalah SM (Suara Muhammadiyah) juga telah melahirkan fenomena serupa. Dari dana segar SM yang semula tidak lebih dari Rp. 1.000.000.000, kini telah berlipat menjadi Rp. 8.000.0000.0000 dalam tempo yang relatif singkat. Kuncinya: kerja keras, sungguh-sungguh, jujur, kompak, dan pembenaan total pada organisasi dan manajemen. Dari fakta ini saya berkesimpulan bahwa semua bidang amal-usaha Muhammadiyah di mana pun di Nusantara pasti dapat menjadi besar dengan berpedoman kepada kiat kunci itu. Nama-nama seperti Said, Deni, dan nama-nama hebat lain yang bergerak dalam Muhammadiyah adalah testimoni nyata tentang semuanya ini.

Akhirnya, selamat jalan Bung Said, kami yang masih hidup semoga bisa belajar dari semua kinerja tulus dan terarah dari Bung Said yang gaungannya tidak mungkin lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas. Apa yang telah dilakukan Said adalah perwujudan kebenaran yang bermanfaat kepada manusia banyak. Sepotong ungkapan al-Qu’ran dalam surat al-Ra’du ayat 17 sesuai kiranya dikutip di sini yang maknanya adalah: “Dan apa pun yang bermanfaat kepada manusia [sebagai lambang kebenaran] akan abadi di bumi. Demikianlah cara Allah menjelaskan beberapa perumpamaan.” Said akan dikenang sebagai anak manusia yang telah mewariskan sesuatu bermanfaat untuk semua.

(Khusus ditulis untuk buku Mengenang Jejak Langkah Said Tuhuleley, Juni 2015)
Jogjakarta, 1 Ramadhan 1436/18 Juni 2015


No comments:

Post a Comment