Selasa, 24 November 2015, 16:04 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki abad ke II dari khidmah yang
dilakukan oleh Muhammadiyah, telah membawa konsekuensi pengembangan
bahkan pembaruan peran dan keberadaannya. Kehadirannya sebagai "global
civil society" dalam aras "global (good) governance", mensyaratkan
Muhammadiyah untuk mengembangkan wilayah tajdid dan ijtihad yang menjadi
watak "distinctive"nya, sebagai gerakan Islam, dakwah dan amar ma'ruf
nahi munkar. Oleh karena masyarakat di mana Muhammadiyah kini berada,
adalah masyarakat yang tengah bergerak dari masyarakat informasi
(information society) Menuju kepada Masyarakat Ilmu (Knowledge Society).
Di
abad kedua dari keberadaannya, Muhammadiyah dipanggil untuk menggeluti
wilayah peradaban yang lebih luas dan mendalam. Karena di dalam
pergumulan pembinaan peradaban utama ini, diperlukan pengkajian yang
lebih mendalam dalam wilayah nilai, filsafat ilmu dan reformasi
pendidikan. Serta kerja peradaban yang hollistik.
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Kurshid Ahmad: "The most distinct and defining
aspect of Muslim civilization is that is based on faith and is inspired
by a vision of Man, Society, and Destiny based on Devine Guidance. It is
characterized by the integration of the spiritual with the material,
and the moral with the mundane. Life is one organic whole".
Integrasi
antara agama dan ilmu pengetahuan merupakan landasan yang harus
dibangun bersama bagi pembinaan peradaban utama. Suatu tugas keummatan
yang harus terus memanggil kita bersama untuk lebih bersungguh-sungguh
menggeluti persoalan strategis dan berjangka panjang ini untuk membina
perdaban utama yang universal, yang melintasi ruang dan zaman :
"Religion and science or scientific activities are regarded as the two
phenomena that may elevate a culture to the level of universality".
Pada
saat ini masyarakat dunia, dalam beraneka peringkatnya, sedang dalam
proses peralihan menuju Masyarakat Pengetahuan (Knowledge Society).
Yaitu masyarakat yang menghargai tinggi pengetahuan, sebagai hasil
kegiatan di mana setiap orang berhak untuk mengaksesnya. Dan bukan hanya
menjadi monopoli manusia yang berkecimpung di lembaga pendidikan,
pengkajian dan penelitian saja (nonexcludable public good).
Pengetahuan
adalah hak setiap orang, di mana pendidikan merupakan hak setiap orang,
yang akan membentuk masyarakat pengetahuan (Knowledge Society).
Aktivitas ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge Economy) dapat
terbentuk sebagai sebuah pencapaian kolektif peradaban (Civilizational
Collective Achievement) jika terbina masyarakat pengetahuan. Dalam
situasi seperti itu maka akses terhadap pengetahuan dan pembentukan gaya
hidup berbasis pengetahuan itu, adalah dengan akses terhadap
pendidikan. Perkembangan "Industri Kreatif" (salah satu kegiatan ekonomi
berbasis pengetahuaan) yang semakin menonjol akhir-akhir ini adalah
merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu dari yang belum ada dan
penemuan karya kretif (Create/innovate), disseminasi dan pemanfaatannya
dalam masyarakat. Aktivitas ini sangat ditunjang oleh Pengetahuan dan
Imajinasi pelakunya.
Banyak Cendikiawan Muslim dan pengamat
sosial-keagamaan yang menyatakan bahwa abad XX merupakan abad
kebangkitan Islam, khususnya dari dunia Timur. Sebagaimana prediksi yang
telah dikemukakan oleh Fazlur Rahman bahwa kebangkitan Islam akan
muncul dari negara-negara Timur, dan lebih-lebih pada negara yang
mengembangkan sistem demokratisasi. Indonesia, kata Rahman adalah
"bangsa yang berwatak demokratis; karena itu, hanya penafsiran Islam
yang betul-betul demokratislah yang akan berhasil di sana." Hanya dengan
Iklim demokrasilah suhu kebangkitan Islam akan tumbuh dan berkembang
dengan cepat. Sampai saat ini, belum ada satu negara pun yang menyamai
kemajemukan Indonesia, termasuk organisasi keagamaannya.
Mulai
abad XX, kebangkitan Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat spektakuler dengan ditandai munculnya organisasi Islam (Ormas
Islam). Organisasi keagamaan ini lahir dari akumulasi produk pemikiran
yang berbeda-beda. Gerakan keagamaan tersebut diantaranya; seperti
Sarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul
Ulama'. Semuanya adalah gerakan keagamaan yang memiliki trade mark dan
orientasi yang agak berbeda satu sama lain. Dari sekian banyak gerakan
tersebut di atas, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang
paling diperhitungkan dalam pentas nasional. Hal ini terbukti dengan
banyaknya tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam panggung politik dan
akademis. Tidak diragukan lagi, para tokoh pemikir kenamaan yang
sekarang muncul banyak dari kalangan Muhammadiyah. Golongan terdidik ala
Muhammadiyah telah memberikan andil besar terhadap kelangsungan
pembangunan bangsa dan negara.
Lahirnya gerakan keagamaan ala
Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia
merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya
bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan "eksperimen sejarah" yang
cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Tantangan
yang dihadapi Muhammadiyah kala itu adalah sinkritisasi dan tekanan
ideologi luar yang sengaja dipaksakan masuk ke dalam negeri Indonesia.
Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan
representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma'ruf nahi
mungkar, sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah
merupakan sebuah pengesahan terhadap tajdid.
Faktor-faktor yang
turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala itu memang sangat komplek.
Sedikitnya ada dua faktor yang ikut berpengaruh dalam menjelaskan
lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor internal bahwa kelahiran
Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap tantangan ideologis yang
telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa. Dalam masyarakat jawa,
kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara historis dipengaruhi oleh
budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu dan Budha adalah warisan budaya
yang sangat kuat di masyarakat jawa. Prilaku keagamaan jawa, khususnya
di daerah pedalaman masih kental dengan budaya sinkritisme, yakni
pencampur adukan dari berbagai unsur nilai agama. Lebih-lebih, ada
sebagian masyarakat jawa masih memistikkan sesuatu (tahayyul dan
khurafat) yang dianggap memiliki kekuatan supranatual. Di samping itu,
sebagain umat Islam juga sering menambah-nambahi dalam masalah ibadah
atau yang disebut bid'ah, yakni praktek keagamaan yang tidak ada
dasarnya yang jelas baik dari alquran maupun as-sunnah. Keyakinan inilah
yang membuat Muhammadiyah benar-benar tertantang untuk melakukan
pemahaman keagamaan yang lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang
sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran
Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke
Indonesia pada tahun-tahun pertama abad 20.[iii] Seperti kita ketahui,
bahwa Islam pasca jatuhnya Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami
kemunduran dalam berbagai persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat
Islam mulai ada gagasan baru yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13,
ada seorang tokoh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak
dasar ide pembaharuan, tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru
mulai abad 19 tokoh-tokoh pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang
keagamaan dan pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid
mereka. Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu
tersebut lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru
dunia, termasuk wilayah Indonesia.
Sementara itu ada faktor lain
yang juga lebih penting yang ikut memainkan peran dalam mendukung
kelahiran Muhammadiyah, faktor ini tidak sering disebut oleh para
sarjana, yaitu penetrasi dalam misi Kristen di negara ini serta pengaruh
besar yang telah ditimbulkannya. Meskipun oleh para sarjana dianggap
tidak penting, harus tetap diakui bahwa faktor ini merupakan yang
terpenting dari semua faktor yang telah mendorong KH. A. Dahlan
mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 M.
Menurut
Alwi Shihab ada dua alasan pokok yang menyebabkan para sarjana Indonesia
agak menyepelekan "faktor misi Kristen" ini. Alasan pertama adalah
keengganan mereka untuk membahas masalah yang dapat menimbulkan
pertentangan tersembunyi antara kaum Muslim dan kristen di Indonesia.
Alasan kedua, kehati-hatian mereka yang berusaha untuk tidak mengganggu
kepekaan pemerintah yang berlebihan yang menyangkut berbagai isu yang
berada dalam katagori sara (suku, agama ras dan antargolongan). Hal ini
menjadi penting khusunya ketika isu tersebut dihubungkan dengan
Kristenisasi sebab hal ini dapat digunakan untuk memanas-manasi opini
publik atas dasar bahwa Islam telah dan sedang diancam oleh Kristen.
Oleh pemerintah, yang memang sangat berkepentingan mencegah munculnya
persoalan dan menghindarkan perselisihan di antara masyarakat beragama,
kemungkinan munculnya berbagai isu sara, yang bisa memicu ketegangan di
kalangan masyarakat benar-benar dihindari.
Dalam hal ini agaknya
pemerintah juga memainkan peranan dalam menyembunyikan gejala bahwa
Kristenisasi juga berpeluang untuk menyerang Islam. Hubungan
Muslim-Kristen yang diciptakan oleh pemerintah, nampaknya hanya sebagai
upaya menjaga keamanan, sehingga kalangan Kristen memperoleh keuntungan
yang sangat signifikan dalam perkembangannya di Indonesia. Indikator ini
bisa kita tilik bahwa perkembangan umat Kristen kian tahun kian
bertambah besar, sementara umat Islam tidak terlalu signifikan dalam
mengimbangi proses pertumbuhan itu. Misalnya, pada tahun 1931, umat
Kristen di Indonesia hanya berkisar 2,8 persen, pada tahun 1971,
meningkat menjadi 7,4 persen dan 9,6 persen pada tahun 1990. Peningkatan
jumlah pemeluk Kristen ini, yang tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah
pertumbuhan yang alamiah, telah menimbulkan kritik keras terhadap
pemerintah diberbagai kantong Islam, khususnya pada dekade 1970-an.
Pemerintah dipandang terlalu lunak terhadap misi Kristen.
Salah
satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah gerakan
Purifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa
Arab disebut'tajdid', dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan
dua permukaan yang sama nilainya. Namun kedua ciri tersebut secara
harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Pada
mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali
kepada semangat dan ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam
dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. Cita-cita dan gerakan pembaruan yang
dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks kehidupan
keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman,
K.H. Ahmad Dahlan berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu
pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa,
dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak
lain menghadapi Islam-tradisional yang tersebar
dipesantren-pesantrennya.
Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah
gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang pada dasarnya
merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai
transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial,
atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat dari segi ini
sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru
dengan suatu pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya
Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu.
Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi itu
misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai
sejauh itu dianggap dapat menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama
untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk, takhayul, bid'ah
dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.
Muhammadiyah
berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional
sekaligus, dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan
"pemurnian" (purifikasi) berarti rasionalisasi yang menghapus
sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau
menggantikan tradisi lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak
sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya pembaruan demi mencapai
cita-cita transformasi sosialnya itu.
Perlu digaris bawahi
terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah
al-Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan
Muhammadiyah generasi awal, dan hingga sampai saat sekarang ini. Namun
harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih terfokus pada
aspek aqidah (metafisik).[vii]Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid'ah dan
Churafat) merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat
yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah.
Proses
Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan
gerakan dakwah. Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah
melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun Jawaisme. Pada waktu itu
banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk, bahkan syirk
terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa
meninta-minta restu pada makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan
menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai dengan gagasan kemurnian
Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso
tempat-tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan
gua. Begitu juga kepercayaan pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah,
sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya pada bermacam
primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur).
Demikian pula bermacam-macam ajian,petung (hari baik-buruk),
jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu adalah bentuk antroposentisme
yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi
al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari
perilaku yang tahayyul. Pengakuan bahwa Tuhan adalah Maha pelindung
membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan kerena Tuhan
Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do'a, dan zikir,
akibatnya ialah adanya sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu
Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi adalah
rasionalisasi.
Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan
demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus dijauhkan dari
sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal
dari sufisme menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak
kontemplatif. Sufisme rasional menyebabkan ketergantungan, sebab seorang
guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-muridnya. Begitu
juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit
yang dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford
Geertz sebagai garakan tranformatif, yakni perubahan dari kondisi
masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau
kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang
berkecukupan. Karena itu, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis,
atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala perkotaaan.
Gerakan
pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban
kultural. Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa
yang selama ini terselengara upacara tahlil, barzanji, atau kenduri
dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan
puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa
keyakinan-keyakinan masyarakat desa seperti konsep mengenai ''sing mbau
rekso" juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena keyakinan
pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan
konsep-konsep mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.
Lebih
lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan
Muhammadiyah telah membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala
individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang mengikat masyarakat menjadi
unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa
yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan
kerja sama, telah melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu
pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi dari gerakan
Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi
ideologis berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu.
Individualisme yang sepatutnya menjadi ciri masyarakat kota masuk pula
ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga
menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam
pola tingkah laku alumni sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya
ikatan antara guru-murid, sekolah alumni, dan alumni-alumni. Memasuki
sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih
merupakan hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan
nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara
murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat erat. Lebih-lebih
lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional,
ikatan yang erat itu juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks
ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah ternyata mengakibatkan
hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah
Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru
terpurifikasi oleh arus global yang mengelilinginya?
Gerakan
purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan
penyadaran terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah
pentingnya adalah penajaman tauhid. Karena formulasi tauhid adalah
terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik
sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus
diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus
diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan
konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua
problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang
mampu memberikan alternatif baru yang lebih anggun dan segar.
Tujuan
tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan
tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu
sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan
cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan
terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik
yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat
Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah
manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman
kepada Allah.
Kuntowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat
tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni
kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya
diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di
masa depan. Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah
memanusiakan manusia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami
proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita
sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi
di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu
teknologi juga berkecenderungan reduksionistik yang melihat manusia
secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari
kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan.
Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam
kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi
raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang
kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi
transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus
hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu
harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali
dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Gerakan
di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah,
lebih-lebih dalam mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang
dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan sekarang jauh lebih berbeda.
Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat basis
keagamaan yang didukung oleh nilai-nilaisosial-religius.
Salah
satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan)
disemua lini kehidupan. Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis
Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal Muhammadiyah sangat getol
dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah meluruskan
Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan
umat manusia pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga
persyarikatan yang menyatu dalam etos keagamaan umat sangat diperlukan.
Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap mental dan
pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan
bukannya berada di luar kesadaran keagamaan.
Model gerakan
Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya
adalah pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid)
adalah gerakan pembaruan pemikiran Muhammadiyah untuk mencari pemecahan
atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk pada Al- Qur'an
dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga
memberi pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan. Secara
etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi
penciptaan sesuatu yang baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna
itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid dalam Islam, tajdid
adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan
memperbaruhi pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan
dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah
ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan ruang.
Gerakan
tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama,
pemahaman atau penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak
pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri.
Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi
terakhir pada diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang
wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan perkataan lain, tidak
ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap
ajaran yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul
terakhir. Konsekwensi dari pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun
di bidang penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan bantuan sunnah dan
sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.
Kedua,
Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas
landasan etik dan moral yang kuat dalam rangka mengaktualisasikan
prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.
Ketiga, tajdid
dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan oleh para
sahabat, terutama Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi
tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir yang dikuasai setelah perang
Prajurit Islam menang perang.
Muhammadiyah sebagai gerakan
tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu
berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara
konstektual, baik itu bidang hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu,
Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang senantiasa setiap
waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi
terjadinya perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang selain berdampak positif juga berdampak
negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian serius
dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan
atau pemecahan yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia
dengan merujuk pada maqasid al syari'ah.
Dalam Muhammadiyah, ada
lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan
hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani
persoalan konrtemporer yang selalu berkembang dan sangat menuntut adanya
jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak hanya berbau fiqh
tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.
Tuntutan
masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri,
lebih-lebih lagi pada masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial
society. Problem masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat
agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk
menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.
Semula yang
hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga
yang menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog
agama, gender, perburuhan, dan sebagainya adalah bidang garap
Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah semakin
meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah
memadukan antara dimensi "normativitas" wahyu dengan "historisitas"
pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju' ila al-Qur'an wa al-Sunnah, dan
Tajdid atau Ijtihad berjalan sealur dan seirama.
Muhammadiyah
dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang
akan bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang
dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan ilmu pengetahuian dan
teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan
mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama
sekali baru. Dalam hal ini, Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan
vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat terjawab
secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti
mengadaptasikan persoalan-persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah
historis-empiris.
Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah
adalah mempertautkan antara teks"normatifitas" dengan teks
"historisitas". Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa
berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan
Surat Al-Ma'un kepada santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa
Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada wilayah teologis, tetapi
Muhammadiyah berusahaconcern terhadap problem sosial yang harus
memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi
teologi sosial yang dapat dilihat kasat mata. Oleh karena itu,
Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga Pendidikan,
Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.
Atas hal yang
dimiliki oleh muhammadiyah maka perlu dirumuskan perihal tersebut
berkenaan dengan modernitas melalui seminar pra muktamar yang mana
dibutuhkan guna menselaraskan tujuan purifikasi dan modernitas.***
Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/umj-pendidikan/15/11/24/nybajb219-muhammadiyah-dan-tantangan-global