Saturday, June 13, 2015

Said Tuhuleley: Aktivis Sejati yang Autentik

In Memorium:

SAID TUHULELEY: AKTIVIS SEJATI YANG AUTENTIK

 Oleh Hajriyanto Y. Thohari

AKTIVIS Dr. (H.C.) Drs. H. Said Tuhuleley, MM., Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam dua periode (Periode 2005-2010 dan 2010-2015) yang sangat dinamis itu, meninggalkan kita tanggal 9 Juni 2015, malam, jam 23.33, di RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, setelah menderita sakit dan dirawat beberapa lama di RS PKU Muhammadiyah. Putra Ambon yang lahir di Saparua 62 tahun yang lalu itu, menghabiskan sebagian besar hidupnya dan perjuangannya di Yogyakarta. Keluarga besar Muhammadiyah dan bangsa Indonesia kehilangan seorang aktivis yang sangat autentik (baca: tulen) yang mengabdikan dirinya sepanjang hidupnya untuk masyarakat lemah dengan prinsip sepi ing pamrih ramai ing gawe yang jauh dari pretensi politik, apalagi pencitraan dan publikasi. 
Pak Said, demikian ia biasa disapa, adalah aktivis sejati yang benar-benar total dan autentik. Ketika mahasiswa dia adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan organisasi intra-universitas, bahkan pernah dipercaya menjadi Ketua Dewan Mahasiswa (DM) IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta, UNY) Periode 1977-1978, sebelum di-breidel oleh pemerintah. Setelah lulus sebagai sarjana Matematika (1982) dia menjadi aktivis Majelis Tabligh PP Muhammadiyah (1985-1990). Dari otak dan tangannya lahir sebuah lembaga yang namanya sangat unik, Bengkel Dakwah Muhammadiyah dan Laboratorium Dakwah yang menghasilkan Peta Dakwah yang terkenal itu yang kemudian diikuti dengan pelatihan-pelatihan instruktur dakwah (LID) yang digelar oleh Majelis Tabligh PP Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Sebagai akademisi, Said Tuhuleley sempat bekerja sebagai dosen dan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Pada waktu yang hampir bersamaan juga menjadi sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah, sebuah majelis yang boleh dikatakan baru (1990-an) dalam kelembagaan PP Muhammadiyah. Said bersama-sama dengan almarhum M. Jazman Al-Kindi berperan besar pada masa-masa formasi kelembagaan baru itu yang kemudian melahirkan embrio bagi perkembangan Perguruan-Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang kini mencapai jumlah 194 PTM, baik dalam bentuk universitas maupun sekolah tinggi, besar dan menengah.


Tetapi di atas segalanya, yang paling fenomenal adalah ketika sejak sepuluh tahun terakhir ini Pak Said dipercaya menjadi ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) melanjutkan rintisan Lembaga Tani, Buruh, dan Nelayan PP Muhammadiyah yang dipimpin oleh almarhum Dr. Muslim Abdurrahman yang tak kalah fenomenalnya itu. Pak Said lah yang berhasil secara gemilang melanjutkan, menyempurnakan, dan mengongkritkan langkah-langkah avant garde dari Dr. Muslim Abdurrahman. Pada sejatinya keduanya lah yang memulai melakukan langkah-langkah ekstensifikasi gerakan Muhammadiyah sehingga merambah dunia buruh, tani, dan nelayan, bidang yang selama ini berada di luar mainstrem gerakan Muhammadiyah. Muhammadiyah yang biasanya dikenal lebih menekuni bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, di tangan Pak Said dan Mas Muslim mulai merambah dunia petani, buruh dan nelayan.

Pejuang mainstream baru

Dalam sepanjang aktivismenya Said Tuhuleley menunjukkan dirinya sebgai seorang yang sangat peduli dengan rakyat miskin dan kaum dhuafa. Dan dia sangat konsisten dengan ideologi itu. Dalam kesempatan Semiloka di Universitas Muhammadiyah Surakarta (2011) yang diikuti oleh MPM Wilayah dan Daerah se-Indonesia yang dibentuknya dan Lembaga Pengabdian Masyarakat PTM se-Indonesia pula, Said Tuhuleley menyatakan ketidakterimaannya bahwa 60% penduduk Indonesia yang bekerja pada sektor pertanian, peternakan, dan perikanan adalah miskin. Padahal mayoritas penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian di sektor ini. Menurut pengamatannya pertanian rakyat, seperti tanaman pangan misalnya, telah mengalami leveliing-off:  pertanian dan masyarakat tani telah mengalami proses pemiskinan sistemik dan masif sehingga berapa pun input yang diberikan, produksi padi petani tidak bertambah. Hal ini ditambah dengan seringnya terjadi perubahan musim yang tak menentu, bencana alam, dan faktor-faktor lainnya, mengakibatkan seringnya terjadi kegagalan panen yang tambah merugikan para petani.

Berbeda dengan di Jepang, misalnya, petani dan buruh tani di Indonesia juga tidak memiliki posisi tawar yang baik, bahkan posisi tawarnya sangat rendah. Maka tidak mengherankan apabila perhatian pemerintah sangat kecil terhadap petani, buruh, dan nelayan. Bahkan banyak sekali kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung merugikan mereka. Oleh karenanya, dalam pandangan Said Tuhuleley,  MPM perlu memberikan perhatian lebih serius pada advokasi kebijakan publik yang tidak sensitif dan akomodatif terhadap kehidupan rakyat miskin yang semakin terpinggirkan ini. Dengan upaya-upaya yang serius, sistematis, dan berkesinambungan ini, diharapkan kapasitas, daya saing, posisi tawar, dan intensitas pemberdayaan terhadap masyarakat golongan ini dapat diangkat dan ditingkatkan.

Sebagai ketua MPM dua periode baca: satu dasawarsa), Pak Said benar-benar intensif dan total menggeluti kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks gerakan Muhammadiyah sebelumnya bidang ini –mungkin agak dramatis dan tidak terlalu tepat--  bisa disebut non-mainstream atau bukan kelompok bidang yang menjadi arus utama. Pak Said berambisi besar menjadikan bidang yang non-mainstream ini hadir menjadi pembeda bagi gerkan Muhammadiyah abad pertama dan Muhammadiyah abad kedua. Maka menjelang memasuki abad yang kedua Muhammadiyah perlu merambah dan melakukan ekstensifikasi kegiatan ke bidang yang relatif baru bagi Muhammadiyah ini. Bersama trio-putra Saparua lainnya (Dr. Syafii Latuconsina pakar dan praktisi pertanian organik serta Iqbal Tuasikal, praktisi koperasi), Said Tuhuleley dengan MPM-nya berjalan berkeliling mengunjungi daerah-daerah dan cabang-cabang membimbing petani, buruh, dan nelayan untuk diberbadayakan.

Dengan dana Lazismu (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Shadaqah Muhammadiyah), sebuah lembaga filantropi Muhammadiyah yang juga relatif baru, Pak Said menjadi semakin keranjingan dengan program-program pemberdayaan masyarakat. Dia membina petani-petani di Kokoda (Kabupaten Sorong, Papua Barat), petani Kakao di Sumatera Barat, nelayan di danau Maninjau  (Sumatera Barat), petani di Sidoarjo, Karanganyar, Klaten, Kebumen, Ambon, Sulawesi Selatan, bahkan Aceh, dan daerah-daerah pelosok Indonesia. Selaku Ketua Lazismu Muhammadiyah saya kewalahan mengikuti aktivitas Pak Said yang sangat tinggi sehingga hanya mampu menyertainya pada saat-saat panen raya, itupun sebagian kecil saja. Bachtiar Kurniawan, sekretaris MPM yang masih sangat muda belia itu pun menyatakan kewalahannya mengikuti irama Pak Said dalam bekerja. Tapi dia sangat beruntung berkesempatan untuk belajar banyak hal dari Said Tuhuleley selama melayaninya bekerja memberdayakan kaum dhuafa dengan penuh keikhlasan melalui MPM.

Intelektul sekaligus aktivis

Tidak syak lagi Said bukan hanya seorang pekerja (man of action), tetapi juga sekaligus intelektual (man of reflection). Di dalam dirinya tercermin ativisme sekaligus intelektualisme. Dan dia memang bisa memadukan keduanya itu, aktivisme dan intelektualisme, dengan sangat baik dan serasi: dia adalah aktivis dan intelektual yang par excellence. Seluruh program pemberdayaan masyarakat yang dilakukannya didasarkan pada -dan ditopang dengan- ilmu pengetahuan yang secara konseptual memadai sehingga selalu memiliki nilai-nilai strategis yang tinggi, terutama jika diletakkan dalam konteks kerja pemberdayaan masyarakat dan kerja-kerja kemanusiaan.

Sebagai intelektual yang bergerak bukan hanya di tataran praksis, Pak Said menulis banyak buku, di antaranya Masa Depan Kemanusiaan (2003) setebal 215 halaman bersama Adde Marup WS dan Haedar Nashir; Pendidikan: kemerdekaan diri, dan hak si miskin untuk bersekolah  (Pusat Studi Muhammadiyah, 2005 - 184 halaman); Permasalahan abad XXI: sebuah agenda: kumpulan karangan (SIPRESS, 1993 - 202 halaman); Profile Anggota Muhammadiyah, dan banyak artikel ilmiah tentang pemberdayaan masyarakat. Tulisan-tulisannya sangat bbanyak dan artikulatif mengingat dia juga menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Jurna Ilmiah Inovasi yang diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Benang merah pemikiran Said Tuhuleley, sebagaimana tampak dari tulisan-tulisannya tersebut, adalah bahwa dalam masyarakat yang pluralistik tak ada kemungkinan untuk mengembangkan sebuah etos kemanusiaan bersama kecuali atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Cita-cita humanistik tersebut tidak menjauhkan dari ketuhanan, meskipun dari sejarah humanisme, kita tahu bahwa humanisme memang dipergunakan untuk menjauhkan manusia dari agama. Tetapi baginya tidak ada alasan mengapa kemanusiaan dilepaskan oleh orang-orang beragama kepada orang-orang tidak beragama. Baginya kerja kemanusiaan adalah bagian integral dari kerja keagamaan.

Itulah sebabnya mengapa Said sangat membuncah hatinya ketika gerakan  Muhammadiyah dengan penuh antusiasme merambah ke dunia pertanian dan nelayan. Baginya kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan merupakan implementasi dari kan apa yang dikenal dengan Teologi Al-Ma’un yang juga dirumuskan dan dielaborasi oleh Dr. Muslim Abdurrahman dari ajaran KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,  atau gagasan Tauhid Sosial yang dilontarkan oleh Prof Dr Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah (1995-2000), dan Islam Berkemadjoean KH Ahmad Dahlan yang direinterpretasikan dan direaktualisasik oleh Dr. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah (2005-2010 dan 2010-2015) dalam gerakan pencerahan peradaban atau tanwir itu. Dalam konteks dan perspektif ini tidak berlebihan lah manakala saya menyatakan dengan tegas bahwa Said Tuhuleley adalah kekuatan operasional dari gagasan-gagasan Teologi al-Ma’un, Tauhid Sosial, dan Islam Berkemajoean itu.

Berkat pemikiran-pemikirannya yang mendalam (reflektif) dan membumi (praksis), serta aktifitas nyata yang total melalui MPM PP Muhammadiyah itu, Said Tuhuleley dianugerahi penghargaan Doctor Honoris Causa (H.C.) dalam bidang Pemberdayaan Masyarakat oleh Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Dia  berhasil secara gemilang mendorong dan menggerakkan Muhammadiyah untuk mulai merambah dalam bidang pemberdayaan masyarakat dhuafa yang memerlukan bantuan dan sentuhan perhatian. Prof Malik Fadjar selaku Promotor dan Prof. Dr. Ishomuddin, MS, sebagai Co-Promotor, telah dengan tepat menilai bahwa Said Tuhuleley adalah tokoh Muhammadiyah, umat, dan bangsa yang telah terbukti mengembangkan ilmu pengetahuan dan konsisten mengamalkannya untuk masyarakat dan kemanusiaan dengan penuh dedikasi. Ilmu tanpa amal adalah laksana pohon yang tidak berbuah, dan amal tanpa ilmu akan kehilangan konteks sosial dan historisnya.

Muhammadiyah dan bangsa ini beruntung mendapatkan kader dengan kualifikasi seperti dirinya. Kini beliau telah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Hidupnya sepanjang lebih dari enam dasawarsa itu tidak sia-sia. Ilmu dan pengalaman yang ditinggalkannya menjadi warisan dan amal jariyah yang sungguh sangat berharga bagi kerja-kerja kemanusian generasi-generasi baru berikutnya sebagai pelanjut estafeta perjuangan selanjutnya. Semoga Allah SWT menerima ibadah dan amal jariyahnya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Selamat jalan, DR (HC) Said Tuhuleley, MM!

-H-

Hajriyanto Y. Thohari, Ketua Badan Pengurus LAZISMU PP Muhammadiyah dan mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014). (Tulisan ini dimuat di harian Republika, edisi Sabtu, 13 Juni 2015).

No comments:

Post a Comment