Thursday, June 11, 2015

Muktamar Dua Gerakan Kebudayaan

Dr Biyanto 
Dosen Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UINSA

TIDAK berlebihan jika dikatakan bahwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan gerakan kebudayaan. Dua organisasi masyarakat (ormas) itu telah banyak berjuang melalui jalur kultural. Yang menarik, keduanya akan bermuktamar dalam waktu yang hampir bersamaan tahun ini. Diawali pelaksanaan Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1–5 Agustus. Dilanjutkan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3–7 Agustus.

Dalam banyak hal, Muhammadiyah dan NU menunjukkan perjuangan yang hampir sama. Keduanya menjadikan organisasi sebagai media untuk mendakwahkan Islam yang moderat. Keduanya juga bekerja di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan amal sosial lainnya. Yang berbeda adalah strategi dakwah, pendekatan, budaya berorganisasi, dan karakter anggotanya.

Juga ada perbedaan yang bersifat furu’iyah (cabang) dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama.
Sejumlah kesamaan dalam berkiprah itu menegaskan bahwa Muhammadiyah dan NU semestinya bersinergi untuk memperbaiki kualitas hidup umat. Keduanya harus lebih banyak melakukan pertemuan informal sehingga dapat saling bertegur sapa dan menjauhkan diri dari prasangka.
J
ika menengok sejarah, seharusnya memang tidak ada halangan bagi Muhammadiyah dan NU untuk bersinergi. Apalagi jika melihat hubungan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan pendiri NU KH Hasyim Asy’ari. Pendiri dan ideolog dua gerakan kebudayaan itu tercatat pernah belajar di Makkah pada guru yang sama, yakni Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Ahmad Khatib merupakan ulama besar kelahiran Minangkabau yang bermukim di Makkah. Dia telah menjadi guru bagi ulama Nusantara yang pergi haji sekaligus belajar di Tanah Suci.

Sejumlah ulama Muhammadiyah juga pernah nyantri di pesantren NU. Salah satunya adalah tokoh Muhammadiyah asal Lamongan, Jawa Timur, KH Abdurrahman Syamsuri al hafiz. Beliau pernah nyantri di Tebuireng dan diasuh langsung KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Din Syamsuddinjugaseringmenceritakan pengalamannya saat ”menjadi NU”. Menurut pengakuannya, Din pernah menjadi aktivis Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU).
 
Pengalaman beberapa tokoh itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah dan NU sesungguhnya memiliki modal sosial untuk bersinergi. Tetapi harus diakui, hubungan keduanya terkadang mengalami pasang surut. Itu terjadi tatkala keduanya bersinggungan dengan persoalan politik. Misalnya saat keduanya terlibat dalam Partai Masyumi pada masa Orde Lama. Demikian juga halnya saat sebelum dan sesudah pelengseran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden.

Tetap, di luar urusan politik, dua ormas tersebut dapat bersinergi dengan baik. Sebagai contoh, Buya Syafi’i Ma’arif (PP Muhammadiyah) dan KH Hasyim Muzadi (PB NU) pernah bersama-sama melakukan kunjungan ke luar negeri untuk menjelaskan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Penjelasan dua tokoh tersebut penting untuk meluruskan pemahaman Barat terhadap Islam yang selalu dikaitkan dengan radikalisme dan terorisme. Melihat kiprah Muhammadiyah dan NU dalam sejarah bangsa ini, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keduanya merupakan aset yang sangat berharga.

Tokoh Muhammadiyah dan NU menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang ber-Bhinneka. Meski begitu, Indonesia harus tetap Tunggal Ika. Dengan kata lain, negeri ini harus berdiri tegak di atas prinsip unity in diversity (bersatu dalam keragaman). Nilai-nilai itulah yang selalu digelorakan tokoh Muhammadiyah dan NU. Tokoh dua ormas itu juga berkomitmen mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai warisan dari the founding father yang bersifat final.
 
Komitmen keduanya dalam mewujudkan wajah Islam yang moderat dan tegaknya NKRI penting untuk menangkal virus radikalisme. Dengan mendakwahkan Islam yang moderat, inklusif, dan bermazhab tengah (al-wasath), keduanya jelas memiliki sumbangsih yang besar bagi negeri ini.

Karena itu, tidak mengherankan jika dunia banyak berharap pada teladan Islam di Nusantara. Itu berarti Indonesia harus menjadi mozaik Islam mazhab tengahan yang moderat dan saling menghargai di tengah keragaman. Persoalan pluralitas tersebut penting menjadi atensi. Sebab, jika diamati, pluralitas bangsa, dilihat dari etnis, budaya, dan agama, sungguh luar biasa. Hebatnya, kondisi plural tidak menghalangi bangsa ini untuk hidup berdampingan.

Dengan demikian, dapat dikatakan, warga bangsa ini telah menerapkan nilai-nilai agree in disagreement (bersepakat dalam perbedaan). Jika ditanya mengapa bangsa ini dapat hidup rukun meski faktanya sangat beragam, jawabannya, kondisi itu terjadi berkat dakwah kebudayaan Muhammadiyah dan NU sehingga melahirkan wajah Islam moderat di tanah air.

Ibarat sayap, dua ormas tersebut harus terus mengembang. Tidak boleh ada salah satu sayap yang patah. Rasanya tidak terbayang jika dua gerakan kebudayaan itu tidak lahir dari rahim negeri tercinta. Jika keduanya tidak ada, barangkali kita akan menyaksikan negeri ini mengalami kehancuran peradaban layaknya Iraq, Syria, Mesir, Libya, Nigeria, dan Yaman. Negara-negara tersebut kini terus membara karena gagal mengatasi persoalan kemajemukan.

Artikel ini dimuat di Opini Jawa Pos 25 Mei 2015

No comments:

Post a Comment