In Memorium:
SAID TUHULELEY:
AKTIVIS SEJATI YANG AUTENTIK
Oleh Hajriyanto
Y. Thohari
AKTIVIS Dr. (H.C.) Drs. H. Said Tuhuleley,
MM., Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
dalam dua periode (Periode 2005-2010 dan 2010-2015) yang sangat dinamis itu,
meninggalkan kita tanggal 9 Juni 2015, malam, jam 23.33, di RS Dr. Sardjito,
Yogyakarta, setelah menderita sakit dan dirawat beberapa lama di RS PKU
Muhammadiyah. Putra Ambon yang lahir di Saparua 62 tahun yang lalu itu,
menghabiskan sebagian besar hidupnya dan perjuangannya di Yogyakarta. Keluarga
besar Muhammadiyah dan bangsa Indonesia kehilangan seorang aktivis yang sangat
autentik (baca: tulen) yang mengabdikan dirinya sepanjang hidupnya untuk
masyarakat lemah dengan prinsip sepi ing pamrih ramai ing gawe yang jauh
dari pretensi politik, apalagi pencitraan dan publikasi.
Pak Said,
demikian ia biasa disapa, adalah aktivis sejati yang benar-benar total dan autentik.
Ketika mahasiswa dia adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
organisasi intra-universitas, bahkan pernah dipercaya menjadi Ketua Dewan
Mahasiswa (DM) IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta, UNY) Periode
1977-1978, sebelum di-breidel oleh pemerintah. Setelah lulus sebagai sarjana
Matematika (1982) dia menjadi aktivis Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
(1985-1990). Dari otak dan tangannya lahir sebuah lembaga yang namanya sangat unik,
Bengkel Dakwah Muhammadiyah dan Laboratorium Dakwah yang
menghasilkan Peta Dakwah yang terkenal itu yang kemudian diikuti dengan
pelatihan-pelatihan instruktur dakwah (LID) yang digelar oleh Majelis Tabligh PP
Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Sebagai
akademisi, Said Tuhuleley sempat bekerja sebagai dosen dan Kepala Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3), Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY). Pada waktu yang hampir bersamaan juga menjadi sekretaris
Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah, sebuah majelis yang boleh dikatakan baru
(1990-an) dalam kelembagaan PP Muhammadiyah. Said bersama-sama dengan almarhum
M. Jazman Al-Kindi berperan besar pada masa-masa formasi kelembagaan baru itu yang
kemudian melahirkan embrio bagi perkembangan Perguruan-Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM) yang kini mencapai jumlah 194 PTM, baik dalam bentuk
universitas maupun sekolah tinggi, besar dan menengah.
Tetapi di atas
segalanya, yang paling fenomenal adalah ketika sejak sepuluh tahun terakhir ini
Pak Said dipercaya menjadi ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM)
melanjutkan rintisan Lembaga Tani, Buruh, dan Nelayan PP Muhammadiyah yang
dipimpin oleh almarhum Dr. Muslim Abdurrahman yang tak kalah
fenomenalnya itu. Pak Said lah yang berhasil secara gemilang melanjutkan,
menyempurnakan, dan mengongkritkan langkah-langkah avant garde dari Dr. Muslim
Abdurrahman. Pada sejatinya keduanya lah yang memulai melakukan langkah-langkah
ekstensifikasi gerakan Muhammadiyah sehingga merambah dunia buruh, tani, dan
nelayan, bidang yang selama ini berada di luar mainstrem gerakan Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang biasanya dikenal lebih menekuni bidang pendidikan, kesehatan,
dan sosial, di tangan Pak Said dan Mas Muslim mulai merambah dunia petani,
buruh dan nelayan.
Pejuang mainstream
baru
Dalam sepanjang
aktivismenya Said Tuhuleley menunjukkan dirinya sebgai seorang yang sangat
peduli dengan rakyat miskin dan kaum dhuafa. Dan dia sangat konsisten dengan
ideologi itu. Dalam kesempatan Semiloka di Universitas Muhammadiyah Surakarta (2011)
yang diikuti oleh MPM Wilayah dan Daerah se-Indonesia yang dibentuknya dan
Lembaga Pengabdian Masyarakat PTM se-Indonesia pula, Said Tuhuleley menyatakan
ketidakterimaannya bahwa 60% penduduk Indonesia yang bekerja pada sektor
pertanian, peternakan, dan perikanan adalah miskin. Padahal mayoritas penduduk
Indonesia memiliki mata pencaharian di sektor ini. Menurut pengamatannya pertanian
rakyat, seperti tanaman pangan misalnya, telah mengalami leveliing-off: pertanian dan masyarakat tani telah
mengalami proses pemiskinan sistemik dan masif sehingga berapa pun input yang diberikan,
produksi padi petani tidak bertambah. Hal ini ditambah dengan seringnya terjadi
perubahan musim yang tak menentu, bencana alam, dan faktor-faktor lainnya, mengakibatkan
seringnya terjadi kegagalan panen yang tambah merugikan para petani.
Berbeda dengan
di Jepang, misalnya, petani dan buruh tani di Indonesia juga tidak memiliki
posisi tawar yang baik, bahkan posisi tawarnya sangat rendah. Maka tidak
mengherankan apabila perhatian pemerintah sangat kecil terhadap petani, buruh,
dan nelayan. Bahkan banyak sekali kebijakan pemerintah yang langsung maupun
tidak langsung merugikan mereka. Oleh karenanya, dalam pandangan Said
Tuhuleley, MPM perlu memberikan
perhatian lebih serius pada advokasi kebijakan publik yang tidak sensitif dan
akomodatif terhadap kehidupan rakyat miskin yang semakin terpinggirkan ini.
Dengan upaya-upaya yang serius, sistematis, dan berkesinambungan ini,
diharapkan kapasitas, daya saing, posisi tawar, dan intensitas pemberdayaan
terhadap masyarakat golongan ini dapat diangkat dan ditingkatkan.
Sebagai ketua
MPM dua periode baca: satu dasawarsa), Pak Said benar-benar intensif dan total
menggeluti kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks gerakan
Muhammadiyah sebelumnya bidang ini –mungkin agak dramatis dan tidak terlalu
tepat-- bisa disebut non-mainstream
atau bukan kelompok bidang yang menjadi arus utama. Pak Said berambisi besar
menjadikan bidang yang non-mainstream ini hadir menjadi pembeda bagi gerkan
Muhammadiyah abad pertama dan Muhammadiyah abad kedua. Maka menjelang memasuki
abad yang kedua Muhammadiyah perlu merambah dan melakukan ekstensifikasi
kegiatan ke bidang yang relatif baru bagi Muhammadiyah ini. Bersama trio-putra
Saparua lainnya (Dr. Syafii Latuconsina pakar dan praktisi pertanian organik
serta Iqbal Tuasikal, praktisi koperasi), Said Tuhuleley dengan MPM-nya berjalan
berkeliling mengunjungi daerah-daerah dan cabang-cabang membimbing petani,
buruh, dan nelayan untuk diberbadayakan.
Dengan dana
Lazismu (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Shadaqah Muhammadiyah), sebuah lembaga
filantropi Muhammadiyah yang juga relatif baru, Pak Said menjadi semakin
keranjingan dengan program-program pemberdayaan masyarakat. Dia membina petani-petani
di Kokoda (Kabupaten Sorong, Papua Barat), petani Kakao di Sumatera Barat,
nelayan di danau Maninjau (Sumatera
Barat), petani di Sidoarjo, Karanganyar, Klaten, Kebumen, Ambon, Sulawesi
Selatan, bahkan Aceh, dan daerah-daerah pelosok Indonesia. Selaku Ketua Lazismu
Muhammadiyah saya kewalahan mengikuti aktivitas Pak Said yang sangat tinggi sehingga
hanya mampu menyertainya pada saat-saat panen raya, itupun sebagian kecil saja.
Bachtiar Kurniawan, sekretaris MPM yang masih sangat muda belia itu pun
menyatakan kewalahannya mengikuti irama Pak Said dalam bekerja. Tapi dia sangat
beruntung berkesempatan untuk belajar banyak hal dari Said Tuhuleley selama
melayaninya bekerja memberdayakan kaum dhuafa dengan penuh keikhlasan melalui
MPM.
Intelektul
sekaligus aktivis
Tidak syak lagi
Said bukan hanya seorang pekerja (man of action), tetapi juga sekaligus
intelektual (man of reflection). Di dalam dirinya tercermin ativisme
sekaligus intelektualisme. Dan dia memang bisa memadukan keduanya itu, aktivisme
dan intelektualisme, dengan sangat baik dan serasi: dia adalah aktivis dan
intelektual yang par excellence. Seluruh program pemberdayaan masyarakat
yang dilakukannya didasarkan pada -dan ditopang dengan- ilmu pengetahuan yang secara
konseptual memadai sehingga selalu memiliki nilai-nilai strategis yang tinggi,
terutama jika diletakkan dalam konteks kerja pemberdayaan masyarakat dan
kerja-kerja kemanusiaan.
Sebagai
intelektual yang bergerak bukan hanya di tataran praksis, Pak Said menulis banyak
buku, di antaranya Masa Depan Kemanusiaan (2003) setebal 215 halaman bersama
Adde Marup WS dan Haedar Nashir; Pendidikan: kemerdekaan diri, dan hak si miskin untuk bersekolah (Pusat
Studi Muhammadiyah, 2005 - 184 halaman); Permasalahan abad
XXI: sebuah agenda: kumpulan karangan
(SIPRESS, 1993 - 202 halaman); Profile Anggota Muhammadiyah,
dan banyak artikel ilmiah tentang pemberdayaan masyarakat. Tulisan-tulisannya
sangat bbanyak dan artikulatif mengingat dia juga menjadi Pemimpin Umum dan
Pemimpin Redaksi Jurna Ilmiah Inovasi yang diterbitkan oleh Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Benang merah
pemikiran Said Tuhuleley, sebagaimana tampak dari tulisan-tulisannya tersebut, adalah
bahwa dalam masyarakat yang pluralistik tak ada kemungkinan untuk mengembangkan
sebuah etos kemanusiaan bersama kecuali atas dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab. Cita-cita humanistik tersebut tidak menjauhkan dari ketuhanan,
meskipun dari sejarah humanisme, kita tahu bahwa humanisme memang dipergunakan
untuk menjauhkan manusia dari agama. Tetapi baginya tidak ada alasan mengapa
kemanusiaan dilepaskan oleh orang-orang beragama kepada orang-orang tidak
beragama. Baginya kerja kemanusiaan adalah bagian integral dari kerja
keagamaan.
Itulah sebabnya
mengapa Said sangat membuncah hatinya ketika gerakan Muhammadiyah dengan penuh antusiasme merambah
ke dunia pertanian dan nelayan. Baginya kegiatan-kegiatan pemberdayaan
masyarakat petani dan nelayan merupakan implementasi dari kan apa yang dikenal
dengan Teologi Al-Ma’un yang juga dirumuskan dan dielaborasi oleh Dr. Muslim
Abdurrahman dari ajaran KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, atau gagasan Tauhid Sosial yang dilontarkan oleh Prof Dr
Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah (1995-2000), dan Islam Berkemadjoean
KH Ahmad Dahlan yang direinterpretasikan dan direaktualisasik oleh Dr. Din
Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah (2005-2010 dan 2010-2015) dalam gerakan
pencerahan peradaban atau tanwir itu. Dalam konteks dan perspektif ini tidak
berlebihan lah manakala saya menyatakan dengan tegas bahwa Said Tuhuleley
adalah kekuatan operasional dari gagasan-gagasan Teologi al-Ma’un, Tauhid
Sosial, dan Islam Berkemajoean itu.
Berkat
pemikiran-pemikirannya yang mendalam (reflektif) dan membumi (praksis), serta aktifitas
nyata yang total melalui MPM PP Muhammadiyah itu, Said Tuhuleley dianugerahi penghargaan
Doctor Honoris Causa (H.C.) dalam bidang Pemberdayaan Masyarakat oleh
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Dia berhasil secara gemilang mendorong dan menggerakkan
Muhammadiyah untuk mulai merambah dalam bidang pemberdayaan masyarakat dhuafa
yang memerlukan bantuan dan sentuhan perhatian. Prof Malik Fadjar selaku Promotor
dan Prof. Dr. Ishomuddin, MS, sebagai Co-Promotor, telah dengan tepat menilai bahwa
Said Tuhuleley adalah tokoh Muhammadiyah, umat, dan bangsa yang telah terbukti mengembangkan
ilmu pengetahuan dan konsisten mengamalkannya untuk masyarakat dan kemanusiaan dengan
penuh dedikasi. Ilmu tanpa amal adalah laksana pohon yang tidak berbuah, dan
amal tanpa ilmu akan kehilangan konteks sosial dan historisnya.
Muhammadiyah
dan bangsa ini beruntung mendapatkan kader dengan kualifikasi seperti dirinya. Kini
beliau telah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Hidupnya sepanjang lebih
dari enam dasawarsa itu tidak sia-sia. Ilmu dan pengalaman yang ditinggalkannya
menjadi warisan dan amal jariyah yang sungguh sangat berharga bagi kerja-kerja
kemanusian generasi-generasi baru berikutnya sebagai pelanjut estafeta
perjuangan selanjutnya. Semoga Allah SWT menerima ibadah dan amal jariyahnya. Allahummaghfirlahu
warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Selamat jalan, DR (HC) Said Tuhuleley, MM!
-H-
Hajriyanto Y.
Thohari, Ketua Badan Pengurus LAZISMU PP Muhammadiyah dan mantan Wakil Ketua MPR
RI (2009-2014). (Tulisan ini dimuat di harian Republika, edisi Sabtu, 13 Juni
2015).