Sunday, January 11, 2015

Simpul Aktivis-Pemikir Muhammadiyah



 Pradana Boy ZTF

AWAL dasawarsa 2000an, merupakan sebuah era penting bagi sejarah pemikiran Islam di Muhammadiyah. Itu setidaknya ditandai dengan kelahiran dua lembaga pemikiran yang sebagian besar dimotori aktivis-pemikir muda, yakni Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dan Ma’arif Institute for Culture and Humanity. Lembaga yang disebut pertama belakangan sudah jarang terdengar, sementara yang kedua semakin aktif dan berkembang dengan segala macam variasi aktivitas yang bermuara pada penyebaran gagasan Islam yang inklusif, memihak dan partisipatoris.
Perkenalan saya dengan Maarif Institute bermula pada tahun 2003, ketika gagasan menghimpun potensi intelektual yang berserak di kalangan generasi muda Muhammadiyah mengkristal. Ada fakta yang tak bisa ditutup-tutupi bahwa di sejumlah tempat di Indonesia, terdapat elemen generasi muda Muhammadiyah yang mengabdikan diri pada dunia olah fikir dan kemasyarakatan. Secara tak disadari pula berbagai elemen ini sesungguhnya memiliki kesamaan cita-cita: menghimpun potensi berserak tersebut. Tapi dari mana hendak dimulai dan oleh siapa?
Pada situasi seperti inilah, Maarif Institute memainkan perannya. Maarif Institute menjadi titik simpul berhimpun. Kristalisasi gagasan itu pada akhirnya mewujud dalam kelahiran sebuah jejaring aktivis kultural anak muda Muhammadiyah yang kemudian dikenal sebagai Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Keduanya lalu menjadi dua entitas yang tak terpisahkan dan saling menguatkan, bahkan jika diibaratkan Maarif Institute adalah bidan yang menangani kelahiran JIMM.
Maka gagasan “menghimpun potensi berserak” itupun mendapatkan momentumnya. Maarif Institute dan JIMM lalu benar-benar menjadi simpul pengembangan dan pematangan gagasan di kalangan aktivis dan pemikir muda Muhammadiyah. Di sinilah untuk pertama kali saya bertemu dengan Dr. Moeslim Abdurrahman (1948-2012), yang selama masa pendidikan sarjana saya, hanya saya kenal lewat buku atau media massa. Pada tahun 1996, sebagai mahasiswa tingkat sarjana di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, saya membaca sebuah jurnal terbitan fakultas di mana saya belajar, Ulumuddin nama jurnal itu. Jurnal itu memuat wawancara dengan Dr. Moeslim Abdurrahman. Saya menikmati wawancara itu dan menemukannya sebagai sebuah refleksi intelektual yang memantik pemikiran lebih dalam. Sejak saat itulah, saya semakin mengakrabi gagasan-gagasan Kang Moeslim.
Maka pertemuan secara fisik dan pribadi dengan Kang Moeslim di Maarif Institute pada tahun 2003 memang menjadi titik penting bagi petualangan intelektual saya. Melalui Maarif Institute dan JIMM pulalah, saya mengenal secara lebih dekat nama besar lainnya, Prof Ahmad Syafii Maarif yang lebih akrab dengan panggilan Buya Syafii.
Buya Syafii tak hanya memberikan dukungan moral kepada JIMM tatkala jejaring ini menebar kontroversi, lalu menuai kecaman dan penolakan dari berbagai kalangan di Muhammadiyah. Tetapi Buya Syafii dengan caranya sendiri juga secara cermat mengikuti perkembangan individual aktivis-pemikir muda Muhammadiyah ini. Itu yang saya rasakan tatkala di awal 2004, saya tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon dari Kang Moeslim. Ia mengabarkan bahwa Buya Syafii membaca sebuah artikel saya tentang hermeneutika di Harian Republika dan menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi atasnya.
Tak hanya itu, arti penting Maarif Institute sebagai titik simpul adalah karena di sinilah untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan tokoh-tokoh muda Muhammadiyah yang saat itu telah mapan sebagai intelektual publik seperti Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawy, Ahmad Najib Burhani, dan Hilman Latief. Atau nama-nama lainnya yang saat itu tengah beranjak menapaki karier intelektual publik dan sekarang telah banyak mewarnai belantara pemikiran Islam dan sosial di tanah air seperti Ahmad Fuad Fanani, Andar Nubowo, Fajar Riza ul-Haq, David Krisna Alka, dan Hilaly Basya.
Melalui Maarif Institute dan JIMM, Kang Moeslim menjadi mentor intelektual yang tangguh bagi banyak aktivis-pemikir muda Muhammadiyah. Ia adalah seorang pedagog ulung. Kang Moeslim mengajarkan banyak hal, tanpa kami merasa diajari. Ia mengajar secara transformatif. Gagasan transformasi yang ia kembangkan, tak hanya berhenti pada teori. Ia membimbing kami dalam totalitas: waktu, ilmu, raga, materi. Maka mustahil memisahkan nama Moeslim Abdurrahman dari geliat kebangkitan intelektual muda di Muhammadiyah setidaknya dalam satu dekade terakhir ini.
Kang Moeslim pernah berujar tentang Cak Nur, yang ia sejajarkan dengan Kiai Ahmad Dahlan. Menurut Kang Moeslim, keduanya adalah contoh orang-orang yang memiliki kemampuan “nubuwah” atau kenabian. Yakni, kemampuan membaca tanda-tanda zaman, dan melalui pembacaan itu lalu merumuskan postulat-postulat perubahan sosial pada masanya. Kedua orang ini, kata Kang Moeslim, adalah contoh aktivis-pemikir yang berhasil menemukan kunci-kunci hermeneutika sosial pada zamannya.
Meskipun tak pernah mengakuinya, sesungguhnya Kang Moeslim pun telah menemukan kunci-kunci hermeneutika dalam membaca masyarakat Islam. Istilah seperti “dosa sosial”, “kemunkaran sosial”, dan “yatim sosial” adalah di antara kunci-kunci hermeneutis yang diwariskan Kang Moeslim kepada dunia intelektual Indonesia. Segaris dengan itu, maka Kang Moeslim tak pernah bosan berpetuah agar kami berjuang menjadi “nabi-nabi sosial” baru untuk perbaikan masyarakat. “Tetapi menjadi nabi tidaklah mudah,” begitu kata Kang Moeslim. Harus ada di antara kalian, kata Kang Moeslim, yang belajar bersungguh-sungguh, “bertapa” secara serius untuk mengasah kemampuan nubuwah itu. Tentu tidak dalam arti kenabian sebagaimana kita fahami secara teologis.
Maarif Institute dan JIMM adalah dua simpul kepada siapa kita bisa bergantung untuk lahirnya “nabi-nabi” yang mampu memecahkan kunci-kunci hermeneutis sosial baru pada setiap zaman. Itu menjadi mutlak adanya, karena dari situlah perubahan sosial bermula.

Pradana Boy ZTF, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kandidat doktor sosiologi hukum Islam di National University of Singapore (NUS).

http://jimm-indonesia.org/

No comments:

Post a Comment