Saturday, January 31, 2015

Nalar Islam NU vs Muhammadiyah

Rabu, 14 Januari 2015

Oleh Aziz Ahmad

Pengantar
Sulitnya mendapatkan buku Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan Nahdhatul Ulama menjadi tantangan tersendiri dalam menyusun tulisan sederhana ini. Untungnya, Saya mendapati sebuah artikel yang cukup menarik karangan Najib Burhani, intelektual muda Muhammadiyah, yang dituangkan majalah Suara Muhammadiyah edisi Januari 2012. Di dalam tulisanya itu Burhani memberikan tantangan kepada generasi Muda Muhammadiyah untuk bangkit dalam merumuskan nalar Muhammadiyah sebagaimana yang telah dan terus dilakukan oleh intelektual muda NU.

Dalam tulisan ini Saya banyak mengambil inspirasi dari buku Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan yang ditulis oleh Abdul Munir Mulkhan. Salah satu tema yang menarik dalam buku yang disusun guna memperingati satu abad kelahiran Muhammadiyah itu adalah mengenai Muhammadiyah sebagai gerakan protestanisme Islam. Mulkhan memberikan analisis yang cukup bagus dalam melihat Muhammadiyah sebagaimana yang dilakukan Max Weber dalam melihat Calvinis, salah satu kelompok Kristen di Barat. Saya kemudian berasumsi bahwa setidaknya apa yang ditulis oleh Mulkhan itulah nalar Islam yang digunakan oleh Muhammadiyah selama ini.
Nalar Islam NU vs Muhammadiyah
Dalam esainya yang berjudul Kritik Nalar Muhammadiyah: Pertanyaan dan Tantangan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah, Najib Burhani memberikan ulasan yang menarik tentang angkatan Muda NU yang lebih progresif dalam bidang pemikiran dibandingkan dengan saudaranya, Muhammadiyah. Angkatan muda NU, kata Burhani, dengan penuh percaya diri menyebut diri mereka sebagai Post-Tradisionalis, suatu gerakan pemikiran yang berani melakukan auto kritik terhadap NU sebagaimana yang dilakukan Ahmad Baso dalam NU Studies-nya. Burhani memberikan beberapa alasan kenapa angkatan muda NU mendapatkan kepercayaan diri tersebut:
Pertama, mereka, generasi muda NU, lebih menggandrungi madzhab kritis yang berkembang di Perancis sebagai perlawanan terhadap pemikiran Anglo-Saxon di Amerika. Angkatan muda NU lebih menyukai perdebatan pemikiran dan filsafat daripada pemikiran Anglo-Saxon yang positivis dan formalis. Mereka juga menekankan pada pentingnya realitas empiris baru kemudian dipadukan dengan teks. Sementara di Muhammadiyah lebih dipengaruhi oleh gaya berpikir Weberian yang menekankan pentingnya ide dan teks baru kemudian diterjemahkan ke realitas empiris.
Kedua, kalangan muda NU menemukan piranti baru untuk membaca tradisi secara kritis seperti yang diusulkan Al-Jabiri dan Hasan Hanafi. Dengan piranti itu mereka meyakini bahwa untuk maju tidak harus meninggalkan tradisi, tapi justru berangkat dari tradisi itu.
Ketiga, kepeloporan dan kepemimpinan Gus Dur merupakan hal yang tidak dapat dinafikkan. Dari pemikiran Gus Dur ini mereka kemudian mendengungkan istilah-istilah seperti pribumisasi Islam, Islam Nusantara, dan Islam Indonesia.
Protesnamisme Islam ala Muhammadiyah  
Menurut Mulkhan, gerakan reformasi keagamaan yang dicanangkan Muhammadiyah, pada tingkat tertentu, memiliki kemiripan dengan Reformasi Protestan di Eropa. Beberapa prinsip-prinsip dasar dari kedua gerakan ini yang menjadikan Saya berasumsi bahwa hal itulah yang menjadi dasar nalar Islam Muhammadiyah. Beberapa prinsip tersebut yaitu:
Pertama, Muhammadiyah mengajarkan tentang pentingnya skripturalisme dengan slogannya “kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah.” Dengan demikian, Al-Quran dan As-Sunnah diletakkan sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi.
Kedua, tidak adanya sistem perantara antara hamba dan Allah. Karena Muhammadiyah muncul di lingkungan budaya Jawa yang sinkretik, maka sistem reformasinya dapat dilihat dari usaha purifikasi Islam dari unsur magis atau yang lebih dikenal dengan TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat).
Ketiga, mendasarkan kehidupan pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern. Hal ini dapat dilihat dari konsep tasawuf modern yang dikembangkan oleh Hamka.
Keempat, spirit rasional diyakini sebagai sumber kemajuan. Untuk itu, Muhammadiyah memandang sikap taqlid sebagai sumber kemunduran/kemandegan dan harus diganti dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihad).
Di samping beberapa point di atas, secara umum buku karya Abdul munir Mulkan tersebut mencoba untuk menemukan kembali substansi ajaran Muhammadiyah sebagaimana yang digagas oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Beberapa hal yang Saya dapatkan dari buku itu antara lain spirit Surat Al-Ma’un dan Ali Imron 104 sebagai inspirasi gerakan Muhammadiyah. Dari Al-Ma’un kemudian lahirlah kegiatan dalam bidang sosial kemasyarakatan seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan amal kerja Muhammadiyah lainnya. Selain itu, Ahmad Dahlan, jika dibaca dengan kondisi sosial-budaya yang melingkupinya, merupakan pelopor Islam liberal di Indonesia. Beberapa upaya yang dilakukannya merupakan sesuatu yang ganjil bagi masyarakat luas pada saat itu.
Saat ini, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam terbesar yang terorganisir secara modern dengan unit kegiatan yang tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia. Adapun kecenderungan Muhammadiyah ke arah Wahabisme dan puritan, Menurut Mulkhan, dimulai sejak tahun 1927, seiring masuknya para lulusan Timur Tengah ke dalam organisasi ini. Pasca Muktamar 2005, sebagian besar anggota Muhammadiyah yang telah disusupi paham-paham impor dari Timur Tengah membentuk organisasi baru seperti PKS, Majlis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Front Pembela Islam. Lahirnya organisasi tersebut lantaran mereka kecewa dengan PAN yang tidak menunjukkan gaungnya pada Pemilu 2004.
Pendapat Mulkhan di atas, khususnya terkait dengan kemunculan ormas-ormas Islam tersebut agak berbeda dengan pemahaman Saya selama ini. Yang saya tahu adalah bahwa maraknya ormas Islam beraliran Wahabi akhir-akhir ini sebenarnya sudah bercokol di Indonesia sejak era 1980-an. Hanya saja mereka tidak menunjukkan taringnya lantara sikap represif pemerintah Orde Baru kala itu. Setelah Suharto lengser, maka ormas-ormas tersebut berani tampil di permukaan. Mungkin saja, menurut Saya, selama masa Orde Baru para anggota ormas-ormas itu juga tercatat sebagai anggota Muhammadiyah. Muhammadiyah dijadikan sebagai tempat persembunyian mereka sekaligus menyebarkan paham salafi-wahabi ke dalam tubuh Muhammadiyah.

Dengan begitu, maka gerakan Protestanisme Islam ala Muhammadiyah saat ini lebih ke arah akidah karena kuatnya pengaruh Wahabi di dalamnya. Dalam bidang pemikiran, Muhammadiyah, khususnya generasi mudanya, masih tertinggal dari saudaranya, NU. Hanya dengan kembali ke semangat awal Muhammadiyah sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan-lah ormas ini akan menemukan jalan terbaiknya dalam merumuskan nalar Islamnya.
Waallahu a’lam
Sumber bacaan
Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan kemasyarakatan Kiai Ahmad Dahlan. Jakarta: Kompas Gramedia. 2010.
Najib Burhani “Kritik Nalar Muhammadiyah: Pertanyaan dan Tantangan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah” dalam Suara Muhammadiyah 21 Januari 2012.


Retrieved from: http://kajianpena.blogspot.com/2015/01/nalar-islam-nu-vs-muhammadiyah.html#more

No comments:

Post a Comment