Rabu, 14 Januari 2015
Oleh Aziz Ahmad
Dengan begitu, maka gerakan Protestanisme Islam ala Muhammadiyah saat ini lebih ke arah akidah karena kuatnya pengaruh Wahabi di dalamnya. Dalam bidang pemikiran, Muhammadiyah, khususnya generasi mudanya, masih tertinggal dari saudaranya, NU. Hanya dengan kembali ke semangat awal Muhammadiyah sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan-lah ormas ini akan menemukan jalan terbaiknya dalam merumuskan nalar Islamnya.
Retrieved from: http://kajianpena.blogspot.com/2015/01/nalar-islam-nu-vs-muhammadiyah.html#more
Oleh Aziz Ahmad
Pengantar
Sulitnya
mendapatkan buku Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah,
Al-Irsyad, Persis, dan Nahdhatul Ulama menjadi tantangan tersendiri dalam menyusun
tulisan sederhana ini. Untungnya, Saya mendapati sebuah artikel yang cukup
menarik karangan Najib Burhani, intelektual muda Muhammadiyah, yang dituangkan
majalah Suara Muhammadiyah edisi Januari 2012. Di dalam tulisanya itu Burhani
memberikan tantangan kepada generasi Muda Muhammadiyah untuk bangkit dalam merumuskan
nalar Muhammadiyah sebagaimana yang telah dan terus dilakukan oleh intelektual
muda NU.
Dalam tulisan ini Saya
banyak mengambil inspirasi dari buku Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan
yang ditulis oleh Abdul Munir Mulkhan. Salah satu tema yang menarik dalam buku yang
disusun guna memperingati satu abad kelahiran Muhammadiyah itu adalah mengenai
Muhammadiyah sebagai gerakan protestanisme Islam. Mulkhan memberikan analisis
yang cukup bagus dalam melihat Muhammadiyah sebagaimana yang dilakukan Max
Weber dalam melihat Calvinis, salah satu kelompok Kristen di Barat. Saya
kemudian berasumsi bahwa setidaknya apa yang ditulis oleh Mulkhan itulah nalar
Islam yang digunakan oleh Muhammadiyah selama ini.
Nalar Islam NU vs Muhammadiyah
Dalam esainya yang berjudul Kritik Nalar Muhammadiyah:
Pertanyaan dan Tantangan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah, Najib Burhani
memberikan ulasan yang menarik tentang angkatan Muda NU yang lebih progresif
dalam bidang pemikiran dibandingkan dengan saudaranya, Muhammadiyah. Angkatan muda
NU, kata Burhani, dengan penuh percaya diri menyebut diri mereka sebagai
Post-Tradisionalis, suatu gerakan pemikiran yang berani melakukan auto kritik
terhadap NU sebagaimana yang dilakukan Ahmad Baso dalam NU Studies-nya.
Burhani memberikan beberapa alasan kenapa angkatan muda NU mendapatkan
kepercayaan diri tersebut:
Pertama, mereka,
generasi muda NU, lebih menggandrungi madzhab kritis yang berkembang di Perancis
sebagai perlawanan terhadap pemikiran Anglo-Saxon di Amerika. Angkatan muda NU
lebih menyukai perdebatan pemikiran dan filsafat daripada pemikiran Anglo-Saxon
yang positivis dan formalis. Mereka juga menekankan pada pentingnya realitas
empiris baru kemudian dipadukan dengan teks. Sementara di Muhammadiyah lebih
dipengaruhi oleh gaya berpikir Weberian yang menekankan pentingnya ide dan teks
baru kemudian diterjemahkan ke realitas empiris.
Kedua, kalangan
muda NU menemukan piranti baru untuk membaca tradisi secara kritis seperti yang
diusulkan Al-Jabiri dan Hasan Hanafi. Dengan piranti itu mereka meyakini bahwa
untuk maju tidak harus meninggalkan tradisi, tapi justru berangkat dari tradisi
itu.
Ketiga,
kepeloporan dan kepemimpinan Gus Dur merupakan hal yang tidak dapat dinafikkan.
Dari pemikiran Gus Dur ini mereka kemudian mendengungkan istilah-istilah
seperti pribumisasi Islam, Islam Nusantara, dan Islam Indonesia.
Protesnamisme Islam ala Muhammadiyah
Menurut Mulkhan, gerakan reformasi keagamaan yang dicanangkan
Muhammadiyah, pada tingkat tertentu, memiliki kemiripan dengan Reformasi
Protestan di Eropa. Beberapa prinsip-prinsip dasar dari kedua gerakan ini yang
menjadikan Saya berasumsi bahwa hal itulah yang menjadi dasar nalar Islam
Muhammadiyah. Beberapa prinsip tersebut yaitu:
Pertama,
Muhammadiyah mengajarkan tentang pentingnya skripturalisme dengan slogannya
“kembali ke Al-Quran dan As-Sunnah.” Dengan demikian, Al-Quran dan As-Sunnah
diletakkan sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi.
Kedua, tidak
adanya sistem perantara antara hamba dan Allah. Karena Muhammadiyah muncul di
lingkungan budaya Jawa yang sinkretik, maka sistem reformasinya dapat dilihat
dari usaha purifikasi Islam dari unsur magis atau yang lebih dikenal dengan TBC
(takhayul, bid’ah, dan khurafat).
Ketiga,
mendasarkan kehidupan pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di
dunia modern. Hal ini dapat dilihat dari konsep tasawuf modern yang dikembangkan
oleh Hamka.
Keempat, spirit
rasional diyakini sebagai sumber kemajuan. Untuk itu, Muhammadiyah memandang
sikap taqlid sebagai sumber kemunduran/kemandegan dan harus diganti dengan
tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihad).
Di samping beberapa point di atas, secara umum buku karya Abdul
munir Mulkan tersebut mencoba untuk menemukan kembali substansi ajaran
Muhammadiyah sebagaimana yang digagas oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan.
Beberapa hal yang Saya dapatkan dari buku itu antara lain spirit Surat Al-Ma’un
dan Ali Imron 104 sebagai inspirasi gerakan Muhammadiyah. Dari Al-Ma’un
kemudian lahirlah kegiatan dalam bidang sosial kemasyarakatan seperti
mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan amal kerja Muhammadiyah
lainnya. Selain itu, Ahmad Dahlan, jika dibaca dengan kondisi sosial-budaya
yang melingkupinya, merupakan pelopor Islam liberal di Indonesia. Beberapa
upaya yang dilakukannya merupakan sesuatu yang ganjil bagi masyarakat luas pada
saat itu.
Saat ini, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam terbesar
yang terorganisir secara modern dengan unit kegiatan yang tersebar merata di
seluruh kepulauan Indonesia. Adapun kecenderungan Muhammadiyah ke arah
Wahabisme dan puritan, Menurut Mulkhan, dimulai sejak tahun 1927, seiring masuknya
para lulusan Timur Tengah ke dalam organisasi ini. Pasca Muktamar 2005,
sebagian besar anggota Muhammadiyah yang telah disusupi paham-paham impor dari
Timur Tengah membentuk organisasi baru seperti PKS, Majlis Mujahidin Indonesia,
Hizbut Tahrir Indonesia, dan Front Pembela Islam. Lahirnya organisasi tersebut
lantaran mereka kecewa dengan PAN yang tidak menunjukkan gaungnya pada Pemilu
2004.
Pendapat Mulkhan
di atas, khususnya terkait dengan kemunculan ormas-ormas Islam tersebut agak
berbeda dengan pemahaman Saya selama ini. Yang saya tahu adalah bahwa maraknya
ormas Islam beraliran Wahabi akhir-akhir ini sebenarnya sudah bercokol di
Indonesia sejak era 1980-an. Hanya saja mereka tidak menunjukkan taringnya
lantara sikap represif pemerintah Orde Baru kala itu. Setelah Suharto lengser,
maka ormas-ormas tersebut berani tampil di permukaan. Mungkin saja, menurut
Saya, selama masa Orde Baru para anggota ormas-ormas itu juga tercatat sebagai
anggota Muhammadiyah. Muhammadiyah dijadikan sebagai tempat persembunyian mereka
sekaligus menyebarkan paham salafi-wahabi ke dalam tubuh Muhammadiyah.
Dengan begitu, maka gerakan Protestanisme Islam ala Muhammadiyah saat ini lebih ke arah akidah karena kuatnya pengaruh Wahabi di dalamnya. Dalam bidang pemikiran, Muhammadiyah, khususnya generasi mudanya, masih tertinggal dari saudaranya, NU. Hanya dengan kembali ke semangat awal Muhammadiyah sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan-lah ormas ini akan menemukan jalan terbaiknya dalam merumuskan nalar Islamnya.
Waallahu a’lam
Sumber bacaan
Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan kemasyarakatan
Kiai Ahmad Dahlan. Jakarta: Kompas Gramedia. 2010.
Najib Burhani “Kritik Nalar Muhammadiyah: Pertanyaan dan
Tantangan untuk Angkatan Muda Muhammadiyah” dalam Suara Muhammadiyah 21
Januari 2012.
Retrieved from: http://kajianpena.blogspot.com/2015/01/nalar-islam-nu-vs-muhammadiyah.html#more