Sinar Harapan, 30 Mei 2014
Jeffrie Geovanie
Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah tetap jadi tenda besar, tempat bernaung semua golong
Dalam acara tanwir (permusyawaratan tertinggi setelah muktamar) Muhammadiyah yang digelar di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini, dua calon presiden (capres), Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama diberi kesempatan menyampaikan visi dan misi di hadapan peserta yang terdiri atas pemimpin Muhammadiyah dan organisasi otonom tingkat pusat serta pemimpin wilayah (provinsi) dari seluruh Indonesia.
Dengan mengundang kedua capres, Muhammadiyah ingin menunjukkan kepada publik, organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini berada di posisi netral. Artinya, secara organisasi Muhammadiyah tidak berpihak ke pasangan capres-calon wakil preside (cawapres) mana pun. Netralitas ini dituangkan secara tegas dalam keputusan (hasil) sidang tanwir.
Sebagai organisasi dakwah, Muhammadiyah sebenarnya mempunyai kepentingan untuk “memberi tahu” mana di antara kedua pasangan capres-cawapres yang dianggap lebih baik, setidaknya yang kejahatannya lebih sedikit. Tapi, jika hal itu dilakukan, Muhammadiyah akan dianggap partisan, tidak mengayomi semua golongan. Jadi, sikap netral menjadi pilihan yang tepat.
Muhammadiyah adalah organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang didasarkan kepada khitah yang menjadi salah satu pedoman dalam gerakan politiknya. Secara garis besar, khitah berarti kebijakan strategis.
Dalam kebijakan strategis ditegaskan, dalam menjalankan dakwahnya, Muhammadiyah mengambil dua saluran secara serentak, yakni saluran politik melalui partai politik dan saluran masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan. Karena diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo, khitah ini disebut “Khitah Ponorogo” (Syaifullah, 1997: 233-234).
Ada yang mengartikan khitah politik Muhammadiyah adalah politik etis atau yang sering disebut Amien Rais sebagai politik adiluhung (high politics). Tentu yang dimaksud bukan politik untuk meraih jabatan yang tinggi, tapi politik yang mengacu nilai-nilai luhur, tidak kepada politik praktis yang memburu jabatan-jabatan strategis.
Pada setiap kurun, khitah mengalami penyesuaian-penyesuaian redaksional yang dikorelasikan dengan kebutuhan-kebutuhan faktual. Meskipun demikian, prinsipnya tetap sama, Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, namun tidak alergi terhadap politik karena dalam strategi perjuangan Muhammadiyah, politik merupakan salah satu sarana berdakwah.
Karena fungsinya sebagai sarana berdakwah, perlu segera dicatat, netralitas Muhammadiyah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bukan berarti mendukung golput. Muhammadiyah tetap punya pilihan, namun itu diserahkan ke masing-masing individu. Anggota Muhammadiyah tidak dilarang mendukung pasangan capres-cawapres yang dikehendakinya.
Dengan demikin, netralitas politik Muhammadiyah bisa disebut netralitas aktif. Meskipun netral, tapi tetap aktif memberikan pencerahan kepada siapa pun yang meminta penjelasan, pandangan, dan pertimbangan untuk memilih siapa di antara kedua pasangan capres-cawapres yang dianggap lebih baik.
Pencerahan yang dimaksud biasanya dilakukan tokoh-tokohnya dengan cara isyarat-isyarat tertentu–baik melalui ucapan maupun tindakan—yang tidak terlalu sulit dibaca dan dipahami warga Muhammadiyah yang umumnya terdidik.
Menjelang pilpres kali ini misalnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin pernah menegaskan, Hatta Rajasa–cawapres yang mendampingi capres Prabowo—tidak mewakili Muhammadiyah. Penegasan ini untuk menjawab spekulasi bahwa calon yang diajukan Partai Amanat Nasional (PAN) dianggap identik dengan Muhammadiyah.
Meskipun lahir dari salah satu keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Sermarang pada 1998 dan didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, sebagai partai politik PAN tidak memiliki hubungan yang mengikat dengan Muhammadiyah. Selain karena ada rumusan khitah sebagaimana disebutkan di atas, hubungan Muhammadiyah dengan partai politik (termasuk PAN) lebih banyak dipengaruhi sikap para pemimpinnya.
Keharmonisan hubungan antara pemimpin Muhammadiyah dan pemimpin partai politik sedikit banyak memengaruhi ke arah mana kecenderungan umumnya dukungan warga Muhammadiyah.
Seperti pada partai politik, dukungan terhadap capres-cawapres juga akan memiliki pola yang relatif sama, sedikit banyak dipengaruhi hubungan pemimpin Muhammadiyah dengan pasangan capres-cawapres yang ada.
Jadi, jika ada pertanyaan, akan diarahkan ke mana dukungan warga Muhammadiyah pada pilpres? Jawabannya akan sangat tergantung siapa yang menjawab. Jawaban itu dianggap mewakili individu.
Jika ada yang mengklaim jawaban itu dengan mengatasnamakan organisasi, jelas merupakan kesalahan fatal karena melanggar khitah perjuangan Muhammadiyah.
Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah akan tetap menjadi tenda besar, tempat bernaung semua golongan, semua kepentingan, yang menjunjung etika agama dan moral politik yang benar. Mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik bukan bagian etika yang benar.
Karena saat kepentingan politik memasuki ranah agama, akan muncul pertikaian antargolongan dan antarkepentingan. Pesan-pesan moral agama yang santun dan menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘alamin) tergerus kepentingan politik praktis.
Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
http://sinarharapan.co/news/read/140530069/Netralitas-Politik-Muhammadiyah
Jeffrie Geovanie
Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah tetap jadi tenda besar, tempat bernaung semua golong
Dalam acara tanwir (permusyawaratan tertinggi setelah muktamar) Muhammadiyah yang digelar di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini, dua calon presiden (capres), Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama diberi kesempatan menyampaikan visi dan misi di hadapan peserta yang terdiri atas pemimpin Muhammadiyah dan organisasi otonom tingkat pusat serta pemimpin wilayah (provinsi) dari seluruh Indonesia.
Dengan mengundang kedua capres, Muhammadiyah ingin menunjukkan kepada publik, organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini berada di posisi netral. Artinya, secara organisasi Muhammadiyah tidak berpihak ke pasangan capres-calon wakil preside (cawapres) mana pun. Netralitas ini dituangkan secara tegas dalam keputusan (hasil) sidang tanwir.
Sebagai organisasi dakwah, Muhammadiyah sebenarnya mempunyai kepentingan untuk “memberi tahu” mana di antara kedua pasangan capres-cawapres yang dianggap lebih baik, setidaknya yang kejahatannya lebih sedikit. Tapi, jika hal itu dilakukan, Muhammadiyah akan dianggap partisan, tidak mengayomi semua golongan. Jadi, sikap netral menjadi pilihan yang tepat.
Muhammadiyah adalah organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang didasarkan kepada khitah yang menjadi salah satu pedoman dalam gerakan politiknya. Secara garis besar, khitah berarti kebijakan strategis.
Dalam kebijakan strategis ditegaskan, dalam menjalankan dakwahnya, Muhammadiyah mengambil dua saluran secara serentak, yakni saluran politik melalui partai politik dan saluran masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan. Karena diputuskan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo, khitah ini disebut “Khitah Ponorogo” (Syaifullah, 1997: 233-234).
Ada yang mengartikan khitah politik Muhammadiyah adalah politik etis atau yang sering disebut Amien Rais sebagai politik adiluhung (high politics). Tentu yang dimaksud bukan politik untuk meraih jabatan yang tinggi, tapi politik yang mengacu nilai-nilai luhur, tidak kepada politik praktis yang memburu jabatan-jabatan strategis.
Pada setiap kurun, khitah mengalami penyesuaian-penyesuaian redaksional yang dikorelasikan dengan kebutuhan-kebutuhan faktual. Meskipun demikian, prinsipnya tetap sama, Muhammadiyah tidak berpolitik praktis, namun tidak alergi terhadap politik karena dalam strategi perjuangan Muhammadiyah, politik merupakan salah satu sarana berdakwah.
Karena fungsinya sebagai sarana berdakwah, perlu segera dicatat, netralitas Muhammadiyah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bukan berarti mendukung golput. Muhammadiyah tetap punya pilihan, namun itu diserahkan ke masing-masing individu. Anggota Muhammadiyah tidak dilarang mendukung pasangan capres-cawapres yang dikehendakinya.
Dengan demikin, netralitas politik Muhammadiyah bisa disebut netralitas aktif. Meskipun netral, tapi tetap aktif memberikan pencerahan kepada siapa pun yang meminta penjelasan, pandangan, dan pertimbangan untuk memilih siapa di antara kedua pasangan capres-cawapres yang dianggap lebih baik.
Pencerahan yang dimaksud biasanya dilakukan tokoh-tokohnya dengan cara isyarat-isyarat tertentu–baik melalui ucapan maupun tindakan—yang tidak terlalu sulit dibaca dan dipahami warga Muhammadiyah yang umumnya terdidik.
Menjelang pilpres kali ini misalnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin pernah menegaskan, Hatta Rajasa–cawapres yang mendampingi capres Prabowo—tidak mewakili Muhammadiyah. Penegasan ini untuk menjawab spekulasi bahwa calon yang diajukan Partai Amanat Nasional (PAN) dianggap identik dengan Muhammadiyah.
Meskipun lahir dari salah satu keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Sermarang pada 1998 dan didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, sebagai partai politik PAN tidak memiliki hubungan yang mengikat dengan Muhammadiyah. Selain karena ada rumusan khitah sebagaimana disebutkan di atas, hubungan Muhammadiyah dengan partai politik (termasuk PAN) lebih banyak dipengaruhi sikap para pemimpinnya.
Keharmonisan hubungan antara pemimpin Muhammadiyah dan pemimpin partai politik sedikit banyak memengaruhi ke arah mana kecenderungan umumnya dukungan warga Muhammadiyah.
Seperti pada partai politik, dukungan terhadap capres-cawapres juga akan memiliki pola yang relatif sama, sedikit banyak dipengaruhi hubungan pemimpin Muhammadiyah dengan pasangan capres-cawapres yang ada.
Jadi, jika ada pertanyaan, akan diarahkan ke mana dukungan warga Muhammadiyah pada pilpres? Jawabannya akan sangat tergantung siapa yang menjawab. Jawaban itu dianggap mewakili individu.
Jika ada yang mengklaim jawaban itu dengan mengatasnamakan organisasi, jelas merupakan kesalahan fatal karena melanggar khitah perjuangan Muhammadiyah.
Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah akan tetap menjadi tenda besar, tempat bernaung semua golongan, semua kepentingan, yang menjunjung etika agama dan moral politik yang benar. Mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik bukan bagian etika yang benar.
Karena saat kepentingan politik memasuki ranah agama, akan muncul pertikaian antargolongan dan antarkepentingan. Pesan-pesan moral agama yang santun dan menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘alamin) tergerus kepentingan politik praktis.
Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
http://sinarharapan.co/news/read/140530069/Netralitas-Politik-Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment