Detiknews, Senin, 09/06/2014 19:43 WIB
Raja Juli Antoni
Tulisan Djoko Susilo, mantan anggota DPR RI dari Fraksi PAN, di Jawa Pos (27/5/2014) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Artikel yang bertajuk Kegamangan Politik Warga Muhammadiyah ini mempersoalkan keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah beberapa minggu lalu yang memutuskan netralitas Muhammadiyah pada pilpres 9 Juli nanti.
Sebenarnya artikel Djoko tidak memiliki basis analisa yang cukup untuk menyimpulkan bahwa warga Muhammadiyah gamang dalam mengambil keputusan politik. Namun tulisan tersebut berpotensi melahirkan 'sesat pikir' baik di kalangan internal maupun eksternal Muhammadiyah.
Djoko mengajukan dua bukti untuk menopang analisanya. Pertama, sikap ketua umum PP Pemuda Muhamadiyah, Saleh Daulay, yang secara terbuka mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Kedua, sikap Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah yang dianggap memiliki kepentingan pribadi yang dalam konteks pilpres 'memaksakan' sikap netral Muhammadiyah sebagai wujud ketidaksukaan politik (personal) terhadap Hatta Rajasa, ketua umum PAN yang juga besan presiden SBY. Secara implisit Djoko menganjurkan Muhammadiyah mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Secara historis Muhammadiyah memang pernah terlibat sebagai anggota istimewa Masyumi. Pengalaman 'pahit' berpolitik secara institusional pada era Masyumi acap digambarkan sebagai gangguan serius terhadap fokus Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan sosial. Sebagai bentuk 'pertobatan', Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang memutuskan dan menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Dakwah Islam yang begerak dalam bidang sosial-kemasyarakatan yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak memiliki afiliasi dengan partai politik dan organisasi apa pun.
"Khittah Ujung Pandang" ini diafirmasi oleh beberapa keputusan organisasi lainnya seperti keputusan Muktamar Muhammadiyah 1978 di Surabaya. Muktamar itu kembali memberikan kebebasan kepada anggota persyarikatan untuk bergabung dengan partai politik sebagai keputusan personal dan bukan institutional.
Sikap Saleh Daulay yang berusaha menyeret Pemuda Muhammadiyah secara organisatoris untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta tentu tidak bisa dijadikan alasan kegamangan politik Muhammadiyah. Nampaknya penghayatan Saleh terhadap prinsip-prinsip dasar ber-Muhammadiyah patut dipertanyakan.
Kedua, Muhammadiyah mempunyai tradisi leadership yang sudah mapan. Muhammadiyah menganut kepemimpinan kolektif dan kolegial. Dari Muktamar di tingkat nasional sampai Musyawarah Ranting di tingkat struktur kepemimpinan paling bawah, Muhammadiyah tidak pernah memilih ketua umum secara langsung.
Sebaliknya, permusyawaratan hanya memilih tiga belas orang formatur yang bertugas menentukan struktur kepemimpinan termasuk siapa yang menjadi ketua umum. Ketua umum dalam kepemimpinan kolektif-kolegial tidaklah memegang peran sentral seperti dalam tradisi kepemimpinan partai politik di Indonesia. Dalam konteks ini, menyimpulkan sikap netral Muhammadiyah pada pilpres sebagai 'permainan' Din Syamsuddin merupakan anggapan yang tidak tepat.
Tanwir di Samarinda justru mempertontonkan keteguhan politik Muhammadiyah dalam menjaga jarak yang sama dengan politik (politics disengagement). Intervensi dan lobi untuk mengarahkan peserta untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta, menurut banyak saksi mata, sangat terasa di arena sidang.
Tidak kurang tokoh sesenior Muhammad Amien Rais 'turun gunung' untuk mempengaruhi suasana Tanwir. Menurut salah seorang Ketua PP Muhammadiyah, Amien yang menjagokan Prabowo-Hatta, meminta para peserta untuk duduk ketika mereka secara spontan berdiri guna menghormati Jokowi sebagai tamu memasuki ruang sidang. Menurut beberapa saksi mata pula, setelah Jokowi berpidato, dalam riungan peserta Amien mengatakan bahwa pidato Jokowi layaknya seperti vis-misi calon bupati/walikota.
Sebaliknya, ketika Prabowo berada di ruang sidang, Amien berteriak 'Hidup Prabowo' dan kemudian mendadak seolah-olah menjadi dirigen yang memimpin lagu 'Prabowo Siapa yang Punya.” (Tempo 25/5/2014). Beberapa kawan yang berada di ruang sidang juga menyaksikan simpatisan Prabowo yang buka anggota Tanwir yang memulai teriakan takbir ketika Prabowo memasuki ruang sidang (Detik.com 24/5/2014).
Di sinilah bukti keteguhan ideologi Muhammadiyah menghadapi godaan politik murahan (low politics) sebagai lawan dari politik adiluhung (high politics) yang dianut Muhammadiyah. Setiap peserta Tanwir hampir dipastikan mempunyai preferensi politik tertentu. Tapi mereka tidak memaksakan untuk voting guna mendukung capres dambaan mereka. Tidak kurang, Hasyim Muzadi, mantan ketua Umum PB NU, mengapresiasi sikap netralitas Muhammadiyah dan berharap NU mencontoh keteguhan sikap poltik tersebut (Republika 25/5/2014).
Pilihan netral Muhammadiyah pada pilpres kali ini, selain menjalankan 'Khittah Perjuangan', juga memiliki dua kepentingan taktis-strategis jangka pendek.
Pertama, netralitas ini menjaga soliditas kader Muhammadiyah yang tersebar di berbagai partai politik yang memiliki pilihan capres masing-masing. Tidak kurang, misalkan, Imam Ad-Daruqutni dan Muhammad Izzul Muslimin, kedua-duanya mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah, tergabung dalam tim sukses resmi Jokowi-JK yang didaftarkan ke KPU. Pasti ada beberapa nama kader Muhammadiyah, selain Amien Rais, yang menjadi tim sukses resmi Prabowo-Hatta.
Survei LSI terbaru menunjukan Muhammadiyah memang bukan ormas yang monolitik. Menurut LSI, pada saat survei dilakukan, 27,44% anggota Muhammadiyah memilih Jokowi-JK, sebanyak 31,57% memilih Prabowo-Hatta dan 40,99% belum menjatuhkan pilihan (Detik.com 30/5/2014).
Kedua, sikap netralitas ini juga memungkin Muhammadiyah menjadi 'wasit moral' perlombaan pilpres yang semakin kehilangan spirit etisnya. Berbagai isu negatif mengenai agama, kehidupan pribadi (keberadan istri dan anak) serta sederet fitnah yang menyesakkan ruang publik perlu dikritisi. Dengan netralitasnya Muhammadiyah mestinya memiliki moral courage untuk mengembalikan proses pilpres mejadi proses demokrasi untuk melahirkan kepemimpinan berdasarkan visi-misi bukan fitnah dan gosip.
Selamat atas keteguhan sikap politik Muhammadiyah. I love you full!
*) Raja Juli Antoni adalah Mantan Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (2000-2002), Kandidat Doktor di School of Political Science and International RelationsThe University of Queensland, Australia
http://news.detik.com/read/2014/06/09/194319/2603511/103/1/keteguhan-politik-muhammadiyah
Raja Juli Antoni
Tulisan Djoko Susilo, mantan anggota DPR RI dari Fraksi PAN, di Jawa Pos (27/5/2014) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Artikel yang bertajuk Kegamangan Politik Warga Muhammadiyah ini mempersoalkan keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah beberapa minggu lalu yang memutuskan netralitas Muhammadiyah pada pilpres 9 Juli nanti.
Sebenarnya artikel Djoko tidak memiliki basis analisa yang cukup untuk menyimpulkan bahwa warga Muhammadiyah gamang dalam mengambil keputusan politik. Namun tulisan tersebut berpotensi melahirkan 'sesat pikir' baik di kalangan internal maupun eksternal Muhammadiyah.
Djoko mengajukan dua bukti untuk menopang analisanya. Pertama, sikap ketua umum PP Pemuda Muhamadiyah, Saleh Daulay, yang secara terbuka mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Kedua, sikap Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah yang dianggap memiliki kepentingan pribadi yang dalam konteks pilpres 'memaksakan' sikap netral Muhammadiyah sebagai wujud ketidaksukaan politik (personal) terhadap Hatta Rajasa, ketua umum PAN yang juga besan presiden SBY. Secara implisit Djoko menganjurkan Muhammadiyah mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Secara historis Muhammadiyah memang pernah terlibat sebagai anggota istimewa Masyumi. Pengalaman 'pahit' berpolitik secara institusional pada era Masyumi acap digambarkan sebagai gangguan serius terhadap fokus Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan sosial. Sebagai bentuk 'pertobatan', Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang memutuskan dan menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Dakwah Islam yang begerak dalam bidang sosial-kemasyarakatan yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak memiliki afiliasi dengan partai politik dan organisasi apa pun.
"Khittah Ujung Pandang" ini diafirmasi oleh beberapa keputusan organisasi lainnya seperti keputusan Muktamar Muhammadiyah 1978 di Surabaya. Muktamar itu kembali memberikan kebebasan kepada anggota persyarikatan untuk bergabung dengan partai politik sebagai keputusan personal dan bukan institutional.
Sikap Saleh Daulay yang berusaha menyeret Pemuda Muhammadiyah secara organisatoris untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta tentu tidak bisa dijadikan alasan kegamangan politik Muhammadiyah. Nampaknya penghayatan Saleh terhadap prinsip-prinsip dasar ber-Muhammadiyah patut dipertanyakan.
Kedua, Muhammadiyah mempunyai tradisi leadership yang sudah mapan. Muhammadiyah menganut kepemimpinan kolektif dan kolegial. Dari Muktamar di tingkat nasional sampai Musyawarah Ranting di tingkat struktur kepemimpinan paling bawah, Muhammadiyah tidak pernah memilih ketua umum secara langsung.
Sebaliknya, permusyawaratan hanya memilih tiga belas orang formatur yang bertugas menentukan struktur kepemimpinan termasuk siapa yang menjadi ketua umum. Ketua umum dalam kepemimpinan kolektif-kolegial tidaklah memegang peran sentral seperti dalam tradisi kepemimpinan partai politik di Indonesia. Dalam konteks ini, menyimpulkan sikap netral Muhammadiyah pada pilpres sebagai 'permainan' Din Syamsuddin merupakan anggapan yang tidak tepat.
Tanwir di Samarinda justru mempertontonkan keteguhan politik Muhammadiyah dalam menjaga jarak yang sama dengan politik (politics disengagement). Intervensi dan lobi untuk mengarahkan peserta untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta, menurut banyak saksi mata, sangat terasa di arena sidang.
Tidak kurang tokoh sesenior Muhammad Amien Rais 'turun gunung' untuk mempengaruhi suasana Tanwir. Menurut salah seorang Ketua PP Muhammadiyah, Amien yang menjagokan Prabowo-Hatta, meminta para peserta untuk duduk ketika mereka secara spontan berdiri guna menghormati Jokowi sebagai tamu memasuki ruang sidang. Menurut beberapa saksi mata pula, setelah Jokowi berpidato, dalam riungan peserta Amien mengatakan bahwa pidato Jokowi layaknya seperti vis-misi calon bupati/walikota.
Sebaliknya, ketika Prabowo berada di ruang sidang, Amien berteriak 'Hidup Prabowo' dan kemudian mendadak seolah-olah menjadi dirigen yang memimpin lagu 'Prabowo Siapa yang Punya.” (Tempo 25/5/2014). Beberapa kawan yang berada di ruang sidang juga menyaksikan simpatisan Prabowo yang buka anggota Tanwir yang memulai teriakan takbir ketika Prabowo memasuki ruang sidang (Detik.com 24/5/2014).
Di sinilah bukti keteguhan ideologi Muhammadiyah menghadapi godaan politik murahan (low politics) sebagai lawan dari politik adiluhung (high politics) yang dianut Muhammadiyah. Setiap peserta Tanwir hampir dipastikan mempunyai preferensi politik tertentu. Tapi mereka tidak memaksakan untuk voting guna mendukung capres dambaan mereka. Tidak kurang, Hasyim Muzadi, mantan ketua Umum PB NU, mengapresiasi sikap netralitas Muhammadiyah dan berharap NU mencontoh keteguhan sikap poltik tersebut (Republika 25/5/2014).
Pilihan netral Muhammadiyah pada pilpres kali ini, selain menjalankan 'Khittah Perjuangan', juga memiliki dua kepentingan taktis-strategis jangka pendek.
Pertama, netralitas ini menjaga soliditas kader Muhammadiyah yang tersebar di berbagai partai politik yang memiliki pilihan capres masing-masing. Tidak kurang, misalkan, Imam Ad-Daruqutni dan Muhammad Izzul Muslimin, kedua-duanya mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah, tergabung dalam tim sukses resmi Jokowi-JK yang didaftarkan ke KPU. Pasti ada beberapa nama kader Muhammadiyah, selain Amien Rais, yang menjadi tim sukses resmi Prabowo-Hatta.
Survei LSI terbaru menunjukan Muhammadiyah memang bukan ormas yang monolitik. Menurut LSI, pada saat survei dilakukan, 27,44% anggota Muhammadiyah memilih Jokowi-JK, sebanyak 31,57% memilih Prabowo-Hatta dan 40,99% belum menjatuhkan pilihan (Detik.com 30/5/2014).
Kedua, sikap netralitas ini juga memungkin Muhammadiyah menjadi 'wasit moral' perlombaan pilpres yang semakin kehilangan spirit etisnya. Berbagai isu negatif mengenai agama, kehidupan pribadi (keberadan istri dan anak) serta sederet fitnah yang menyesakkan ruang publik perlu dikritisi. Dengan netralitasnya Muhammadiyah mestinya memiliki moral courage untuk mengembalikan proses pilpres mejadi proses demokrasi untuk melahirkan kepemimpinan berdasarkan visi-misi bukan fitnah dan gosip.
Selamat atas keteguhan sikap politik Muhammadiyah. I love you full!
*) Raja Juli Antoni adalah Mantan Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah (2000-2002), Kandidat Doktor di School of Political Science and International RelationsThe University of Queensland, Australia
http://news.detik.com/read/2014/06/09/194319/2603511/103/1/keteguhan-politik-muhammadiyah
No comments:
Post a Comment