REPUBLIKA,
30 Mei 2014
Edy Purwo Saputro
Dosen di FEB Universitas Muhammadiyah Solo
Pilpres merupakan salah satu potensi demokrasi untuk menentukan kepemimpin an bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai salah satu organi sasi masyarakat di republik ini maka sikap Muhammadiyah menjadi salah satu barometer terhadap proses demokrasi melalui pilpres. Terkait hal ini, sikap Muhammadiyah sangat jelas yaitu tidak berpolitik, tidak mendukung salah satu kandidat atau netral. Paling tidak, ini dipertegas Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pada sidang Tanwir di Samarinda 23-25 Mei 2014 dan juga pada acara Tablig Akbar Hari Ber-Muhammadiyah se-Jawa Tengah, Milad Aisyiyah 1 Abad, serta Muktamar IMM ke-16 di Stadion Manahan Solo 27 Mei 2014.
Komitmen netral tersebut berlaku menyeluruh mulai dari pimpinan pusat sampai ke tingkat ranting di semua daerah. Oleh karena itu, komitmen netral ini menjadi moda Muham madiyah untuk tidak mengambil peran di semua kampanye dan atau kegiatan perpolitikan lainnya. Bahkan, pada saat pileg juga ada regulasi yang jelas,siapa pun kader Muhammadiyah yang menjadi caleg harus merelakan diri untuk mundur dari atribut Muhammadiyah. Penekanan ini sekaligus memperjelas arah pergerakan Muhammadiyah untuk tetap fokus sebagai persyarikatan yang mengacu pada gerakan sosial, bukan orientasi politik.
Komitmen
Fokus terhadap gerakan sosial bagi Muhammadiyah bukan berarti mengebiri hak-hak di dunia perpolitikan. Oleh karena itu, dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda 23-25 Mei 2014, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berharap agar hal ini menjadi gerakan awal kembali ke khitah sehingga tanwir tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik karena bersamaan dengan pilpres.
Jika dicermati sebenarnya memang sangat tipis untuk membedakan politik praktis yang dilakukan sejumlah organisasi berbasis keagamaan dengan sikap netralitas yang menjadi muara terhadap modernitas kehidupan berdemokrasi. Di satu sisi, memang ada beberapa organisasi berbasis keagamaan yang secara jelas menyatakan sikap mendukung kandidat tertentu pada pilpres mendatang. Bahkan, ada beberapa tokoh organisasi nya menjadi tim sukses pemenangan pilpres. Di sisi lain, sikap Muhammadiyah cenderung berbeda dan tidak dibe narkan ada warga dan atau simpatisan Muhammadiyah yang mendukung arah politik dari masing-masing kandidat dalam pilpres mendatang. Oleh karena itu, sikap ini memberikan pengaruh positif dari kedua kandidat untuk tidak sowan ke sejumlah tokoh Muhammadiyah.
Yang menarik dari sikap politik Muhammadiyah terkait pilpres adalah pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam pembukaan tan wir di Samarinda bahwa per gerakan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari kehidupan demokrasi ka rena ritme demokrasi secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, sementara Muhammadiyah berada di lingkup tujuan sosial dalam kehidupan keseharian.
Oleh karena itu, dinamika kehidupan demokrasi, termasuk pilpres, menjadi bagian ritme kehidupan pergerakan Muhammadiyah. Artinya, jika tidak ada kesadaran kolektif terhadap kondisi ini maka tentu sangat rawan bagi Muhammadiyah untuk terlibat dalam politik praktis. Meski demikian, sebagai organi sasi keagamaan yang memiliki amal usaha tersebar di berbagai daerah dan memiliki basis umat terbesar maka Muhammadiyah berkepentingan untuk menyuarakan kepada warganya dan tentu juga bagi masyarakat untuk selektif memilih pemimpin.
Peran sosialKiprah Muhammadiyah yang kali ini sudah berusia 102 tahun tentu diharapkan mampu memberikan kontribusi positif, tidak hanya bagi warganya, tapi juga masyarakat melalui berbagai gerakan sosial yang dilakukannya. Oleh karena itu, memberikan edukasi terkait pemilihan kepemimpinan menjadi sangat penting.
Meski demikian, hal ini tidaklah harus terlibat secara langsung dalam politik praktis, apalagi sampai melakukan gerakan untuk mendukung salah satu kandidat dalam pilpres mendatang. Artinya, penegasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi acuan bagi semua warganya dan juga tokoh-tokoh ormas atau parpol untuk menghargai sikap ini. Paling tidak, penegasan ini untuk menghindari sikap-sikap politik tertentu yang berusaha untuk memancing keterlibatan tokoh-tokoh di Muhammadiyah atau Muhammadiyah itu sendiri.
Secara riil diakui pascaseabad pergerakan Muhammadiyah justru mengingatkan bahwa Muhammadiyah memang harus melakukan reorientasi ke semua amal usaha agar kiprah ke depan Muhammadiyah bisa makin konkret. Hal ini bukan tidak beralasan sebab bagaimanapun juga keberadaan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki tanggung jawab moral-spiritual yang tidak kecil. Bahkan, di era otda ini, dengan amal usaha yang tersebar, kiprah Muhammadiyah sangatlah diharapkan mampu memicu dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat dan masyarakat secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, netralitas dalam pilpres menjadi modal besar bagi Muhammadiyah untuk tetap fokus sebagai gerakan sosial keagamaan, bukan terjun dalam politik praktis. ●
Edy Purwo Saputro
Dosen di FEB Universitas Muhammadiyah Solo
Pilpres merupakan salah satu potensi demokrasi untuk menentukan kepemimpin an bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai salah satu organi sasi masyarakat di republik ini maka sikap Muhammadiyah menjadi salah satu barometer terhadap proses demokrasi melalui pilpres. Terkait hal ini, sikap Muhammadiyah sangat jelas yaitu tidak berpolitik, tidak mendukung salah satu kandidat atau netral. Paling tidak, ini dipertegas Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pada sidang Tanwir di Samarinda 23-25 Mei 2014 dan juga pada acara Tablig Akbar Hari Ber-Muhammadiyah se-Jawa Tengah, Milad Aisyiyah 1 Abad, serta Muktamar IMM ke-16 di Stadion Manahan Solo 27 Mei 2014.
Komitmen netral tersebut berlaku menyeluruh mulai dari pimpinan pusat sampai ke tingkat ranting di semua daerah. Oleh karena itu, komitmen netral ini menjadi moda Muham madiyah untuk tidak mengambil peran di semua kampanye dan atau kegiatan perpolitikan lainnya. Bahkan, pada saat pileg juga ada regulasi yang jelas,siapa pun kader Muhammadiyah yang menjadi caleg harus merelakan diri untuk mundur dari atribut Muhammadiyah. Penekanan ini sekaligus memperjelas arah pergerakan Muhammadiyah untuk tetap fokus sebagai persyarikatan yang mengacu pada gerakan sosial, bukan orientasi politik.
Komitmen
Fokus terhadap gerakan sosial bagi Muhammadiyah bukan berarti mengebiri hak-hak di dunia perpolitikan. Oleh karena itu, dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda 23-25 Mei 2014, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berharap agar hal ini menjadi gerakan awal kembali ke khitah sehingga tanwir tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik karena bersamaan dengan pilpres.
Jika dicermati sebenarnya memang sangat tipis untuk membedakan politik praktis yang dilakukan sejumlah organisasi berbasis keagamaan dengan sikap netralitas yang menjadi muara terhadap modernitas kehidupan berdemokrasi. Di satu sisi, memang ada beberapa organisasi berbasis keagamaan yang secara jelas menyatakan sikap mendukung kandidat tertentu pada pilpres mendatang. Bahkan, ada beberapa tokoh organisasi nya menjadi tim sukses pemenangan pilpres. Di sisi lain, sikap Muhammadiyah cenderung berbeda dan tidak dibe narkan ada warga dan atau simpatisan Muhammadiyah yang mendukung arah politik dari masing-masing kandidat dalam pilpres mendatang. Oleh karena itu, sikap ini memberikan pengaruh positif dari kedua kandidat untuk tidak sowan ke sejumlah tokoh Muhammadiyah.
Yang menarik dari sikap politik Muhammadiyah terkait pilpres adalah pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam pembukaan tan wir di Samarinda bahwa per gerakan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari kehidupan demokrasi ka rena ritme demokrasi secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, sementara Muhammadiyah berada di lingkup tujuan sosial dalam kehidupan keseharian.
Oleh karena itu, dinamika kehidupan demokrasi, termasuk pilpres, menjadi bagian ritme kehidupan pergerakan Muhammadiyah. Artinya, jika tidak ada kesadaran kolektif terhadap kondisi ini maka tentu sangat rawan bagi Muhammadiyah untuk terlibat dalam politik praktis. Meski demikian, sebagai organi sasi keagamaan yang memiliki amal usaha tersebar di berbagai daerah dan memiliki basis umat terbesar maka Muhammadiyah berkepentingan untuk menyuarakan kepada warganya dan tentu juga bagi masyarakat untuk selektif memilih pemimpin.
Peran sosialKiprah Muhammadiyah yang kali ini sudah berusia 102 tahun tentu diharapkan mampu memberikan kontribusi positif, tidak hanya bagi warganya, tapi juga masyarakat melalui berbagai gerakan sosial yang dilakukannya. Oleh karena itu, memberikan edukasi terkait pemilihan kepemimpinan menjadi sangat penting.
Meski demikian, hal ini tidaklah harus terlibat secara langsung dalam politik praktis, apalagi sampai melakukan gerakan untuk mendukung salah satu kandidat dalam pilpres mendatang. Artinya, penegasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi acuan bagi semua warganya dan juga tokoh-tokoh ormas atau parpol untuk menghargai sikap ini. Paling tidak, penegasan ini untuk menghindari sikap-sikap politik tertentu yang berusaha untuk memancing keterlibatan tokoh-tokoh di Muhammadiyah atau Muhammadiyah itu sendiri.
Secara riil diakui pascaseabad pergerakan Muhammadiyah justru mengingatkan bahwa Muhammadiyah memang harus melakukan reorientasi ke semua amal usaha agar kiprah ke depan Muhammadiyah bisa makin konkret. Hal ini bukan tidak beralasan sebab bagaimanapun juga keberadaan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki tanggung jawab moral-spiritual yang tidak kecil. Bahkan, di era otda ini, dengan amal usaha yang tersebar, kiprah Muhammadiyah sangatlah diharapkan mampu memicu dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat dan masyarakat secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, netralitas dalam pilpres menjadi modal besar bagi Muhammadiyah untuk tetap fokus sebagai gerakan sosial keagamaan, bukan terjun dalam politik praktis. ●
No comments:
Post a Comment