Jawa Pos, 27 Mei 2014
Djoko Susilo
AKHIR pekan lalu, antara 23-25 Mei, Muhammadiyah menggelar sidang tanwir (rapat kerja nasional) di Samarinda, Kaltim. Sebenarnya, sidang tanwir itu merupakan acara tahunan, tetapi kali ini menjadi istimewa karena merupakan tahun politik yang penting. Dua calon presiden (capres), yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, hadir dalam acara yang didatangi elite pimpinan Muhammadiyah se-Indonesia tersebut.
Menurut Prof Dr M. Amien Rais, mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dalam wawancaranya dengan sebuah TV nasional, sambutan terhadap kehadiran capres Jokowi hanya ”suam-suam kuku”. Sebaliknya, sambutan atas kehadiran capres Prabowo sangat gegap gempita, bahkan diselingi gema takbir segala. Salah satu keberhasilan Prabowo memikat peserta tanwir adalah ceramahnya yang selaras dengan tema yang sedang digandrungi kalangan Muhammadiyah saat ini: Indonesia yang Berkemajuan.
Namun, sebagaimana sudah diduga, pernyataan resmi sidang tanwir yang dibacakan Agung Danarto, sekretaris umum PP Muhammadiyah, organisasi Islam modernis ini menyatakan netral dalam pilpres nanti. Warga Muhammadiyah dipersilakan memberikan suara sesuai dengan keputusan dan pilihan hati nurani masing-masing. Namun, dalam konferensi pers penutupan acara tanwir tersebut, ada pernyataan yang unik dari Din Syamsuddin, ketua umum, yang menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan parpol mana pun dan koalisi apa pun. Meski tidak tersurat, sudah jelas pernyataan Din ini ditujukan kepada PAN yang aktivisnya banyak dari kalangan Muhammadiyah.
Pernyataan resmi sidang tanwir ataupun keterangan pers Din ini sekali lagi menunjukkan kegamangan sikap politik kalangan elite Muhammadiyah. Sebab, ketika tanwir memutuskan netral, pada waktu yang sama Saleh P. Daulay (ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah) tegas menyatakan bahwa Pemuda Muhammadiyah memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta Rajasa. Sikap ”mbalelo” kalangan muda Muhammadiyah terhadap induknya ini bukan tanpa sebab. Sudah lama sikap politik Muhammadiyah di bawah Din sering konfrontatif terhadap pemerintahan Presiden SBY dan kepada Ketua Umum PAN Hatta Rajasa yang kebetulan adalah besan presiden. Ini tidak selaras dengan konsep netralitas yang selama ini dianut ormas Islam terbesar kedua di Indonesia tersebut.
Netralitas Muhammadiyah bukanlah hal yang baru. Di masa yang sulit pada zaman Orde Baru, KH A.R. Fachruddin pun selalu menyatakan netral politik. Presiden Soeharto menghargai pilihan politik itu dan tetap menjaga hubungan harmonis antara pemerintah dan Muhammadiyah. Ketika sekolah-sekolah Muhammadiyah digencet Mendikbud Daoed Joesoef, Pak AR –sapaan KH A.R. Fachruddin– tidak melawan dengan konfrontasi, tetapi memilih sowan ke Pak Harto dan membicarakan masalahnya dengan tuntas. Dengan pendekatan yang ”luwes” dan ”njawani” ini, Muhammadiyah tetap mendapat tempat di kalangan pemerintah.
Din Syamsuddin memang bukan orang Jawa. Jadi, kita tidak bisa berharap banyak dia punya sikap yang ”njawani” seperti Pak AR. Namun, sesungguhnya ada nostalgia di sebagian kalangan warga Muhammadiyah agar ketua umum punya sikap yang luwes. Pak AR hendaknya menjadi teladan bagi PP Muhammadiyah. Wajar jika saat ini sudah muncul gerakan ”jangan salah pilih” ketua umum Muhammadiyah dalam muktamar tahun depan. Warga sangat merindukan sosok yang teduh dan kalem seperti Pak AR. Semua warga Muhammadiyah juga tahu bahwa Pak AR hidup sederhana, ke mana-mana naik sepeda motor Yamaha butut. Untuk menambah penghasilan pensiunnya, Pak AR terpaksa berjualan bensin secara eceran di depan rumah dinas Muhammadiyah di Jl Cik Di Tiro. Saat ini rasanya sudah tidak ada anggota PP Muhammadiyah yang naik motor butut seperti Pak AR.
Meski hidup sederhana, dalam hal memimpin Muhammadiyah, Pak AR sangat tegas, tapi fleksibel. Ketegasan sikap Pak AR itu yang membuat warga Muhammadiyah tidak pernah galau dan gamang dalam berpolitik. Sebaliknya kondisi saat ini, meski resminya netral, ada pimpinan Muhammadiyah yang bersikap anti-PAN, tetapi dalam waktu yang sama ikut membidani berdirinya Baitul Muslimin (Bamus), sayap Islam PDIP. Dengan demikian, layak seruan netral itu dipertanyakan. Yang kita harapkan adalah Muhammadiyah menerapkan semacam ”politik bebas dan aktif” mirip politik luar negeri RI. Dalam konsep ini, warga Muhammadiyah bisa berpartisipasi aktif dengan kekuatan politik mana pun sepanjang hal itu membawa kemaslahatan bagi umat dan persyarikatan.
Dengan politik Muhammadiyah yang bebas dan aktif, warga persyarikatan akan terbebas dari kegamangan dan kegalauan sikap. PP Muhammadiyah juga tidak perlu menghadapi ”pemberontakan” dari kalangan muda seperti sikap Pemuda Muhammadiyah yang mendukung Prabowo-Hatta. Sebab, mereka juga melihat ketidakadilan sikap dari sebagian pimpinan Muhammadiyah. Oleh karena itu, PP Muhammadiyah juga tidak perlu reaktif, misalnya, dengan menjatuhkan hukuman represif kepada PP Pemuda Muhammadiyah. Justru yang harus dipertanyakan adalah apakah pernyataan dukungan Pemuda Muhammadiyah itu merupakan sikap resmi organisasi atau sikap pribadi Saleh Daulay yang terpilih sebagai caleg DPR dari PAN. Jika bukan keputusan resmi hasil sidang pleno PP Pemuda Muhammadiyah, hal itu hanya layak disebut dukungan perorangan.
Sangat disayangkan jika warga Muhammadiyah sekarang ini, khususnya di kalangan pimpinan di semua jajaran, sudah mulai melupakan teladan para sesepuh yang telah mendahului. Sangat banyak pelajaran yang bisa diambil dari proses politik di masa lalu. Misalnya bagaimana R Moejadi Djojonegoro diangkat sebagai menteri sosial zaman Bung Karno tanpa mengusik Muhammadiyah. Bagaimana kisah KH Ahmad Badawi menahan godaan tawaran Soeharto untuk menjadikan Muhammadiyah ormaspol setelah geger 1965. Bagaimana pula Buya Hamka menghadapi geger ”fatwa Natal” ataupun KH A.R. Fachruddin yang menyelesaikan masalah ”asas tunggal” untuk Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad lebih semestinya bisa memberikan pelajaran yang baik bagi kader-kadernya yang hidup di zaman sekarang. Tidak usah galau dan gamang dalam memilih dua pasangan capres-cawapres sekarang ini. Pilihlah pasangan yang akan memberikan kemaslahatan bagi umat, persyarikatan, bangsa, dan negara.
*) Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah (1998–2002) (thedjokosusilo@gmail.com)
Djoko Susilo
AKHIR pekan lalu, antara 23-25 Mei, Muhammadiyah menggelar sidang tanwir (rapat kerja nasional) di Samarinda, Kaltim. Sebenarnya, sidang tanwir itu merupakan acara tahunan, tetapi kali ini menjadi istimewa karena merupakan tahun politik yang penting. Dua calon presiden (capres), yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, hadir dalam acara yang didatangi elite pimpinan Muhammadiyah se-Indonesia tersebut.
Menurut Prof Dr M. Amien Rais, mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dalam wawancaranya dengan sebuah TV nasional, sambutan terhadap kehadiran capres Jokowi hanya ”suam-suam kuku”. Sebaliknya, sambutan atas kehadiran capres Prabowo sangat gegap gempita, bahkan diselingi gema takbir segala. Salah satu keberhasilan Prabowo memikat peserta tanwir adalah ceramahnya yang selaras dengan tema yang sedang digandrungi kalangan Muhammadiyah saat ini: Indonesia yang Berkemajuan.
Namun, sebagaimana sudah diduga, pernyataan resmi sidang tanwir yang dibacakan Agung Danarto, sekretaris umum PP Muhammadiyah, organisasi Islam modernis ini menyatakan netral dalam pilpres nanti. Warga Muhammadiyah dipersilakan memberikan suara sesuai dengan keputusan dan pilihan hati nurani masing-masing. Namun, dalam konferensi pers penutupan acara tanwir tersebut, ada pernyataan yang unik dari Din Syamsuddin, ketua umum, yang menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan parpol mana pun dan koalisi apa pun. Meski tidak tersurat, sudah jelas pernyataan Din ini ditujukan kepada PAN yang aktivisnya banyak dari kalangan Muhammadiyah.
Pernyataan resmi sidang tanwir ataupun keterangan pers Din ini sekali lagi menunjukkan kegamangan sikap politik kalangan elite Muhammadiyah. Sebab, ketika tanwir memutuskan netral, pada waktu yang sama Saleh P. Daulay (ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah) tegas menyatakan bahwa Pemuda Muhammadiyah memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta Rajasa. Sikap ”mbalelo” kalangan muda Muhammadiyah terhadap induknya ini bukan tanpa sebab. Sudah lama sikap politik Muhammadiyah di bawah Din sering konfrontatif terhadap pemerintahan Presiden SBY dan kepada Ketua Umum PAN Hatta Rajasa yang kebetulan adalah besan presiden. Ini tidak selaras dengan konsep netralitas yang selama ini dianut ormas Islam terbesar kedua di Indonesia tersebut.
Netralitas Muhammadiyah bukanlah hal yang baru. Di masa yang sulit pada zaman Orde Baru, KH A.R. Fachruddin pun selalu menyatakan netral politik. Presiden Soeharto menghargai pilihan politik itu dan tetap menjaga hubungan harmonis antara pemerintah dan Muhammadiyah. Ketika sekolah-sekolah Muhammadiyah digencet Mendikbud Daoed Joesoef, Pak AR –sapaan KH A.R. Fachruddin– tidak melawan dengan konfrontasi, tetapi memilih sowan ke Pak Harto dan membicarakan masalahnya dengan tuntas. Dengan pendekatan yang ”luwes” dan ”njawani” ini, Muhammadiyah tetap mendapat tempat di kalangan pemerintah.
Din Syamsuddin memang bukan orang Jawa. Jadi, kita tidak bisa berharap banyak dia punya sikap yang ”njawani” seperti Pak AR. Namun, sesungguhnya ada nostalgia di sebagian kalangan warga Muhammadiyah agar ketua umum punya sikap yang luwes. Pak AR hendaknya menjadi teladan bagi PP Muhammadiyah. Wajar jika saat ini sudah muncul gerakan ”jangan salah pilih” ketua umum Muhammadiyah dalam muktamar tahun depan. Warga sangat merindukan sosok yang teduh dan kalem seperti Pak AR. Semua warga Muhammadiyah juga tahu bahwa Pak AR hidup sederhana, ke mana-mana naik sepeda motor Yamaha butut. Untuk menambah penghasilan pensiunnya, Pak AR terpaksa berjualan bensin secara eceran di depan rumah dinas Muhammadiyah di Jl Cik Di Tiro. Saat ini rasanya sudah tidak ada anggota PP Muhammadiyah yang naik motor butut seperti Pak AR.
Meski hidup sederhana, dalam hal memimpin Muhammadiyah, Pak AR sangat tegas, tapi fleksibel. Ketegasan sikap Pak AR itu yang membuat warga Muhammadiyah tidak pernah galau dan gamang dalam berpolitik. Sebaliknya kondisi saat ini, meski resminya netral, ada pimpinan Muhammadiyah yang bersikap anti-PAN, tetapi dalam waktu yang sama ikut membidani berdirinya Baitul Muslimin (Bamus), sayap Islam PDIP. Dengan demikian, layak seruan netral itu dipertanyakan. Yang kita harapkan adalah Muhammadiyah menerapkan semacam ”politik bebas dan aktif” mirip politik luar negeri RI. Dalam konsep ini, warga Muhammadiyah bisa berpartisipasi aktif dengan kekuatan politik mana pun sepanjang hal itu membawa kemaslahatan bagi umat dan persyarikatan.
Dengan politik Muhammadiyah yang bebas dan aktif, warga persyarikatan akan terbebas dari kegamangan dan kegalauan sikap. PP Muhammadiyah juga tidak perlu menghadapi ”pemberontakan” dari kalangan muda seperti sikap Pemuda Muhammadiyah yang mendukung Prabowo-Hatta. Sebab, mereka juga melihat ketidakadilan sikap dari sebagian pimpinan Muhammadiyah. Oleh karena itu, PP Muhammadiyah juga tidak perlu reaktif, misalnya, dengan menjatuhkan hukuman represif kepada PP Pemuda Muhammadiyah. Justru yang harus dipertanyakan adalah apakah pernyataan dukungan Pemuda Muhammadiyah itu merupakan sikap resmi organisasi atau sikap pribadi Saleh Daulay yang terpilih sebagai caleg DPR dari PAN. Jika bukan keputusan resmi hasil sidang pleno PP Pemuda Muhammadiyah, hal itu hanya layak disebut dukungan perorangan.
Sangat disayangkan jika warga Muhammadiyah sekarang ini, khususnya di kalangan pimpinan di semua jajaran, sudah mulai melupakan teladan para sesepuh yang telah mendahului. Sangat banyak pelajaran yang bisa diambil dari proses politik di masa lalu. Misalnya bagaimana R Moejadi Djojonegoro diangkat sebagai menteri sosial zaman Bung Karno tanpa mengusik Muhammadiyah. Bagaimana kisah KH Ahmad Badawi menahan godaan tawaran Soeharto untuk menjadikan Muhammadiyah ormaspol setelah geger 1965. Bagaimana pula Buya Hamka menghadapi geger ”fatwa Natal” ataupun KH A.R. Fachruddin yang menyelesaikan masalah ”asas tunggal” untuk Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad lebih semestinya bisa memberikan pelajaran yang baik bagi kader-kadernya yang hidup di zaman sekarang. Tidak usah galau dan gamang dalam memilih dua pasangan capres-cawapres sekarang ini. Pilihlah pasangan yang akan memberikan kemaslahatan bagi umat, persyarikatan, bangsa, dan negara.
*) Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah (1998–2002) (thedjokosusilo@gmail.com)
No comments:
Post a Comment