Sunday, February 17, 2013

Dr. Moeslim Abdurrahman: Berislam dari Bukhari-Muslim ke Weber-Durkheim

Islamlib.com, 11/08/2003 
Oleh Redaksi 

Orientasi keberagamaan normatif berbeda secara diametris dengan orientasi keberagamaan empiris. Ekspresi religiusitas yang normatif seringkali melupakan fakta sosial yang tidak monolitik, bahkan tidak seideal lukisan dalam kanvas teologis seperti yang tertera dalam kitab suci. Dalam konteks inilah, diperlukan kearifan dan ke-tawadlu-an untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut.

Orientasi keberagamaan normatif berbeda secara diametris dengan orientasi keberagamaan empiris. Ekspresi religiusitas yang normatif seringkali melupakan fakta sosial yang tidak monolitik, bahkan tidak seideal lukisan dalam kanvas teologis seperti yang tertera dalam kitab suci. Dalam konteks inilah, diperlukan kearifan dan ke-tawadlu-an untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Dr. Moeslim Abdurrahman, anggota PP Muhamadiyah dan Direktur Ma’arif Institute for Culture and Humanity, pada Kamis 7 Agustus 2003:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Mas Moeslim, Anda pernah menulis buku berjudul Kang Towil yang bercerita tentang perantauan santri ke kota, lalu berubah menjadi seorang santri modern. Bagaimana agama dikenalkan pada Anda semasa kecil?
MOESLIM ABDURRAHMAN: Saya lahir dari keluarga Muhamadiyah yang hidup sebagai petani di desa, tepatnya di Lamongan. Seperti keluarga lainnya, obsesi keluarga saya adalah agar anaknya mondok di pesantren, lalu pulang paling tidak menjadi kiai kecil di pedesaan. Oleh karena itu, waktu selesai Sekolah Rakyat (SR), saya dikirim orangtua saya ke Pesantren Raudlatul Ilmiyah di Kertosono. Pesantren itu dikenal sebagai pesantren “keras” karena bercorak Wahabi.
Waktu itu terdapat beberapa pesantren —selain pesantren NU di Lasem, Tebuireng dan lain-lain— yang cukup dikenal masyarakat Lamongan. Di kalangan Muhamadiyah, waktu itu yang dikenal adalah pesantren Persis di Bangil, juga Pondok Modern Gontor (sekalipun bukan pesantren NU atau Muhamadiyah, Red), dan pesantren Kiai Salim Akhyar. Yang disebutkan terakhir ini sangat keras dalam hal-hal yang disebut bid’ah, khurafat, tahayul dan lain-lain.
ULIL: Bagaimana dinamika NU dan Muhamadiyah saat itu?
MOESLIM: Semasa saya kecil, pertentangan antara Muhamadiyah dan NU sangat real dirasakan. Artinya, mereka mempertentangkan hal-hal kecil dan sepele hingga menjadi besar.
Ketika di pesantren, saya tekun mengaji kitab untuk menyiapkan diri menjadi kiai di desa bila sudah pulang nanti. Keluarga saya selalu menitip membeli kitab-kitab agama pada mereka yang naik haji. Pada waktu itu, membeli kitab sangat susah. Ketika saya masih nyantri, di rumah sudah dibikinkan madrasah untuk saya kelola nantinya. Harapan orangtua saya, ketika saya pulang, saya mesti mengurus madrasah, dijodohkan dengan seorang gadis, lalu menjadi kiai kecil.
Ada kisah menarik ketika itu. Madrasah saya dibuat dari bahan-bahan yang diambil dari pohon kelapa. Ketika angin kencang bertiup, madrasah itu ambruk. Betapa sedih hati bapak saya yang merupakan tokoh Muhamadiyah di sana. Sementara itu, orang-orang NU yang menjadi musuh Muhamadiyah saat itu, senang bukan main. Mereka menafsirkan itu sebagai pertanda bahwa madrasah yang didirikan oleh kelompok Islam sesat, tidak akan diridlai Allah. Sementara, bapak saya mesti berkampanye untuk meyakinkan bahwa kejadian itu justru harus dibaca lain. Yaitu: kita sedang dicoba Allah, apakah bisa bertahan di jalan yang benar.
Begitulah nuansa konflik antara NU dan Muhamadiyah. Padahal, kalau dicermati lebih lanjut, itu hanya persoalan tukang dan bahan bangunan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan takdir Tuhan.
ULIL: Setelah masuk pesantren Kertosono, Anda melanjutkan pendidikan di mana?
MOESLIM: Bagi orang pesantren seperti saya, menjadi mahasiswa merupakan sesuatu yang belum terpikirkan. Pasca-G 30-SKI, organisasi ekstrakurikuler juga menarik. Kita waktu itu melihat anak UII Yogyakarta memakai jaket UII, anggota HMI memakai jaket HMI. Simbol-simbol seperti itu merupakan kebanggaan tersendiri, sebab mereka dulunya adalah musuh-musuh PKI.
Obsesi saya saat itu adalah bagaimana caranya menjadi mahasiswa. Teman-teman saya bisa mendaftar di universitas, karena mereka punya ijazah. Mungkin dulunya mereka pernah sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama) atau SGA (Sekolah Guru Agama). Memang ada UII dan universitas yang berada di kabupaten, seperti Universitas Tri Bakti di Kediri.
Akhirnya, saya masuk Fakultas Ilmu Agama, Jurusan Tarbiyah yang didirikan Muhammadiyah di Kediri. Hampir dua tahun saya menjadi mahasiswa mustami’ (pendengar, Red), belum mahasiswa aktif, karena saya tidak punya ijazah setingkat SLTA. Tapi kalau ada ujian, saya mesti ikut. Ketika ujian sarjana muda, saya diwajibkan menyetor ijazah SLTA. Lantas saya ikut ujian persamaan Aliyah agar bisa ikut ujian BA (sarjana muda). Setelah ujian BA, saya merasa berbeda dengan teman-teman dari pesantren, karena saya sudah punya gelar akademik. Pada waktu itu, gelar akademik masih sangat langka dan menjadi status sosial tersendiri yang bukan main gengsinya.
ULIL: Apakah ada perbedaan signifikan antara perspektif keagamaan Anda saat masih di pesantren dengan perguruan tinggi?
MOESLIM: Oh, sangat signifikan. Waktu di pesantren, saya masih merasa sebagai subkultur masyarakat pedesaan yang agraris. Intinya, saat itu saya mencari agama yang lebih menguatkan iman dan spiritualitas saya dan sangat sedikit bersentuhan dengan akal pikiran. Tak ada pemikiran Islam. Yang ada olah rohani, olah iman atau mencari iman yang lebih otentik dalam pengertian seperti itu.
Ketika mahasiswa, saya menemukan pengalaman Islam yang lain; agak akademik. Itu mencerminkan sebuah pengalaman Islam kota yang sudah memakai jaket dan aksesori lainnya. Waktu pulang kampung, saya disuruh khutbah Idul Fitri. Saya banyak sekali membuat kutipan, bukan saja dari kitab Bukhari dan Muslim, tapi juga istilah-istilah yang agak baru. Misalnya, istilah “ukhuwah islamiyah” saya ganti dengan istilah “integrasi umat”, supaya kelihatan lebih moderen.
Saya yakin, para keluarga dan pendengar terkagum-kagum, meski mereka tidak terlalu paham dengan apa yang saya khutbahkan. Tapi mereka bangga dan heran: “kok ada orang ndeso yang ngomong begini?” Jadi pengalaman ini menjadi “barang” dari kota yang baru dan modern. Kalau diperbandingkan mungkin mirip orang yang minum Coca Cola atau Teh Botol di sebuah pelosok. Jadi, secara prinsipil, perspektif yang berbeda ada pada alam pikiran yang berbeda dari “alam kitab” yang lebih banyak menghapal dan sedikit berbau kealim-aliman.
ULIL: Apakah saat itu Anda mengritik perspektif Islam masa lampau yang menekankan keyakinan semata?
MOESLIM: Ya, ketika saya mengaji di pesantren, paling-paling hanya bisa mengatakan bahwa kullu bid‘atin dlalâlah, setiap bid’ah yang tidak berdasar pada Alquran dan hadis adalah sesat. Tapi ketika saya mulai di HMI, di lingkungan perguruan tinggi, meski masih mengutip jargon innal hayât ‘aqîdatun wajihâdun (hidup adalah keyakinan dan jihad, Red), sudah mulai mempertanyakan konsep jihad. Memang, kutipan di atas bernuansa politik. Intinya, dalam pemahaman Islam ini, sudah ada aspek penalaran dan konfrontasi demi membaca realitas. Yang dimaksud realitas yang dominan saat itu adalah persoalan politik.
ULIL: Lantas, bagaimana kelanjutan dari pergulatan keimanan Anda?
MOESLIM: Proses yang berikutnya, adalah ketika saya mengikuti Pusat Pelatihan dan Penelitian Ilmu Sosial yang betul-betul mengubah cara hidup dan keberagamaan saya. Pengalaman itu terjadi pada tahun 1975 dan mengubah orientasi keberagamaan saya dari normatif ke arah empiris. Perbedaannya, keberagamaan empiris tak hanya melihat konstruksi pemikiran dan pengalaman keagamaan sekadar hal yang normatif. Paradigma ini sudah bisa melihat paradoks dalam proses keberagamaan dalam masyarakat; bahwa ada masyarakat yang bisa mengikuti doktrin agama dengan tingkat kesalehan yang memadai, tapi ada juga yang karena status sosial tertentu tidak bisa.
Nah, analisis sosialnya sudah muncul dalam paradigma yang kedua ini. Dulu saya berpikir simpel saja: “Yang tidak saleh pasti melawan Allah.” Baru kemudian saya tahu, ada rintangan sosial atau budaya, yang membuat seseorang menjadi tidak saleh. Tapi dalam masyarakat, kita menemukan orang yang tetap berislam, meski ia tak berada pada standar normatif tertentu. Jadi ada saja orang-orang yang mendefinisikan dirinya dekat dengan Allah, meski menurut standar normatif yang pernah saya pakai, tentu amat jauh dari kesan itu.
ULIL: Apa akibat yang paling Anda rasakan ketika mengetahui agama secara empiris?
MOESLIM: Sangat berpengaruh. Saya lebih tawâdlu‘ (rendah hati, Red) ketika melihat orang yang dulu saya hakimi sebagai durhaka pada Allah. Dulu selalu saja ada kebingungan: “Mengapa seseorang tidak terbuka hatinya pada Allah?” Anda tentu tahu bagaimana sikap seseorang yang baru keluar dari pesantren dan hidup dalam subkultur yang amat idealistik berdasarkan kitab kuning dalam menyikapi fakta sosial. Orang yang berwudu, kalau tidak persis ganjil bilangannya, akan dianggap sangat berdosa. Jadi ketika pemahaman saya mulai berkembang dari mempelajari Bukhari dan Muslim ke Weber dan Durkheim, tentu akan luar biasa hasilnya, meski saya memulai dari nol.
ULIL: Ketika keberagamaan sudah dipahami sebagai sesuatu yang empiris, lantas di mana letak makna beragama itu sendiri?
MOESLIM: Makna beragama menjadi tidak monolitik. Artinya, kita harus bisa melihat kenyataan yang obyektif; bahwa pengalaman dan penghayatan orang mengenai agama sangat beragam.
ULIL: Bagaimana dalam hal menafsirkan kembali makna bid’ah yang dulu pernah Anda akrabi?
MOESLIM: Saya tak lagi menganggap menjadi sangat berbeda secara prinsipil antara orang salat pakai lafal ushallî atau tidak, lepas dari kenyataan bahwa saya tetap canggung bila menjadi makmum dalam salat Subuh yang memakai qunut. Memang masih terasa belum pas, lebih karena persoalan habit saja. Walau pikiran saya sudah mengembara kemana-mana, tapi kebiasaan yang dialami dalam subkultur tertentu masih saja membekas.
Sekarang kondisinya tentu sudah berbeda. Dulu saya jebolan pesantren yang sangat keras, lalu masuk HMI yang militan dan menjadi da’i HMI karena aktivitas saya di Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) yang menyerang sana-sini. Waktu itu orang-orang suka pada pidato saya yang kelihatannya konsisten menyerang sana-sini dan tak bisa toleran dengan orang lain.
ULIL: Lantas, bagaimana Anda merumuskan diri Anda sekarng ini?
MOESLIM: Saya menemukan keislamanan sekarang menurut pengalaman religius saya sendiri. Kalau saya mengikrarkan Islam rahmatan lil ‘âlamîn, saya mesti merasakannya dalam pergaulan yang lebih majemuk. Misalnya, sekarang ada orang-orang yang sudah seperti saudara dekat saya, tapi saya lupa agamanya apa. Ada perasaan kemanusiaan yang lebih humanis sifatnya, yang merupakan bagian dari artikulasi keberagamaan saya.
Perbedaan agama saya anggap sebagai sejarah saja, dan kita hidup dalam alam sejarah itu. Saya memang tidak hidup di alam agnostik. Saya orang beriman, dan keberimanan itu menuntut saya menegaskan bahwa semua adalah hamba Allah. Dengan demikian, saya lebih tawâdlu‘ dan berpikir seribu kali untuk menghakimi orang lain.
ULIL: Menurut Anda, faktor apa yang menyebabkan orang yang suka menghakimi orang lain yang berbeda agama?
MOESLIM: Ada dua faktor. Pertama sumber-sumber keimanan yang sangat monolitik yang berasal dari satu sumber interpretasi. Kedua, secara sosiologis, dia sedang membutuhkan pegangan kokoh, karena kebingungan dalam melihat kenyataan.
Anak-anak muda yang tertarik dengan model pemahaman keagamaan yang suka menghakimi orang ini karena hanya tahu interpretasi Islam dari satu sumber saja. Faktor tutor, misalnya, yang dianggap paling benar dalam menafsirkan Islam. Yang lain salah, dinafikan, bahkan ditolak mentah-mentah. Persoalan lain, mungkin proses perubahan sosial yang sedemikian cepat, sehingga muncul perasaan teralienasi karena identitas agamanya menjadi kabur.
ULIL: Ada perdebatan mutakhir seputar substansi keadilan dengan formalisasi syariat Islam. Komentar Anda?
MOESLIM: Menurut saya, substansi Islam itu tersimpul dalam firman Allah: i’dilû huwa aqrab littaqwâ! (berlaku adillah, karena itu lebih dekat pada ketakwaan, Red). Ber-taqarrub  agar sampai pada derajat takwa, mesti berbuat adil dulu. Hidup berislam pada hakikatnya adalah usaha untuk ber-taqarrub pada Allah dan cita-cita-Nya. Cita-cita Allah itu, menurut saya, pangkalnya ada pada keadilan.
Sering kita dengungkan di radio ini: kalau kita menerapkan syariat tanpa berlandaskan keadilan, itu akan keliru. Karena kenyataannya sering begini: “Orang yang mencuri ayam karena lapar atau miskin, nanti mesti dipotong tangannya, tapi yang bermilyar-milyar justru tak tersentuh hukum.” Atau, kita sering menghakimi pelacur jalanan yang sedang mencari makan —betul-betul mencari makan, karena mereka tersingkir secara ekonomi. Pelacur seperti itu merupakan dosa sosial kita. Maka, penerapan syariat yang formalistik itu, takkan memecahkan masalah keadilan yang lebih luas cakupannya.
ULIL: Lantas, apakah negara perlu ikut campur untuk memaksakan syariat?
MOESLIM: Jelas, jangan lah! Nggak usahlah ada ambisi negara membuat peraturan untuk beribadah dan ber-taqarrub pada Allah! Fungsi negara seyogyanya hanya mengatur hak-hak warganegara. Soal keyakinan tergantung mereka ber-taqarrub pada Allah. Masing-masing orang punya kesulitan dan tahapan-tahapan yang berbeda dalam hal yang sangat pribadi ini [.] 

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/berislam-dari-bukhari-muslim-ke-weber-durkheim

No comments:

Post a Comment