Thursday, October 18, 2012

IRCM: Membaca Muhammadiyah Melalui Konferensi Internasional

Suara Muhammadiyah, 20 / 97 | 30 ZULKAIDAH - 15 ZULHIJJAH 1433 H / 16 - 31 OKTOBER 2012, pp. 56-57.


Oleh Ahmad Najib Burhani
Sekretaris SC IRCM (International Research Conference on Muhammadiyah), kandidat doktor di Universitas California-Santa Barbara, dan Peneliti LIPI

Oktober 2011 yang lalu penulis mendapat email dari Mitsuo Nakamura, pakar tentang Muhammadiyah dari Chiba University Jepang, yang isinya meminta penulis untuk ikut membantu rencana penyelenggaraan International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM). Tentu saja ajakan tersebut penulis sambut dengan sangat antusias. Pasalnya, sejak meluncurkan blog Muhammadiyah Studies (muhammadiyahstudies.blogspot.com) pada November 2009 yang lalu, memang terbersit harapan agar dalam peringatan 100 tahun Muhammadiyah (1912-2012) ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah atau institusi lain berminat untuk menyelenggarakan konferensi internasional tentang Muhammadiyah.

Konferensi internasional itu sangat berguna untuk melihat perkembangan studi Muhammadiyah yang selama satu abad ini telah dilakukan oleh banyak sarjana, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Konferensi ini juga penting untuk melihat peluang kajian pada masa yang akan datang atau tema-tema yang belum tersentuh pada kajian tentang Muhammadiyah yang dilakukan oleh sarjana Muhammadiyah terdahulu. Manfaat lain, secara praktis konferensi ini juga berfungsi membantu melihat atau memprediksi nasib, peran, dan posisi Muhammadiyah pada 100 tahun yang akan datang.

Sebelum tahun 1980-an, kajian tentang gerakan Islam di Indonesia didominasi oleh studi-studi tentang Muhammadiyah. Hampir setiap sarjana dari Eropa dan Amerika yang mengkaji Islam di negeri ini hamper selalu menuliskan tentang peran dan posisi Muhammadiyah. Ini, misalnya, bisa dilihat pada karya-karya sarjana seperti Clifford Geertz, Harry Benda, Leslie Palmier, Lance Castles, Howard Federspiel, Mitsuo Nakamura, dan James Peacock. Dalam karya-karyanya, para sarjana itu seakan melihat bahwa masa depan Islam di Indonesia itu tak lain dan tak bukan terletak di tangan Muhammadiyah.

Benda dalam disertasinya di Cornell tahun 1955 (The Crescent and the Rising Sun), Geertz dalam The Religion of Java (1960), dan Castles dalam buku Religion, Politics, and Economic Behavior in Java : The Kudus Cigarette Industry (1967) menunjukkan potensi cemerlang Muhammadiyah dalam bidang politik, agama, dan ekonomi. Demikian pula dengan Peacock dalam karyanya Muslim Puritans: Reformist Psychology in South East Asian Islam (1978) dan Purifying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam (1978), Federspiel dalam artikelnya “The Muhammadijah: A Study of an Orthodox Islamic Movement in Indonesia,” dan Nakamura dalam disertasinya yang berjudul the Crescent Arises over the Banyan Tree (1983). Karya-karya itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah bisa menjadi tulang punggung Indonesia untuk menjadi negara besar dan makmur.

Namun rupanya kajian tentang Islam di Indonesia mulai tahun 1980-an mengalami pergeseran. Kajian tentang Muhammadiyah mulai ditinggalkan para sarjana dan tesis-tesis mengenai kemampuan Muhammadiyah untuk memberikan spirit kapitalisme mulai dipertanyakan para sarjana. Kajian tentang Muhammadiyah pada periode ini hingga 2000-an juga didominasi oleh orang Indonesia sendiri seperti Ahmad Jainuri, Din Syamsuddin, dan Alwi Shihab. Para sarjana asing lebih melirik studi tentang NU (Nahdlatul Ulama) yang terlihat lebih atraktif dan lincah, berubah kesan sebelumnya sebagai gerakan kelompok tradisionalis dan sarungan. Ini bisa dilihat dari sarjana-sarjana Islam Indonesia periode ini seperti Martin van Bruinessen, Greg Barton, Greg Fealy, Andrée Feillard, Douglas Ramage, dan Robin Bush. Bahkan sarjana yang dulu mengkaji Muhammadiyah seperti Nakamura pun sempat beralih untuk meneliti NU, seperti terlihat dalam tulisannya tentang Muktamar NU di Semarang 1979 dan Muktamar Situbondo 1984 dalam buku Nahdlatul Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia (1996).

Kajian tentang Islam Indonesia kembali mengalami pergeseran setelah Tragedi WTC, 11 September 2001. Kajian yang paling marak sejak kejadian itu adalah tentang radikalisme dan terorisme. Ada beberapa studi tentang NU dan Muhammadiyah, namun itu juga dikaitkan dengan tema besar tentang terorisme atau konservatisme. Beberapa sarjana yang dulu menulis disertasi dan artikel tentang NU dan Muhammadiyah, seperti Robin Bush, juga kemudian menjadi pakar tentang radikalisme dalam Islam di Indonesia. Beberapa pergeseran-pergesan dan fenomena sosial-keagamaan inilah, diantaranya, yang melatarbelakangi hasrat untuk melihat kembali dan mengkaji karya-karya kesarjaan tentang Muhammadiyah. Konferensi internasional tentang Muhammadiyah ini, karenanya, menjadi sangat penting dan wahana yang tepat untuk tujuan itu.

Mitsuo Nakamura dan Azyumardi Azra
Inisiatif awal penyelenggaraan IRCM ini datang dari Mitsuo Nakamura dan Azyumardi Azra. Dua orang inilah yang sejak awal mempersiapkan proposal dan menghubungi beberapa orang, baik aktivis Muhammadiyah maupun sarjana Muhammadiyah, untuk terlibat dalam penyelenggaraan acara ini. Diantara mereka yang kemudian berpartisipasi aktif dalam kepanitiaan adalah M Amin Abdullah, Siti Chamamah Suratno, Siti Syamsiyatun, Robert Hefner, dan James Peacock.

Selain para sarjana dan aktivis senior, sebetulnya Nakamura dan Azra sempat menghubungi beberapa anak muda Muhammadiyah untuk terlibat dalam kepanitiaan. Namun demikian, mungkin karena aktivitas lain yang mereka tekuni, hanya sedikit orang muda yang terlibat aktif. Diantaranya yang sedikit itu adalah penulis sendiri yang diminta untuk menjadi sekretaris SC (Steering Committee). Beberapa anak muda lain banyak yang terlibat dalam OC (Organizing Committee), terutama mereka yang berasal dari Angkatan  Muda Muhammadiyah di Malang.

Mitsuo Nakamura, Muhadjir Effendy, Azyumardi Azra, & Amin Abdullah
Seusai pembentukan kepanitiaan, Nakamura dan Azra, dibantu oleh penulis, aktif mendata sarjana-sarjana yang pernah menulis buku atau artikel di jurnal ilmiah atau MA tesis dan disertasi doktoral tentang Muhammadiyah. Para sarjana ini dihubungi satu-persatu untuk diajak berpartisipasi mempresentasikan makalah atau menjadi pembahas dalam acara ini. Setelah mendapatkan respon positif dan kesediaan mereka untuk hadir dari para sarjana ternama seperti Herman L Beck, Mark Woodward, MC Ricklefs, Michael Laffan, Jonathan Benthall, Hyung-Jun Kim, Tim Lindsay, Nelly van Doorn-Harder, dan sarjana-sarjana yang telah disebutkan di atas, baru dibuka call for papers (CfP). Undangan terbuka melalui CfP itu dimaksudkan untuk menjaring sarjana-sarjana di bidang Muhammadiyah seluas-luasnya, terutama mereka yang selama ini belum terlacak atau masih yunior. Inilah beberapa proses yang menyebabkan agenda program yang dihasilkan untuk acara yang diselenggarakan pada 29 November-2 Desember 2012 ini tampak cukup matang.

UMM dan Muhadjir Effendy
Inisiatif untuk menyelenggarakan IRCM ini barangkali tidak akan berlanjut jika tidak mendapat sambutan positif dan dukungan dari Muhadjir Effendy, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kepedulian Effendy terhadap khazanah Muhammadiyah patut ditiru oleh rektor-rektor dari universitas Muhammadiyah yang lain. UMM bersedia membiayai IRCM ini hampir seratus persen. Total biaya acara ini sendiri diperkirakan mencarai ratusan juta rupiah. Effendy menyempatkan hadir dalam beberapa rapat panitia dan bersedia menghubungi sendiri gubernur Jawa Timur, Sukarwo, untuk hadir memberikan sambutan dalam pembukaan acara ini.

Kepedulian Muhadjir Effendy terhadap khazanah Muhammadiyah ini sebetulnya tidak hanya terbatas pada dunia akademik, tapi juga pada hal lain. Misalnya, seperti dituturkan beberapa teman di UMM, ia pernah menanyakan tentang kuburan KH Ahmad Dahlan di kampung Karangkajen, Mergangsan,Yogyakarta yang tak begitu sesuai dengan kebesaran namanya sebagai pahlawan nasional dan pendiri Muhammadiyah. Ia lantas menawarkan untuk memperbaiki makam itu, atau paling tidak merawatnya. Azyumardi Azra menyetujui rencana ini. Menurut Azra, ini bukan berkaitan dengan unsur klenik, mengkultuskan Dahlan, atau menyembah kuburan. Tapi lebih kepada kesadaran sejarah masa lalu yang di Muhammadiyah sepertinya kurang mendapat tempat.

Satu-satunya kesadaran sejarah yang kentara pada organisasi ini adalah terletak pada tekanannya pada konsep al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah (kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah). Sementara kekayaan khazanah lama Islam yang lain kurang begitu dihargai. Efek tidak langsung dari lemahnya kesadaran sejarah ini diantara berbentuk lembahnya penghormatan terhadap tokoh-tokoh besar masa lalu seperti pendiri organisasi ini. Memang benar, seperti disampaikan Yunahar Ilyas, Muhammadiyah bukanlah Dahlaniyah. Tapi pernyataan ini saya yakin tidak dimaksudkan sebagai bentuk tidak adanya rasa hormat terhadap pendiri organisasi ini.
--oo0oo--

No comments:

Post a Comment