Monday, October 1, 2012

IRCM: Renovasi Jati Diri Muhammadiyah

MATAN, EDISI 75, OKTOBER 2012, h. 22-23.

Untuk memeriahkan ulang tahun Muhammadiyah yang ke-100 di bulan November 2012 ini, ada tiga kegiatan besar yang akan diselenggarakan oleh organisasi ini, yaitu: Centennial Anniversary of Muhammadiyah atau peringatan seabad Muhammadiyah di Gelora Bung Karno pada 18 November, World Peace Forum (WPF) di Novotel Bogor pada 23-25 November, dan International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) di Universitas Muhammadiyah Malang pada 29 November – 2 Desember 2012. Professor Azyumardi Azra dipercaya sebagai Ketua Steering Committee (SC) untuk IRCM, sementara Professor Mitsuo Nakamura sebagai Wakil Ketua.

Berikut catatan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipercaya sebagai Sekretaris SC, Ahmad Najib Burhani. Kepada MATAN, kandidat doktor di Universitas California-Santa Barbara Amerika Serikat ini menguaraikan substansi konferensi akbar tentang Muhammadiyah di Malang tersebut.

Tiga kegiatan tersebut memiliki karakter yang berbeda. Centennial anniversary yang digarap oleh Uhamka (Universitas Muhammadiyah Prof Hamka) lebih merupakan seremoni dan perayaan. WFP yang diselenggarakan oleh CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations) merupakan pertemuan tokoh-tokoh lintas agama yang memperbincangkan tentang kerjasama untuk menciptakan dunia yang damai. Sementara IRCM lebih bersifat akademik untuk mengkaji Muhammadiyah, baik masa lalu maupun masa sekarang. Ketiga kegiatan itu diharapkan saling menopang dan mendukung satu sama lain meskipun partisipan utama pada ketiga acara itu adalah orang-orang yang memiliki minat yang berbeda. Penulis tidak terlibat pada kegiatan pertama dan kedua, karena itu tulisan ini hanya akan fokus pada kegiatan ketiga dimana penulis terlibat sebagai sekretaris SC (Steering Committee).

IRCM merupakan forum tempat para begawan yang mengkaji Muhammadiyah turun gunung dan bertemu dengan peneliti-peneliti atau sarjana-sarjana baru di bidang yang sama. Ada tiga kategori peserta aktif dalam IRCM ini. Pertama adalah tokoh-tokoh senior dan profesor emeritus seperti James L. Peacock, Mitsuo Nakamura, Martin van Bruinessen, M.C. Ricklefs, Azyumardi Azra, dan Robert Hefner. Kategori kedua adalah para pengkaji Muhammadiyah yang masih aktif atau pertengahan karir seperti Jonathan Benthall, Eunsook Jung, Herman L. Beck, Nelly van Doorn-Harder, dan Hyung-jun Kim. Kategori terakhir adalah para ilmuwan muda seperti Ken Miichi, Satomi Ogata, Hilman Latif, Claire-Marie Hefner, Rahmawati Husen, Alimatul Qibtiyah, Endy Saputro, Gwenael Feillard, Steven Drakeley, Amelia Fauzia, Hattori Mina, dan Pradana Boy. Tiga generasi sarjana tentang Muhammadiyah itu akan bertemu dalam satu forum untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan selama empat hari.

Melihat peserta yang akan mempresentasikan makalah atau menjadi pembahas pada IRCM, bisa dikatakan ini adalah konferensi akademik tentang Muhammadiyah yang pertama dan terbesar yang pernah ada. Pembicara hadir dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Perancis, Australia, Korea Selatan, dan Jepang. Berbeda dari pertemuan-pertemuan Muhammadiyah yang selama ini terjadi, acara ini didominasi bukan oleh aktivis atau orang Muhammadiyah, tapi justru oleh orang non-Muhammadiyah, non-Muslim, dan non-Indonesia. Dari sekitar 60 pemateri yang hadir, kurang dari 50 persen yang merupakan aktivis Muhammadiyah. Pembicara dari luar negeri juga menjadi komponen terbesar dari acara ini, yaitu lebih dari 50 persen.

Acara ini bisa dikatakan sebagai temu darat dari komunitas pengkaji Muhammadiyah yang selama ini penulis data dalam blog Muhammadiyah Studies (muhammadiyahstudies.blogspot.com). Acara seperti ini belum pernah diadakan oleh organisasi apapun di Indonesia, tidak NU (Nahdlatul Ulama) dan tidak pula Persis (Persatuan Islam). Barangkali memang sudah seharusnya Muhammadiyah menjadi pioneer mengingat organisasi ini adalah yang termasuk paling tua di Indonesia. Meski kegiatan ini tidak secara resmi diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah, namun PP Muhammadiyah menyokong kegiatan ini dan dibalik seluruh rangkaian kegiatannnya. Yang paling tampak tentu saja adalah peran UMM sebagai OC (Organizing Committee).

Sebagian dari kita, orang Muhammadiyah, selama ini barangkali bertanya, “Mengapa belakangan ini kajian akademik tentang Muhammadiyah sepertinya kalah dari kajian akademik tentang NU atau kajian tentang radikalisme?” Atau paling tidak bertanya, “Mengapa kajian tentang Muhammadiyah tidak seramai dulu pada tahun 1960-an atau 1970-an ketika banyak sarjana asing berbondong-bondong ke Muhammadiyah dan mengkaji organisasi ini?” IRCM akan ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bahwa saat ini Muhammadiyah tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh para sarjana. Meski tak seramai dulu, masih ada sarjana-sarjana asing yang tertarik meneliti Muhammadiyah atau masih banyak tema-tema ke-Muhammadiyahan yang mengundang daya tarik para sarjana untuk menelitinya, terutama mereka yang dari luar negeri.

Banyak tema-tema ke-Muhammadiyahan yang mungkin tak terpikirkan oleh orang-orang Muhammadiyah sendiri yang akan dibahas pada konferensi ini. Professor Hyun-Jun Kim, misalnya, akan membahas sistem kepemimpinan 13 orang di Muhammadiyah. Ia meneliti tentang sejarah sistem ini; sejak kapan sistem ini diberlakukan dan bagaimana sistem pemilu di Muhammadiyah pada periode awal. Kemudian, dari aspek sejarah, tema-tema Suara Muhammadiyah periode awal akan menjadi bahasan dari presentasi Endy Saputro. Perbandingan antara Ghulen movement di Turkey dan Muhammadiyah di Indonesia, serta perbandingan antara Aligarh di India dan Muhammadiyah di Indonesia juga akan menjadi satu tema pembahasan di konferensi ini. Untuk tema kepemudaan, perpindahan orang-orang NU menjadi aktivis Muhammadiyah dan demikian pula perpindahan beberapa aktivis muda Muhammadiyah ke kelompok garis keras seperti yang terjadi di Gresik dan Lamongan, akan diungkapkan diantaranya oleh presentasi hasil penelitian Din Wahid.

IRCM tentu sangat berguna untuk melihat perkembangan Muhammadiyah dalam masa 100 tahun lewat dan juga bisa menjadi jendela untuk melihat kira-kira seperti apa nasib, posisi, dan peran organisasi ini dalam 100 tahun yang akan datang. Penulis yakin, para pengurus Muhammadiyah akan banyak mendapat manfaat jika hadir pada sesi-sesi di konferensi ini. Ada delapan sesi di IRCM ini, yaitu: sejarah, filantropi, pendidikan, pembaruan, politik, isu perempuan, pemuda dan radikalisme, dan Muhammadiyah studies.

No comments:

Post a Comment