Suara Muhammadiyah, 20 / 97 | 30 ZULKAIDAH - 15 ZULHIJJAH 1433 H / 16 - 31 OKTOBER 2012, pp. 56-57.
Oleh Ahmad Najib Burhani
Seusai pembentukan kepanitiaan, Nakamura dan Azra, dibantu
oleh penulis, aktif mendata sarjana-sarjana yang pernah menulis buku atau
artikel di jurnal ilmiah atau MA tesis dan disertasi doktoral tentang
Muhammadiyah. Para sarjana ini dihubungi satu-persatu untuk diajak
berpartisipasi mempresentasikan makalah atau menjadi pembahas dalam acara ini.
Setelah mendapatkan respon positif dan kesediaan mereka untuk hadir dari para
sarjana ternama seperti Herman L Beck, Mark Woodward, MC Ricklefs, Michael
Laffan, Jonathan Benthall, Hyung-Jun Kim, Tim Lindsay, Nelly van Doorn-Harder,
dan sarjana-sarjana yang telah disebutkan di atas, baru dibuka call for papers (CfP). Undangan terbuka melalui CfP itu
dimaksudkan untuk menjaring sarjana-sarjana di bidang Muhammadiyah
seluas-luasnya, terutama mereka yang selama ini belum terlacak atau masih
yunior. Inilah beberapa proses yang
menyebabkan agenda program yang dihasilkan untuk acara yang diselenggarakan
pada 29 November-2 Desember 2012 ini tampak cukup matang.
Oleh Ahmad Najib Burhani
Sekretaris SC IRCM (International Research Conference on
Muhammadiyah), kandidat doktor di Universitas California-Santa Barbara, dan
Peneliti LIPI
Oktober 2011 yang lalu penulis mendapat email dari Mitsuo
Nakamura, pakar tentang Muhammadiyah dari Chiba University Jepang, yang isinya
meminta penulis untuk ikut membantu rencana penyelenggaraan International Research Conference on
Muhammadiyah (IRCM). Tentu saja ajakan tersebut penulis sambut dengan
sangat antusias. Pasalnya, sejak meluncurkan blog Muhammadiyah Studies (muhammadiyahstudies.blogspot.com) pada
November 2009 yang lalu, memang terbersit harapan agar dalam peringatan 100
tahun Muhammadiyah (1912-2012) ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah atau institusi
lain berminat untuk menyelenggarakan konferensi internasional tentang
Muhammadiyah.
Konferensi internasional itu sangat berguna untuk melihat
perkembangan studi Muhammadiyah yang selama satu abad ini telah dilakukan oleh
banyak sarjana, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Konferensi ini juga
penting untuk melihat peluang kajian pada masa yang akan datang atau tema-tema
yang belum tersentuh pada kajian tentang Muhammadiyah yang dilakukan oleh
sarjana Muhammadiyah terdahulu. Manfaat lain, secara praktis konferensi ini
juga berfungsi membantu melihat atau memprediksi nasib, peran, dan posisi
Muhammadiyah pada 100 tahun yang akan datang.
Sebelum tahun 1980-an, kajian tentang gerakan Islam di
Indonesia didominasi oleh studi-studi tentang Muhammadiyah. Hampir setiap sarjana dari Eropa dan Amerika yang
mengkaji Islam di negeri ini hamper selalu menuliskan tentang peran dan posisi
Muhammadiyah. Ini, misalnya, bisa dilihat pada karya-karya sarjana seperti
Clifford Geertz, Harry Benda, Leslie Palmier, Lance Castles, Howard Federspiel,
Mitsuo Nakamura, dan James Peacock. Dalam karya-karyanya, para sarjana itu
seakan melihat bahwa masa depan Islam di Indonesia itu tak lain dan tak bukan
terletak di tangan Muhammadiyah.
Benda dalam disertasinya di Cornell tahun 1955 (The Crescent and the Rising Sun), Geertz
dalam The Religion of Java (1960),
dan Castles dalam buku Religion,
Politics, and Economic Behavior in Java : The Kudus Cigarette Industry (1967)
menunjukkan potensi cemerlang Muhammadiyah dalam bidang politik, agama, dan
ekonomi. Demikian pula dengan Peacock
dalam karyanya Muslim Puritans: Reformist
Psychology in South East Asian Islam (1978) dan Purifying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam (1978),
Federspiel dalam artikelnya “The Muhammadijah: A Study of an Orthodox Islamic
Movement in Indonesia,” dan Nakamura dalam disertasinya yang berjudul the Crescent Arises over the Banyan Tree (1983).
Karya-karya itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah bisa menjadi tulang punggung
Indonesia untuk menjadi negara besar dan makmur.
Namun rupanya kajian
tentang Islam di Indonesia mulai tahun 1980-an mengalami pergeseran. Kajian
tentang Muhammadiyah mulai ditinggalkan para sarjana dan tesis-tesis mengenai
kemampuan Muhammadiyah untuk memberikan spirit kapitalisme mulai dipertanyakan
para sarjana. Kajian tentang Muhammadiyah pada periode ini hingga 2000-an juga
didominasi oleh orang Indonesia sendiri seperti Ahmad Jainuri, Din Syamsuddin,
dan Alwi Shihab. Para sarjana asing lebih melirik studi tentang NU (Nahdlatul
Ulama) yang terlihat lebih atraktif dan lincah, berubah kesan sebelumnya
sebagai gerakan kelompok tradisionalis dan sarungan. Ini bisa dilihat dari
sarjana-sarjana Islam Indonesia periode ini seperti Martin van Bruinessen, Greg
Barton, Greg Fealy, Andrée Feillard, Douglas Ramage, dan Robin Bush.
Bahkan sarjana yang dulu mengkaji Muhammadiyah seperti Nakamura pun sempat
beralih untuk meneliti NU, seperti terlihat dalam tulisannya tentang Muktamar
NU di Semarang 1979 dan Muktamar Situbondo 1984 dalam buku Nahdlatul Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia
(1996).
Kajian tentang Islam Indonesia kembali mengalami pergeseran
setelah Tragedi WTC, 11 September 2001. Kajian yang paling marak sejak kejadian itu adalah tentang radikalisme dan
terorisme. Ada beberapa studi tentang NU dan Muhammadiyah, namun itu juga
dikaitkan dengan tema besar tentang terorisme atau konservatisme. Beberapa
sarjana yang dulu menulis disertasi dan artikel tentang NU dan Muhammadiyah,
seperti Robin Bush, juga kemudian menjadi pakar tentang radikalisme dalam Islam
di Indonesia. Beberapa pergeseran-pergesan dan fenomena sosial-keagamaan
inilah, diantaranya, yang melatarbelakangi hasrat untuk melihat kembali dan
mengkaji karya-karya kesarjaan tentang Muhammadiyah. Konferensi internasional
tentang Muhammadiyah ini, karenanya, menjadi sangat penting dan wahana yang
tepat untuk tujuan itu.
Mitsuo Nakamura dan Azyumardi Azra
Inisiatif awal
penyelenggaraan IRCM ini datang dari Mitsuo Nakamura dan Azyumardi Azra. Dua
orang inilah yang sejak awal mempersiapkan proposal dan menghubungi beberapa
orang, baik aktivis Muhammadiyah maupun sarjana Muhammadiyah, untuk terlibat
dalam penyelenggaraan acara ini. Diantara mereka yang kemudian berpartisipasi
aktif dalam kepanitiaan adalah M Amin Abdullah, Siti Chamamah Suratno, Siti
Syamsiyatun, Robert Hefner, dan James Peacock.
Selain para
sarjana dan aktivis senior, sebetulnya Nakamura dan Azra sempat menghubungi
beberapa anak muda Muhammadiyah untuk terlibat dalam kepanitiaan. Namun
demikian, mungkin karena aktivitas lain yang mereka tekuni, hanya sedikit orang
muda yang terlibat aktif. Diantaranya yang sedikit itu adalah penulis
sendiri yang diminta untuk menjadi sekretaris SC (Steering Committee). Beberapa anak muda lain banyak yang terlibat
dalam OC (Organizing Committee),
terutama mereka yang berasal dari Angkatan Muda Muhammadiyah di Malang.
Mitsuo Nakamura, Muhadjir Effendy, Azyumardi Azra, & Amin Abdullah |
UMM dan Muhadjir
Effendy
Inisiatif untuk menyelenggarakan IRCM ini barangkali tidak
akan berlanjut jika tidak mendapat sambutan positif dan dukungan dari Muhadjir
Effendy, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kepedulian Effendy
terhadap khazanah Muhammadiyah patut ditiru oleh rektor-rektor dari universitas
Muhammadiyah yang lain. UMM bersedia membiayai IRCM ini hampir seratus persen.
Total biaya acara ini sendiri diperkirakan mencarai ratusan juta rupiah. Effendy
menyempatkan hadir dalam beberapa rapat panitia dan bersedia menghubungi
sendiri gubernur Jawa Timur, Sukarwo, untuk hadir memberikan sambutan dalam pembukaan
acara ini.
Kepedulian Muhadjir Effendy terhadap khazanah Muhammadiyah
ini sebetulnya tidak hanya terbatas pada dunia akademik, tapi juga pada hal
lain. Misalnya, seperti dituturkan beberapa teman di UMM, ia pernah menanyakan
tentang kuburan KH Ahmad Dahlan di kampung Karangkajen, Mergangsan,Yogyakarta
yang tak begitu sesuai dengan kebesaran namanya sebagai pahlawan nasional dan
pendiri Muhammadiyah. Ia lantas menawarkan untuk memperbaiki makam itu, atau
paling tidak merawatnya. Azyumardi Azra menyetujui rencana ini. Menurut Azra, ini
bukan berkaitan dengan unsur klenik, mengkultuskan Dahlan, atau menyembah
kuburan. Tapi lebih kepada kesadaran sejarah masa lalu yang di Muhammadiyah
sepertinya kurang mendapat tempat.
Satu-satunya kesadaran sejarah yang kentara pada organisasi
ini adalah terletak pada tekanannya pada konsep al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah (kembali ke Al-Qur’an dan
Sunnah). Sementara kekayaan khazanah lama Islam yang lain kurang begitu
dihargai. Efek tidak langsung dari lemahnya kesadaran sejarah ini diantara berbentuk
lembahnya penghormatan terhadap tokoh-tokoh besar masa lalu seperti pendiri
organisasi ini. Memang benar, seperti disampaikan Yunahar Ilyas, Muhammadiyah
bukanlah Dahlaniyah. Tapi pernyataan ini saya yakin tidak dimaksudkan sebagai bentuk
tidak adanya rasa hormat terhadap pendiri organisasi ini.
--oo0oo--