Suara Pembaruan, 30 Januari 2008
Oleh : Jeffrie
Geovanie
Kurang lebih dua pekan sebelum Soeharto wafat, puluhan siswa Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah di Surabaya mendoakan kesembuhan Soeharto yang saat itu masih terbaring sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Anak-anak yang masih polos itu tak peduli dengan kecaman banyak pihak terhadap Soeharto. Bahkan pimpinan sekolah itu pun, karena khawatir ikut dikecam, tak mengakui kalau anak didiknya berdoa khusus buat Soeharto. Cuma, diakui bahwa doa untuk Soeharto dilakukan sebagai bentuk kilas-balik perjalanan Soeharto.
Riwayat hidup Soeharto memang tak bisa dilepaskan dari Muhammadiyah. Meskipun tidak memiliki nomor baku Muhammadiyah (NBM) sebagai tanda keanggotaan secara resmi, Soeharto bisa dikatakan sebagai calon kader Muhammadiyah karena menurut Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah ditetapkan sebagai salah satu sumber calon kader, dan Soeharto, dalam sejarah hidupnya, pernah mengenyam pendidikan SD Muhammadiyah.
Lantaran pernah dididik di sekolah Muhammadiyah dalam banyak kesempatan Soeharto memberikan harapan dan doa untuk kebesaran Muhammadiyah. Hal itu antara lain dinyatakan pada saat membuka Muktamar Muhammadiyah ke-41 (Desember 1985) di Surakarta. "Sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, saya ikut mengharapkan agar Muhammadiyah tumbuh makin besar, makin kuat, dan makin banyak amalnya dalam bidang-bidang yang amat luas."
Pernyataan yang kurang lebih sama diungkapkan kembali pada saat membuka Muktamar ke-42 (1990) di Yogyakarta, dan secara lebih tegas dinyatakan pada saat membuka Muktamar ke- 43 (1995) di Banda Aceh. Saat itu, sang jenderal mengatakan bahwa dirinya merupakan bibit Muhammadiyah yang ditanamkan untuk Bangsa Indonesia.
Pernyataan Soeharto secara umum tidak hanya membanggakan warga Muhammadiyah, tapi juga memudahkan gerak langkah organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 itu. Setelah Soeharto mengaku sebagai bibit yang ditanamkan Muhammadiyah, banyak di antara tokoh birokrat yang mengaku simpatisan atau anggota Muhammadiyah.
Padahal, sebelum itu, banyak anggota Muhammadiyah yang menjadi pegawai negeri menyembunyikan jati dirinya. Saking bangganya terhadap Soeharto, salah satu tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun, dalam suatu diskusi Pra Muktamar Aceh menyatakan, "bila perlu Muhammadiyah mengusulkan Pak Harto sebagai presiden seumur hidup...."
Kebijakan Politik
Meskipun demikian, bukan berarti Soeharto selalu berhubungan baik dengan Muhammadiyah. Ada sejumlah kebijakan politik yang membuat pimpinan Muhammadiyah bersitegang dengan Muhammadiyah, meskipun ketegangan itu lebih banyak latennya ketimbang mencuat di permukaan.
Ketegangan terjadi antara lain pada awal tahun 80-an, saat Soeharto mewajibkan seluruh kekuatan politik berasas tunggal Pancasila. Untuk mengantisipasi ketegangan yang meluas, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghadap Presiden Soeharto. Dari pertemuan itu, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud menjelaskan bahwa asas bagi ormas tidak harus Pancasila, karena ormas bukan kekuatan politik. Yang harus berasaskan Pancasila adalah parpol dan Golkar. PP Muhammadiyah sempat lega, namun kekhawatiran kembali muncul karena pada faktanya ormas-ormas pun dipaksa untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Karena paksaan itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah antara yang menerima dengan yang tidak. Yang tidak menerima asas tunggal lantas membentuk HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang masih eksis hingga saat ini meskipun asas tunggal sudah tak lagi diwajibkan. Sedangkan Pelajar Islam Indonesia (PII) terpaksa menjadi organisasi "bawah tanah" karena tidak menerima asas tunggal.
Muhammadiyah sendiri baru menerima asas tunggal setelah melalui perdebatan yang cukup dinamis dalam Muktamar ke-41 (1985) di Surakarta. KH A.R Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, mengibaratkan asas tunggal seperti "helm" bagi pengendara motor. Artinya, asas tunggal hanya dijadikan pelindung dari kemungkinan kecelakaan dalam perjalanan. Kebetulan, pada saat itu pemerintah baru saja mewajibkan pemakaian helm bagi semua pengendara motor.
Ketegangan hubungan Soeharto-Muhammadiyah kembali terjadi pada awal tahun 90-an, saat Amien Rais (waktu masih menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah) melontarkan gagasan perlunya suksesi kepemimpinan nasional. Amien menginginkan gagasan ini menjadi sikap politik Muhammadiyah, yang diputuskan dalam Tanwir (semacam Rakernas) di Surabaya 1993. Tapi, urung karena diredam oleh tokoh-tokoh senior terutama Lukman Harun dan Ketua PP Muhammadiyah saat itu, Prof KH Ahmad Azhar Basyir, MA. Tapi, ketegangan belum berakhir karena meskipun tak menjadi keputusan institusional toh secara informal Amien Rais terus menggulirkan gagasan perlunya pergantian kepemimpinan nasional.
Puncak ketegangan terjadi saat memasuki 1997, terutama setelah Amien Rais mengritik kebijakan Soeharto di Busang, Kalimantan Timur dan Freeport di Irian Jaya. Ketegangan kali ini bahkan menular ke tubuh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia) lantaran pada saat itu, Amien juga termasuk pejabat teras ICMI, yakni sebagai Ketua Dewan Pakar yang secara struktural tidak lebih rendah dari kursi Ketua Umum yang diduduki BJ Habibie.
Berbeda dengan ICMI yang kemudian melengserkan Amien Rais dari kursi Ketua Dewan Pakar di Muhammadiyah, kedudukan Amien semakin kokoh karena sebagian besar elite Muhammadiyah berdiri di belakang Amien yang nota bene Ketua PP Muhammadiyah. Dinamika hubungan Soeharto-Muhammadiyah kembali bergeser pada awal 2008, saat mantan presiden ini dirawat di RSPP. Amien Rais, yang masih dianggap sebagai tokoh Muhammadiyah, mengajak rakyat Indonesia untuk memaafkan kesalahan
Soeharto.
Meskipun ajakan ini dikecam para aktivis, terutama para korban kekerasan rezim Orde Baru, toh tidak sedikit dari tokoh utama Muhammadiyah yang mengamini ajakan Amien, tentu tidak diumumkan secara terbuka. Bisa jadi, doa puluhan siswa SD Muhammadiyah yang disinggung di awal tulisan ini merupakan puncak gunung es yang menggambarkan hubungan batin antara Soeharto dan Muhammadiyah. Wallahualam!
Penulis adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah