Pendidikan tingkat sarjana diselesaikan oleh Amien Rais di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada pada tahun 1968, sementara ia juga menerima gelar Sarjana Muda dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1969. Pada saat mahasiswa inilah ia banyak terlibat aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Ketua III Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta).
Studinya dilanjutkan pada tingkat Master di bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Amerika Serikat, dan selesai pada tahun 1974. Dari universitas yang sama ia juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sementara itu, gelar Doktoralnya diperoleh dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1981 dengan disertasinya yang cukup terkenal, yaitu Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ia juga pernah mengikuti Post-Doctoral Program di George Washington University pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988.
Perjalanan pendidikannya tersebut telah memberinya banyak pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis, dan mengantarkannya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri ini, bahkan di berbagai belahan dunia yang lain. Tugas-tugas intelektualisme pun ia lakukan, baik transformasi keilmuan (mengajar di berbagai universitas) dan juga melakukan kritik atas fenomena sosial yang sedang berlangsung.
Kritiknya yang sangat vokal sangat mewarnai opini publik di Indonesia. Sepulangnya dari pendidikan di Amerika, ia terkenal sebagai pakar politik Timur Tengah, dan melontarkan kritik yang sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempat ia sendiri belajar banyak tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Kondisi politik dan perekonomian di Indonesia yang sudah mulai membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorong Amien Rais bersuara keras pada tahun 1993 (Tanwir Muhammadiyah di Surabaya) dengan isu suksesi kepresidenan, sebuah isu yang janggal pada saat itu karena kepemimpinan Orde Baru masih sangat kuat. Pembusukan politik dan ekonomi pada dasawarsa kedua tahun 1990-an mendorongnya kembali menggulirkan gagasan tentang suksesi, bahkan lebih luas lagi, yaitu reformasi politik di Indonesia. Berawal dari kasus Freeport dan Busang, ia mulai menggulirkan perubahan sosial yang mendasar di negeri ini. Bahkan, ia akhirnya menjadi orang terdepan dalam meruntuhkan kebobrokan politik Orde Baru.
Keterlibatannya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah dimulai sejak Muktamar Muhammadiyah tahun 1985 di Surakarta sebagai Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, ia terpilih sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun meninggalnya Azhar Basyir sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian mengantarkannya untuk menggantikan kepemimpinan dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Muktamar Muhammadiyah ke-43 kembali mengamanatinya untuk menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Lagi-lagi, sejarah bangsa ini mengharuskannya meninggalkan jabatan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk melakukan sesuatu yang lebih besar lagi bagi ummat dan bangsa ini. Pada Sidang Pleno di Jakarta tahun 1998, Ia mengundurkan diri sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.Retrieved from: http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=50
No comments:
Post a Comment