Monday, March 1, 2010

Post-Muhammadiyah: Kado Seabad Muhammadiyah

Islamlib.com, Kolom, 15/02/2010
Oleh Muhammad Asratillah Senge

Post-Muhammadiyah mewartakan jargon “kematian skripturalisme” karena skriptualisme adalah awal dari reduksi terhadap pengalaman keberagamaan baik secara individual maupun sosial. Post-Muhammadiyah mewartakan bahwa teks-teks agama--termasuk di dalamnya Alqur’an--bukanlah barang jadi dan senantiasa siap pakai. Teks-teks itu menunggu dan membutuhkan pembacaan manusia dengan segala pengalaman dan perangkat kemanusiaannya.

Sejak kelahirannya satu abad lampau, Muhammadiyah mulai berkiprah dan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi sejarah dalam konteks ruang dan waktu saat itu. Saat umat masih begitu terperangkap di dalam jaring-jaring mitos dan adat, Muhammadiyah datang mewartakan pentingnya nalar. Saat umat mengalami kekeroposan secara kelembagaan sosial, Muhammadiyah datang memperkenalkan sistem manajerial yang bersifat rasional. Saat taklid merupakan tren keberagamaan, Muhammadiyah datang menawarkan untuk berani berijtihad dan melakukan tajdid. Saat diam adalah kultur umat, maka Muhammadiyah datang menawarkan praksis amar makruf nahi mungkar.

”Gerakan Islam modern” barangkali ungkapan yang tepat untuk Muhammadiyah. Kalau Modernisme selalu dikaitkan dengan etika Protestantisme, maka Muhammadiyah adalah model Islam Protestanis. Menurut Sukidi, salah satu Pendiri Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dalam artikel berjudul “Muhammadiyah Sebagai Reformasi Islam Model Protestan”, tesis Muhammadiyah sebagai Islam model Protestan dapat dibuktikan dengan adanya kemiripan antara gerakan reformasi Islam Muhammadiyah dengan Reformasi Protestan. Pertama, baik Calvinis Protestan maupun kaum puritan Muhammadiyah, keduanya sama-sama mengajarkan skriptualisme: kembali kepada ajaran dasar kitab suci. Inilah yang dikenal dengan istilah sola scriptura atau kembali kepada kitab suci. Kedua, sebagai konsekuensi prinsip sola scriptura, lahirlah prinsip sola fidea, tidak perlunya ada perantara antara Tuhan dan manusia. Ketiga, Calvinis Protestan maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama mengikuti apa yang disebut Max Weber sebagai disenchantment of the world. Ini adalah etos untuk menolak semua piranti magis dan mendasarkan diri pada kehidupan asketis dan kalkulasi dunia yang rasional. Keempat, sebagai konsekuensi dari prinsip ketiga, Muhammadiyah puritan melakukan purifikasi iman untuk merasionalkan doktrin Islam.

Namun Theodore Adorno dan Max Horkheimer punya catatan soal kecenderungan menolak magis ini. Dalam Dialectic of Enlightenment (1973) mereka mengatakan bahwa modernisme yang spirit awalnya untuk melakukan pembebasan terhadap nalar manusia dengan menghancurkan mitos-mitos kehidupan, justru telah melanggar sumpah sendiri karena mengambil alih citra musuh bebuyutannya (yaitu mitos). Modernisme pun telah manjadi mitos tersendiri. Yang membedakan mitos masyarakat tradisional dengan mitos masyarakat modern adalah pada cara bertuturnya mitos itu. Jika mitos masyarakat tradisional menggunakan magis sebagai alat legitimasinya, maka mitos masyarakat modern menggunakan nalar sebagai alat legitimasinya. Tetapi semangat pada hakikatnya, semangat kedua mitos itu sama, yaitu menolak the other (sang liyan).

Akibatnya, jika sejak awal Muhammadiyah ingin membebaskan manusia dari penjara mitos tradisional dengan karakter puritannya, kini mereka kembali terjebak oleh mitos-mitos baru dalam bentuk ritus-ritus modern. Ini bisa kita lihat dari analogi Muhammadiyah dengan gajah gemuk. Artinya, Muhammadiyah itu besar, struktur birokrasinya sudah kuat dan meluas, tetapi kurang cepat dalam merespon keadaan kontemporer. Indikasinya adalah gagalnya Muhammadiyah menjadi gerakan alternatif bagi orang-orang terpinggirkan. Bahkan ada sinyalemen bahwa Muhammadiyah kini semakin suka dengan kekuasaan. Paham keagamaan Muhammadiyah pun tampak kurang kritis dan tidak progresif. Muhammadiyah kini sering menunjukkan sikap keagamaan yang malu-malu.

Jauh dari tema zamanya barangkali sebutan yang paling mungkin bagi Muhammadiyah saat ini. Dan ini adalah sebuah kekhilafan dan kesalahan. Namun demikian, “...janganlah terlampau marah terhadap kesalahan. Kata orang pula, kesalahan mungkin hanya satu tahapan dalam mencari kebenaran. Anak pun bisa berjalan setelah ia pernah jatuh” (Goenawan Muhammad, Kenapa Orang Tua Punya Kelebihan, 1980). Karena itu, diperlukan gagasan terobosan untuk menyegarkan kembali pemikiran dan aksi Muhammadiyah.

Saya menawarkan konsep Post-Muhammadiyah. Itilah ini mungkin bisa mengundang kesalahpahaman, karena Post-Muhammadiyah bisa berarti “setelah” Muhammadiyah sambil menafikan eksistensi Muhammadiyah. Namun anggaplah gagasan Post-Muhammadiyah adalah antitesis terhadap beberapa kecenderungan (tidak semua) dari Muhammadiyah saat ini. Umpamanya watak “modernitas Muhammadiyah”. Antitesis ini lahir bukan dalam rangka menafikan atau menghancurkan tesisnya, tetapi dalam rangka mengundang tesis (Muhammadiyah) menjadi bagian diri dari antitesis (post-Muhammadiyah) dan juga sebaliknya: dalam rangka berdialektika menuju sesuatu yang lebih baik.

Apakah isi dari gagasan Post-Muhammadiyah itu. Saya punya beberapa tawaran. Pertama, Post-Muhammadiyah mewartakan jargon “kematian skripturalisme” karena skriptualisme adalah awal dari reduksi terhadap pengalaman keberagamaan baik secara individual maupun sosial. Post-Muhammadiyah mewartakan bahwa teks-teks agama--termasuk di dalamnya Alqur’an--bukanlah barang jadi dan senantiasa siap pakai. Teks-teks itu menunggu dan membutuhkan pembacaan manusia dengan segala pengalaman dan perangkat kemanusiaannya. Kedua, Post-Muhammadiyah menawarkan ketidakmungkinan adanya hubungan yang transparan antara makhluk dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan selalu mengimplikasikan aktivitas memanusiakan citra Tuhan.

Ketiga, Post-Muhammadiyah menawarkan pluralisme realitas. Watak realitas bersifat majemuk dan setiap realitas selalu membutuhkan perangkat yang berbeda-beda untuk dipahami. Nalar bukanlah segala-galanya cara untuk membuat paham, begitu pula teks keagamaan nan harfiah. Masih ada beberapa perangkat lain yang perlu dipertimbangkan, seperti intiuisi ataupun imajinasi yang tak kalah pentingnya bagi kemanusiaan. Keempat, purifikasi selalu membawa konsekuensi munculnya pihak yang merasa diri berwenang untuk melakukan purifikasi. Iman diklaim selalu berdampingan dengan kebenaran, dan iman yang benar berarti kebenaran itu sendiri. Pihak yang merasa berhak melakukan purifikasi dan merasa imannya pure (murni), senantiasa merasa sebagai pihak yang berada pada posisi kebenaran. Pada akhirnya terjadi monopoli kebenaran. Post-Muhammadiyah menawarkan konsep kebenaran yang polyfonik dan berwajah banyak. Kelima, Post-Muhammadiyah ingin menghidupkan kembali tendensi emansipatoris dari spirit surat al-Ma`ûn yang selama ini terkubur dan hanya menjadi slogan. Post-Muhammadiyah ingin memerangi watak borjuis yang ditentang semangat kenabian dan ingin menjadikan kaum marjinal sebagai teman hidupnya.

Keenam, bila meminjam gagasan Michael Foucoult, dapatlah dikatakan bahwa Muhammadiyah telah menjadi sebuah penjara yang hasratnya adalah sekadar untuk mendisiplinkan. Gagasan, pandangan keagamaan, sampai ritual organisasi sehari-hari yang dianggap melenceng akan dengan mudah dicap “sesat”. Muhammdiyah tampak bertendensi menjadi semacam panopticon, yaitu menara pengawas yang memperhatikan dan mengawasi gerak-gerik tahanan setiap waktu. Pengawasan tidak hanya dijalankan dari para pimpinan kepada para kader dan pimpinan, tetapi juga dengan mekanisme pengkaderan yang tidak mencerahkan dan memberikan hak otonomi para kader dan anggota untuk mengawasi diri sendiri. Post-Muhammadiyah menawarkan untuk membongkar semua ini dan melakukan perayaan kesadaran kapan pun, di mana pun.

Barangkali gagasan-gagasan ini belum begitu matang dan mendalam. Tapi mudah-mudahan, gagasan ini dapat menyulut semangat dialog yang lebih intens dan tajam di kemudian hari. Terakhir, saya dengan ikhlas menghadiahi konsep Post-Muhammadiyah ini sebagai kado ulang tahun Muhammadiyah yang telah menempuh umur seabad.


* Muhammad Asratillah Senge adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan.

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/post-muhammadiyah-kado-seabad-muhammadiyah/

No comments:

Post a Comment