Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang
Berpolitik atau menjadi organisasi masyarakat murni?
Wawancara Fediya Andina
04-07-2005
Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, Jawa Timur diharapkan dapat menjawab dua pertanyaan penting. Apakah organisasi itu akan berpolitik atau kembali menjadi organisasi masyarakat murni. Dan yang kedua apakah pemimpinnya harus seorang ulama, atau cendekiawan atau kombinasi dari keduanya. Ahmad Najib Burhani, peneliti LIPI dan juga anggota Pemuda Muhammadiyah menghendaki arah kemasyarakatan dan menolak dijadikan alat karir politik individu. Kalau ingin berpolitik harus lewat PAN atau PKS. Lebih lanjut berikut Ahmad Najib Burhani kepada Radio Nederland:
Ahmad Najib Burhani [ANB]: "Untuk membicarakan apakah perlu ulama atau perlu cendekiawan itu saya kira mungkin lebih baik adalah dua-duanya. Yaitu seorang cendekiawan yang ulama. Karena butuh orang yang mengayomi, tidak sekadar memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan politik. Harapannya kepada ulama, mungkin dia adalah seorang pemimpin yang bisa membawa Muhammadiyah menjadi organisasi kultural murni. Bukan semata-mata menjadi organisasi politik yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik beberapa orang."
Politik atau agama?
Radio Nederland [RN]: "Tapi kan ada hubungannya siapa yang menjadi pemimpin itu dengan visi dan misi Muhammadiyah dalam beberapa tahun mendatang. Menurut Bapak titik beratnya ke mana, politik atau agama?"
ANB: "Nah itulah yang mungkin dihindari oleh teman-teman kalangan muda. Kalau kita misalnya memilih seperti bapak Din Syamsuddin atau Pak Malik Fajar, itu kekhawatirannya kita tidak bisa menjamin bahwa Muhammdiyah itu tidak dibawa kepada politik. Meskipun kemarin sebelum muktamar, angkatan muda Muhammadiyah sudah membuat sebuah nota, meminta supaya siapa pun yang akan memimpin Muhammadiyah harus berjanji tidak membawa Muhammadiyah itu menjadi alat atau kendaraan menuju presiden tahun 2009."
"Kalau kalangan muda Muhammadiyah menghendaki, Muhammadiyah itu sebagai organisasi murni kultural. Organisasi kebudayaan, kemasyarakatan dan sosial. Bukan organisasi politik. Biarlah misalnya organisasi politik itu ditangani oleh PAN atau PKS."
Dampak negatifnya
RN: "Apa buruknya, apa dampak negatifnya Muhammadiyah sebagai salah satu cara untuk berpolitik?"
ANB: "Tidak ada yang buruk. Tetapi seringkali ketika misalnya Muhammadiyah itu terlibat dalam politik, aspek-aspek yang lain di dalam kebudayaan itu menjadi dinomorduakan. Dan kecenderungannya misalnya, ketika politik itu dipilih maka strategi kebudayaan untuk mempengaruhi masyarakat, untuk membina ummat cenderung top-down bukan bottom-up. Nah kalau umpamanya strategi kebudayaan itu bottom-up. Dan mengakar dari masyarakat. Bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas. Meskipun misalnya, katakanlah kalau pilihan politik itu diambil dan kemudian menang, bisa mempengaruhi masyarakat. Tetapi itu tidak jaminan dan tidak bisa bertahan lama."
RN: "Selama ini sebagai anggota generasi muda Muhammadiyah anda merasa dipergunakan untuk karir politik individu begitu?"
ANB: "Tidak secara langsung dimanfaatkan untuk karir individu. Tetapi dukungan kepada pimpinan yang misalnya masuk dalam jaringan politik tertentu, maka itu akan memanfaatkan Muhammadiyah sebagai jaringan politik orang-orang tersebut. Lihat saja misalnya pada pemilu lalu atau pada pemilihan presiden yang lalu. Kita mungkin terbengkalai kepada usaha-usaha, upaya-upaya politik. Sementara upaya yang lain, pemikiran, dukungan kepada intelektual nyaris mungkin tak terperhatikan."
Kombinasi politik dan sosial
RN: "Kalau kombinasi politik dan sosial yang baik itu bisa dicapai pak? Nanti juga kalau memilih seorang ulama yang juga cendekiawan, hasilnya juga sama saja. Dia berambisi politik?"
ANB: "Nah itulah, kombinasinya itu yang agak bingung juga. Seperti apa? Menurut saya kita harus memilih karir politik atau karir kultural di Muhammadiyah. Jangan kemudian memanfaatkan Muhammadiyah sebagai kepentingan ini."
"Misalnya Pak Din Syamsuddin, meskipun ini adalah calon yang terkuat. Misalnya dia akan memilih sebagai politisi, dia harus secara serius menggelutinya melalui jalur partai. Bukan dengan menggunakan Muhammadiyah. Kalau misalnya dia menggunakan Muhammadiyah, dia harus memperhatikan khusus kepada Muhammadiyah dan untuk kepentingan Muhammadiyah. Dan bukan dimanfaatkan untuk kepentingan politik."
"Mestinya kemarin dia misalnya siap menjadi katakanlah ketua PAN. Bukan kemudian merebut Muhammadiyah dan katakanlah dia keinginannya menjadi ketua MUI juga untuk menjadi dua syariat dia untuk masuk ke 2009."
Jalur kultural
RN: "Kalau misalnya Muhammadiyah itu sudah mengambil jalur sosial-budaya dan memilih seorang pemimpin yang ulama, tetapi kemudian dalam beberapa tahun mendatang diminta oleh salah seorang politikus, atau mungkin oleh Presiden SBY sendiri untuk berkoalisi. Bagaimana itu?"
ANB: "Kalau umpamanya kita mengambil jalur kultural, biasanya kita akan tidak menentukan kepada siapa orangnya. Apakah dia kader Muhammadiyah atau kader bukan Muhammadiyah. Tetapi kalau umpamanya orang itu memiliki kwalifikasi tertentu yang layak untuk dipilih, tentunya dari manapun asalnya akan didukung. Dukungannya tentu saja tidak seperti dukungan dalam partai politik, tetapi sebagai sebuah organisasi massa. Kemarin kan, karena sudah terlanjur terlibat dalam politik, kan agak susah untuk bersikap seperti itu. Dari tanwir satu ke tanwir yang lain, suaranya sepertinya diseret terus untuk memberikan satu penyebutan nama siapa yang didukung."
Demikian Ahmad Najib Burhani, peneliti LIPI dan juga anggota Pemuda Muhammadiyah.
Kata Kunci: Ahmad Najib Burhani , Muhammadiyah
Retrieved from: http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/asiapasifik/10893819-redirected
No comments:
Post a Comment