Republika, 14 Agustus 2017
Oleh : Haedar Nashir
Benarkah kita mencintai Indonesia sepenuh jiwa-raga tatkala kehidupan kebangsaan saat ini sarat tarikan kepentingan yang serba niscaya? Manakala di antara komponen bangsa dengan gampang mengumbar amarah di ranah publik hanya karena masalah praktis. Pertanyaan sederhana ini layak untuk direnungkan ketika segenap rakyat di negeri ini merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke-72.
Fakta berbicara terbuka. Sekelompok orang bertepuk dada sebagai penjaga garda terdepan Indonesia. Berslogankan NKRI dan Pancasila harga mati. Namun begitu kepentingan sendiri terganggu, sertamerta menyebar kejengahan dan kangkuhan kolektif di ruang publik. Tak lupa menebar ancaman politik, tidak akan memberi dukungan dalam kontestasi politik 2019 kepada elite negeri yang tidak mengakomodasi kepentingannya.
Kelompok lain bersuara lantang. Siapa menolak PERPPU Ormas maka sama dengan anti-Pancasila, anti-NKRI. Sebaliknya mereka yang mendukung PERPPU berarti bela NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Sikap serba pilihan ganda itu digelorakan dengan fanatik buta seolah dunia keindonesiaan diambang kiamat.
Pihak lain melakukan politisasi yang sama. Menolak PERPPU berarti mendukung kelompoknya, sembari mengakapitalisasi posisi diri selaku korban politik kebijakan pemerintah. Lahirlah para hero baru, siapa melawan PERPPU dan anti-pemerintah sama dengan pejuang kebenaran sejati di Republik ini. Sebaliknya, mereka yang berada di seberang lain dianggap lemah dan sontoloyo.
Berbangsa dan bernegara menjadi hitam-putih. Saling bertabrakan keras. Masuk dalam pendulum ekstrem, kalau tidak A maka B. Bendera Indonesia yang berkibar di seluruh sudut negeri memang masih berwarna merah-putih dalam kesemerakkan yang tak tertandingi. Tetapi alam pikir, sikap, dan tindakan ber-Indonesia menjadi hitam-putih yang serba dangkal. Menjadi naif dan berkaca-mata kuda!
Oposisi Biner
Kenapa alam pikir dan sikap serba hitam putih cenderung merebak dalam kehidupan kebangsaan di negeri tercinta ini? Bukan hanya dunia politik yang dangkal, saling sandera, dan mudah gaduh. Hukum pun makin kering dari filosofi dan bingkai etik, bahkan rentan politisasi. Beragama lebih banyak verbalisme, yang tak menyentuh pesan suci yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan. Klaim agama rahmatan lil-'alamin, tapi perangai kolektif jauh panggang dari api.
Berbagai bingkai dan pelabelan sosial yang kontras seolah menjadi instrumen kolektif baru di tubuh bangsa ini. Kanan versus kiri, radikal lawan moderat, pro dan anti-NKRI, pro dan anti-Pancasila, pro dan anti-kebinekaan, dan beragam kategorisasi lainnya yang bertumbuh menjadi pola pikir kolektif. Kata-kata eksrem kanan dan ekstrim kiri diproduksi intens ke ruang publik, mengingatkan kita ke masa Orde Baru. Mengklaim moderat tapi sering ekstrem dan mudah marah ketika masuk ke area kepentingan diri, sehingga menjadi ekstrem-tengah.
Di kalangan umat beragama, lebih-lebih melalui media sosial mekar ujaran-ujaran teologis bernuansa garang dan amarah. Kata-kata sesat, munafiq, kafir, dhalim, dan kategorisasi keagamaan lainnya diproduksi dengan mudah di ranah publik. Lawan katanya tentu saja yang serba imani, yang kadang mengarah ke tazakku atau sifat paling diri suci. Reproduksinya dalam ujaran dan tulisan tidak jarang ekstrem, sehingga kehilangan sentuhan damai dan lembut hati sebagaimana uswah khasanah Nabi.
Ketika sebagian orang berusaha eklektik dipandang tak punya sikap, abu-abu, dan ambigu karena standar yang dipakai hitam-putih atau pilihan ganda yang ekstrem. Sikap tengahan dianggap nifaq atau hipokrit. Kenisbian dikalahkan oleh absolutisme. Objektivitas disandera subjektivitas. Pola pikir esai direduksi pilihan ganda. Kurvanya menjadi tidak normal lagi, karena bagian tengah ikut terarsir atau mengarsirkan diri dalam warna hitam-putih yang juga ekstrem. Pilihan ekstrem seakan menjadi arus utama, jika tidak ekstrem bukanlah pilihan yang benar.
Dalam bingkai nalar post-modern ala Ferdinand de Saussure dan Claude Levi-Strauss dari mazhab pos-strukturalis Perancis, alam pikir hitam putih menyeret manusia pada paham oposisi biner yang dangkal dan naif. Bahwa kategorisasi oposisi biner pada awalnya merupakan penanda yang memiliki keterkaitan esensi dan makna, bukan keterpisahan dan pertentangan. Mereka yang berbeda secara kategoris, seperti laki-laki dan perempuan menjadi eksis karena keduanya memang berbeda untuk saling terhubung. Keislaman dan keindonesiaan merupakan oposisi biner yang dapat saling bermakna dan berguna dalam keterhubungan yang menguatkan eksistensi keduanya, meski berbeda.
Namun di tangan orang-orang yang berpikiran hitam putih plus memiliki kepentingan tertentu, oposisi biner keislaman dan keindonesiaan seperti halnya relasi laki-laki dan perempuan kemudian dibenturkan untuk saling berhadapan sehingga terjadi konflik. Orang kalau sudah senang berlebihan, begitu pula sekali tak suka maka selamanya serba alergi. Sebanyak mungkin diproduksi isu-isu oposisi biner untuk menghasilkan konsleting dalam kehidupan berbangsa seperti pendukung Perppu versus penentang, ormas keagamaan lawan ormas kemasyarakatan, kaum Islamis versus nasionalis, pro-NKRI lawan anti-NKRI, pendukung lawan anti-Pancasila, kaum kanan versus kiri, serta isu-isu sensitif lainnya yang serba kontras yang muaranya menghasilkan benturan antarkomponen bangsa maupun antarkomponen bangsa dengan pemerintah.
Goresan hitam-putih menjelma menjadi paradoks kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Mengklaim kebhinekaan tetapi tidak toleran terhadap perbedaan. Mengaku moderat tetapi serbaekstrem. Telunjuk lurus menuding pihak lain radikal, saat yang sama bertindak radikal. Lemah lembut dipandang ringkih, sementara kegarangan dijadikan baju keangkuhan. Beragama pun sebatas formalisme, sementara perangai berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang dititahkan Tuhan dalam kanopi kehidupan yang sarat makna Ilahi dan kenabian nan hanif. Inilah dunia hitam-putih dalam balutan verbalisme yang dangkal, naif, dan kehilangan makna utama!
Menemukan makna
Sebuah negara terbentuk bukan semata karena kekuasaan, tetapi bersatunya secara integral seluruh kekuatan masyarakat dalam entitas bangsa, ujar Spinoza. Para pendiri bangsa berbulan-bulan membahas dan berdebat secara mendalam seputar dasar negara dari Indonesia yang akan didirikan, bersambung beberapa tahun hingga puncaknya di sidang Konstituante. Meski sering berbeda pandangan secara tajam, para tokoh bangsa itu isi kepala dan hatinya luar biasa kaya dengan pemikiran dan kearifan, sehingga menjadi sosok-sosok negarawan yang adiluhung.
Indonesia sebagai negara dan bangsa sebenarnya dibangun dengan fondasi pemikiran yang kokoh yang bermuara pada apa yang disebut Soekarno sebagai Weltanschauung atau pandangan hidup yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara dan agama yang menjiwai nilai-nilai Pancasila serta terrtanam kuat dalam ruhani bangsa Indonesia sejak lama. Para elite negeri harus punya cukup wawasan luas dalam memimpin Indonesia agar tidak hitam putih dan dangkal dalam mengambil keputusan, sekaligus memiliki referensi kenegarwanan yang melampau.
Pancasila dan agama yang hidup di negeri ini pun harus dipahami secara mendasar dan luas oleh para petinggi negeri agar tidak kering nilai dan visi. Agama dan Pancasila menyatu dalam alam pikiran masyarakat Indonesia yang relijius, altruis, dan humanistik.
Bagi umat beragama Pancasila bukanlah agama, tetapi kandungan setiap Sila-nya sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama. Termasuk bagi umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas, Pancasila senapas dengan nilai ajaran Islam. Pancasila menyerap nilai-nilai agama, lebih-lebih pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa plus keempat sila lainnya. Pada Pembukaan maupun pasal 29 UUD 1945 agama memperoleh tempat konstitusional yang kokoh.
Maka setiap pandangan dan usaha yang mempertentangkan keduanya menjadi tidak bermakna dan bahkan meluruhkan nilai dasar keduanya sebagai sumber nilai luhur berbangsa. Sebaliknya menyatukan keduanya secara sinkretis juga sama meluruhkan kedua nilai dasar itu, karena keduanya memiliki tempat yang berbeda, di mana agama merupakan ajaran suci bersumberkan wahyu Ilahi, sementara Pancasila lahir dari buah pikiran manusia yang disepekati untuk menjadi dasar bernegara. Keduanya memiliki maqom berbeda tetapi memiliki makna yang penting dan mendasar dalam memberi fondasi nilai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pula, Indonesia tidak dapat dikonstruksi dan diisi dengan ideologi sekuler, komunisme, dan paham lain yang berrtentangan dengan agama dan Pancasila. Pandangan ini mesti menjadi dasar berpikir dan bertindak segenap warga dan elite bangsa agar NKRI memiliki jiwa, alam pikiran, dan pola tindak yang mendasar dan benar sebagaimana kehendak para pendiri bangsa. Meski saat ini Indonesia memasuki fase baru demokratisasi dan penegakkan hak asasi manusia yang mengikuti alam pikiran universal dalam beragam ratifikasi produk PBB, tetapi tidaklah bebas dan bertentangan dengan Pancasila dan agama yang hidup dalam jiwa bangsa Indonesia.
Agenda penting yang bersifat aktual ialah bagaimana menerapkan dan mewujudkan nilai-nilai agama dan Pancasila dalam mencerahkan kehidupan kebangsaan, sehingga negeri dan bangsa ini tidak kehilangan pijakan dan arah laksana layang-layang yang putus tali. Di tubuh bangsa ini bukan verbalisme berbangsa yang harus didengungkan, tetapi harus masuk ke ranah internalisasi dan pelembagaan nilai sehingga mengaktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Kebhinekaan jangan menjadi jargon verbal minus isi dan tindakan.
Keberadaan bangsa dan negara tidak cukup memadai hanya bermodalkan idiom-idiom verbal tentang keindonesiaan seperti NKRI harga mati, Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinekaan yang formalistik. Pun tidak dapat dibangun dengan relasi kuasa dalam demokrasi verbal dan prosedural. Keindonesia tidak dapat hitam-putih, lebih-lebih dengan logika-logika dangkal dan naif. Berindonesia meniscayakan jiwa, pikiran, dan pola tindak yang filosofis dan ideologis dalam frame Pancasila maupun agama yang menjadi sukma keyakinan bangsa Indonesia. Penisbian apalagi pengingkaran atas nilai-nilai agama dan Pancasila sama dengan luruhnya ke-Indonesia-an.
Apalah artinya menggelorakan cinta Indonesia dan cinta Pancasila manakala berhenti pada ujaran dan retorika. Apalagi mana kata tak sejalan dengan tindakan. Jangan biarkan Indonesia diluruhkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama maupun Pancasila seperti korupsi, menguras kekayaan negara, membiarkan tangan-tangan serakah menggerogoti negeri, berbuat sewenang-wenang, menebar ketidakadilan, serta segala tindakan lain yang menyengsarakan rakyat dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Keserakahan pun jangan dibiarkan merajalela, sehingga kelompok kecil yang perkasa menguasai mayoritas yang lemah tanpa kendali kuasa negara, serta kelompok-kelompok komunal yang sarat keangkuhan kolektif mendikte kuasa negara.
Lalu, negara pun menjadi ringkih dan mudah terombang-ambing oleh beragam perangai anarkhis para penghuninya. Banyak orang kehilangan visi dan gampang bertindak kekanak-kanakan. Apa saja boleh dilakukan di negeri ini, sementara biduk negeri kehilangan kendali. Persis laksana ekspedisi kapal raksasa di tengah samudra lepas bergelombang dahsyat minus nakhoda tangguh dan kompas berlayar ke arah tujuan yang pasti. Fa-aina tadzhabun? Hendak dibawa ke mana Indonesia yang berusia 72 tahun ini dalam berlayar menuju pantai harapan?
http://www.republika.co.id/berita/kolom/teh-anget/17/08/14/ouoafs396-indonesia-hitamputih
Thursday, August 17, 2017
Sunday, August 6, 2017
The Educational Value of Sang Pencerah Film by Hanung Bramantyo: Aesthetic Research of Chiaroscuro
Publisher: American Scientific Publishers
Abstract
Focused on how film can be efficient to deliver educational values through Chiaroscuro, this paper shows a new dimension of seeing film as a media that can be equal with human ways of thinking. Both of these elements maximise memory, imagination, attention, emotion, and perception of values. Chiaroscuro is a lighting technique that emphasised in low-key lighting; a contrast boundary between light and dark area that gives influence emotion and cognition of viewers. Using Sang Pencerah film by Hanung Bramantyo as study case, we would discuss the background why Chiaroscuro has a significant influence in developing reflective interpretation and specific value in film. The method of this research was based on Elsaesser and Hagener film theory and Charles S. Peirce’s theory of semiotics. Moreover, through this research, we found that film actually has a ‘form language’ as its own aesthetic language. Going beyond artistic value, Chiaroscuro is able to reach philosophical aspect in life values, such as determination, peacefulness, and so on. Hopefully, this research will be able to contribute in the development of education aspect, especially in film studies.
Document Type: Research Article
Affiliations: 1: Program Studi Doktor, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 2: Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 3: School of Design, New Media Program, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia
Publication date: February 1, 2017
http://www.ingentaconnect.com/contentone/asp/asl/2017/00000023/00000002/art00025
Saturday, August 5, 2017
Muhammadiyah's 'progressive Islam': Guideline or tagline?
- Ahmad Imam Mujadid Rais
The Jakarta Post
Jakarta | Mon, August 3, 2015 | 06:14 am
Muhammadiyah, the country's second largest Muslim organization, will hold its 47th national congress (muktamar) in Makassar, South Sulawesi, this week. The congress will set up a new agenda for the next five years, including electing a new leader who will replace two-time chairman Din Syamsuddin.
Muhammadiyah's challenges and plans include internal consolidation of leadership, bureaucratic improvement and dealing with external issues of globalization, poverty and lack of education, low quality of human resources and the upcoming integrated ASEAN economic community.
In response to such challenges, Muhammadiyah's central board in the past years reformulated its movement through the notion of Islam berkemajuan, a hot topic among its members and activists.
'Progressive Islam', a loose translation of Islam berkemajuan, is clearly a part of the efforts to cope with challenges among its followers and among Indonesian Muslims, challenges which include poverty, injustice and human resources.
The translation itself is still problematic. Amin Abdullah, a former rector of the UIN Kalijaga, Yogyakarta, described in 2011 the slight differences between Islam berkemajuan, which emerged in the early 20th century, and Islam progresif as understood by academics. But let's just focus on the similarities.
Since the establishment of Muhammadiyah in 1912, its founder Kyai Haji (revered cleric and haj) Ahmad Dahlan fully understood that Islam is compatible with the idea of being progressive, and that Islam encourages its followers to be the best and reach the highest quality of life in political, economic, social, cultural and religious terms.
The idea of being progressive is deeply entrenched in Muhammadiyah's history. During the colonial period, shortly after Muhammadiyah's establishment, meetings held by Ahmad Dahlan with his students included proposals to build hospitals and orphanages.
One student, the future cleric KH Syuja, had laughed, saying it was impossible at the time. He later acknowledged confidence in the plans: Dutch people who built hospitals and orphanages, he wrote, 'are ordinary people who also eat rice. If others can do it, I am sure we can do it too.' History has recorded the program as a brilliant achievement for a new-born Muslim organization at the time.
The idea of fastabiqulkhairat (competition in goodness) also deeply inspired Muhammadiyah's activities. As a former chairman of Muhammadiyah, Buya (revered ulema) Syafii Maarif said, doing good deeds through the establishment of massive numbers of Muhammadiyah schools and clinics is not the main focus of the organization ' it is their quality and thus continued improvement.
According to Muhammadiyah's manifesto at its 46th national congress of 2010 in Yogyakarta, Islam berkemajuan should sow the seeds of truth, goodness, peace, justice, welfare and prosperity.
Islam upholds human dignity of both men and women without discrimination ' and inflames awareness against war, terrorism, violence, oppression, backwardness and all forms of destruction and degradation of life such as corruption, abuse of authority, crimes against humanity and exploitation of nature.
Attempts to summarize the spirit of Islam berkemajuan based on the teachings of Ahmad Dahlan and the writings of his students and companions reveal five features of the concept.
First is pure faith (tauhid), the central doctrine in Islamic teachings. Muslims committed to tauhid should have high social, intellectual and spiritual awareness. They should be optimists and hard working honest persons with no fear except of Allah. They should have the conviction that life is part of worshiping God.
Secondly, he or she should have a deep understanding of the primary sources of Islam, the Koran and the Prophet's sayings or hadith.
Third, there should be an institutionalization of charity aimed to solve problems based on the scripture and hadith. For instance, the establishment of hospitals and orphanages are part of the practice of surah Al-Ma'un. The establishment of Muhammadiyah itself is proof of faith as mentioned in surah Ali Imran: 104: to organize others to do good deeds, and prohibit them from committing sins.
Fourth, focus on the present and future. Islam berkemajuan prefers to solve present problems and prepare for the future rather than praise the glories of past Islamic kingdoms. Thus, Muhammadiyah should be well-prepared to overcome current problems and benefit the most from today's developments. Globalization and an integrated ASEAN economic community, for example, provides benefits such as through trade, science and global citizenship, though with negative impacts such as trafficking in persons, drug abuse, conflict and insecurity.
The rapid development of information and technology also provide tools for Muhammadiyah to contribute through innovations and creativity for Indonesia's development.
Fifth is a focus on being moderate and cooperation-oriented. Amid the resurgence of sectarianism and violent extremism the spirit of Muhammadiyah in its early years were open-mindedness, moderation, tolerance and promotion of dialogue among different groups and beliefs.
For example, in one gathering Ahmad Dahlan invited a leader of the Indonesian Communist Party (PKI) to explain the purpose of the party and their responses toward social and economic problems at that time. At Muhammadiyah's first hospital Ahmad Dahlan himself asked for the assistance of a Catholic physician, since the Muslim community at the time had no doctor.
These examples show that openness and cooperation in social matters is a part of Islamic teaching apart from egalitarianism and self-confidence to promote ideas and beliefs.
Overall, in its post-centennial era, Muhammadiyah must play a pivotal role to make Indonesian society more developed and prosperous. The spirit of Islam berkemajuan becomes a guideline for Muhammadiyah elements to be more proactive, responsive and provide solutions to current problems. To this end Muhammadiyah needs a modern and responsive management, led by strong and capable leaders, comprising a self-confident chairman and solid collegiality among its 13 leaders ' along with a strong vision for the future. Otherwise, the notion of its progressive Islam will be a mere tagline rather than concrete action.
____________________________... the spirit of Muhammadiyah in its early years were open-mindedness, moderation, tolerance and promotion of dialogue ...
_____________________________
The author is a secretary at LAZIS Muhammadiyah, the organization's alms body, and a researcher at the Maarif Institute for Cultural and Humanitarian Studies. He graduated with a Masters of International Relations from the University of Melbourne, Australia.
http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/03/muhammadiyah-s-progressive-islam-guideline-or-tagline.html
Tuesday, August 1, 2017
The Tajdid Movement of Muhammadiyah in Aceh "Negotiating Identity Between Salafism and Modernism"
Niki Alma Febriana Fauzi
Abstract
The Muhammadiyah movement aims to stimulate religious life according to Koran and Sunnah. Nevertheless, many Indonesians still believe that Muhammadiyah refuses to recognize local cultural heritage and traditions. This paper discusses two aspects of Muhammadiyah, namely Salafism and modernism, as elements of tajdid (renewal) that encourage modernity in Aceh. The spirit of tajdid in Muhamadiyah’s perspective has two meanings: (1) purification in akidah and ibadah (worship) in line with the practices of Prophet Muhammad SAW; and (2) tajdid means dynamizing people’s lives with a creative spirit that is suitable to the challenges and demands of modern era.
Keywords
Muhammadiyah, Tajdid, Aceh, Religious Movement.
http://www.jurnaltarjih.or.id/index.php/tarjih/article/view/107/104
Subscribe to:
Posts (Atom)