Dari ENSIKLOPEDI UMUM (1962/1967-1971/1973 – Kanisius, Yogyakarta) dapat dikutip dan diangkat kesaksian dan pernyataan sejarah sebagai berikut: “MUHAMMADIYAH sejak berdirinya maju pesat; jumlah anggotanya naik cepat. Berhasil mendirikan banyak rumah sekolah, memberikan kursus-kursus agama, mendirikan poliklinik, perumahan anak yatim-piatu, dll. Pengajaran modern untuk anak-anak perempuan sangat diperhatikan. Bagian wanitanya AISYIYAH, berdiri sendiri. Gerakan pemudanya ialah Kepanduan HIZBUL WATHON.”
Pernyataan dan kesaksian sejarah Hizbul Wathan juga terukir di dalam ENSIKLOPEDI ISLAM (Jilid-2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) sebagai berikut, “HIZBUL WATHAN (Arab=pembela tanah air), nama barisan pandu (sekarang pramuka) Muhammadiyah. Hizbul Wathan berazaskan: 1) Agama Islam dengan maksud: (a) Memasukkan pelajaran agama Islam dalam Undang-Undang dan Perjanjian Hizbul Wathan dan dalam syarat mencapai tingkat kelas; (b) Memperdalam dan meresapkan jiwa Islam dalam latihan kepanduan dan memajukan amal ibadat sehari-hari; 2) Ilmu Jiwa, yang dipakai dalam kegiatan belajar dan bermain; 3) Kemerdekaan dalam bekerja dan latihan. Tujuan dan maksud Hizbul Wathan adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti.”
HIZBUL WATHAN pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan oleh KH. Mas Mansur di Surabaya pada tahun 1916 setelah ia meninggalkan organisasi Nahdatul Wathan yang dibentuknya bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Muhammadiyah mengambil nama itu menjadi perkumpulan pandunya yang didirikan pada tahun 1918 di Yogyakarta. Gagasan pembentukan barisan kepanduan Hizbul Wathan dalam Muhammadiyah muncul dari KH. Ahmad Dahlan sekitar tahun 1916 ketika beliau kembali dari perjalanan tabligh di Surakarta pada pengajian SAFT (Sidiq, Amanah, Fathonah, Tabligh) yang secara rutin diadakan di rumah KH. Imam Mukhtar Bukhari. Di kota tersebut beliau melihat anak-anak JPO (Javansche Padvinders Organisatie) dengan pakaian seragam sedang latihan berbaris di halaman pura Mangkunegaran. Sesampainya di Yogyakarta, beliau membicarakannya dengan beberapa muridnya, antara lain Sumodirjo dan Sarbini, dengan harapan agar pemuda Muhammadiyah juga dapat diajar tentang kepanduan guna berbakti kepada Allah Swt. Sejak pembicaraan itu mulailah Sumodirjo dan Sarbini merintis berdirinya di dalam Muhammadiyah. Kegiatan pertama banyak diarahkan pada latihan baris-berbaris, olah raga, dan pertolongan pertama pada kecelakaan. Pada setiap Ahad sore para peserta dilatih dengan kegiatan-kegiatan di atas, pada malam Rabu mereka diberikan bekal keagamaan. Dari cikal bakal itu lahirlah Hizbul Wathan pada tahun 1918, pada waktu itu bernama Padvinder Muhammadiyah. Kemudian, karena dianggap kurang relevan, atas usul H. Hadjid nama itu ditukar menjadi Hizbul Wathan.
Susunan pengurus dan personalianya yang pertama adalah: Ketua H. Mukhtar Bukhari, Wakil Ketua H. Hadjid, Sekretaris Sumodirjo, Keuangan Abdul Hamid, Organisasi Siraj Dahlan, Komando Sarbini dan Damiri. Untuk memajukan Padvinder Muhammadiyah ini, para pengurus mengambil pedoman pelajaran dari JPO Surakarta.
Setelah tahun 1924 Hizbul Wathan berkembang di Jawa, bahkan telah dapat melebarkan sayapnya ke luar Jawa. Cabang-cabang baru Hizbul Wathan kian banyak berdiri. Cabang pertama yang berdiri di luar Jawa ialah di Sumatra Barat, yang dibawa oleh wakil-wakil yang menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta pada tahun 1928. Dalam kesempatan itu wakil-wakil tadi tinggal beberapa lama di Yogyakarta setelah Kongres usai guna mempelajari dan ikut latihan kepanduan; dengan modal itu mereka mengembangkan kepanduan di daerah yang mengutusnya.
Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta tanah air kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan yang bertekad ikut serta dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping itu, latihan-latihan kepanduan mempunyai andil yang besar dalam melatih kader-kader bangsa dalam menghadapi kaum kolonial yang sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-latihan itu ternyata membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan Hizbul Wathan ini muncul sederetan tokoh yang cukup handal, seperti Sudirman, KH. Dimyati, Surono, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik, Suharto, M. Sudirman, Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain. (Ensiklopedi Islam, I.B. Van HOEVE, Jilid II, hal. 119-120)
Ketika Jepang masuk, secara organisatoris Hizbul Wathan lebur, sesuai dengan kehendak Jepang yang membubarkan segenap organisasi yang ada pada waktu itu. Meskipun demikian, aktivis-aktivis Hizbul Wathan tetap berkiprah dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh Jepang seperti Keibondan, Seinendan, PETA, Hizbullah, dan sebagainya.
Dalam organisasi-organisasi tersebut malah para anggota Hizbul Wathan memegang peranan yang penting.
Setelah Kemerdekaan Indonesia, para pemuda banyak diarahkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Segala perkumpulan pandu yang ada sebelumnya dilebur dan disatukan dalam satu wadah kepanduan yaitu Kesatuan Kepanduan Indonesia. Dalam rapat yang diadakan di Surakarta pada tgl. 27-30 Desember 1945 diputuskan pembentukan Pandu Rakyat Indonesia yang menyatukan segenap pandu yang ada di Indonesia dalam satu naungan guna mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang masih amat muda pada saat itu.
Beberapa tahun kemudian situasi politik mulai berubah dan Pandu Rakyat Indonesia yang dibentuk pada tahun 1945 dirasakan tidak begitu efektif lagi. Oleh karena itu, pada tahun 1950 Hizbul Wathan mulai diaktifkan lagi. Sejak itu Hizbul Wathan mulai merata kembali anggota-anggotanya dan organisasinya secara umum di samping mengembangkannya ke seluruh tanah air di mana Muhammadiyah ada. Kegiatan tersebut berjalan terus sampai terbitnya Keputusan Presiden no.238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka yang mengharapkan agar segenap organisasi kepanduan yang ada di Indonesia meleburkan diri dalam perkumpulan Pramuka.
Dalam rangka memenuhi seruan tersebut, maka gerakan kepanduan Hizbul Wathan dalam suratnya tgl. 8 Juni 1961 kepada Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka menyatakan bersedia meleburkan diri dalam perkumpulan Gerakan Pramuka. Surat tersebut ditandatangani oleh HM. Mawardi dan H. Amin Luthfi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Majlis Hizbul Wathan Yogyakarta.
Sebagai anak dari organisasi Muhammadiyah, Hizbul Wathan terkait erat dengan cita-cita Muhammadiyah. Hal ini tercermin dari Keputusan Kongres tahun 1938 yang menyatakan bahwa sebagai pemuda Muhammadiyah, anak-anak Hizbul Wathan harus membiasakan diri mengamalkan pekerjaan dalam Muhammadiyah, mereka harus siap menolong dan berjasa untuk keperluan Muhammadiyah khususnya dan agama Islam umumnya.
Keanggotaan Hizbul Wathan terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat I disebut tingkat athfal yang diperuntukkan bagi anak-anak berumur 6-12 tahun, yang dibedakan lagi Athfal Melati, Athfal Bintang Satu dan Athfal Bintang Dua. Tingkat II disebut Pengenal, umur 12-17 tahun, yang terdiri dari Tangga I kelas III, Tangga II kelas II, Tangga III kelas I. Di atasnya lagi ada tingkat Penghela, untuk 17 tahun ke atas. Perbedaan yang ada dalam tingkat ditentukan oleh kemampuan masing-masing anggota dalam latihan dan pelajaran.
http://hizbulwathan.com/sejarah-kepanduan-hizbulwathan/