Wednesday, August 12, 2015

Gerakan Kultural, Amal, dan Akidah Muhammadiyah

Oleh Nurcholish Madjid.

Ketika Muhammadiyah lahir, yang pertama kali didirikan adalah lembaga pendidikan (HIS). Sebab, menurut Kiai Ahmad Dahlan, yang dibutuhkan waktu itu adalah sosial-pendidikan, bukan politik. Hal itu memang menimbulkan kontroversi, karena saat itu sedang ditanamkan politik non-kooperatif, dan secara tiba-tiba Ahmad Dahlan mau bekerja sama dengan Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda waktu itu sangat berterima kasih kepada Muhammadiyah, sampai-sampai mereka menerbitkan perangko Muhammadiyah. Ternyata, dalam jangka panjang, kontribusi yang dilakukan Ahmad Dahlan jauh lebih fundamental dibandingkan gerakan politik. Apa yang dilakukan Ahmad Dahlan itulah yang disebut dengan gerakan kultural. Tetapi, meskipun bersifat kultural, implikasinya sangat luas, termasuk ke wilayah politik.

Dengan kata lain, politik itu hanya implikasi saja. Seandainya tidak ada gerakan semacam Muhammadiyah, niscaya pada saat negeri ini diproklamasikan pada 1945, umat Islam masih keteteran. Berkat adanya Muhammadiyahlah, walaupun terbatas, sudah tersedia orang-orang yang ahli.

Amal Muhammadiyah

Pembicaraan ini barangkali harus dimulai dengan beberapa pernyataan yang bernada kesyukuran atas beberapa kelebihan yang dimiliki Muhammadiyah. Kalau kita lihat dari jumlah keanggotaan, Muhammadiyah adalah organisasi Islam “modernis” yang terbesar di dunia, lebih besar daripada organisasi-organisasi “modernis” di negeri Islam yang lain.

Muhammadiyah juga sebuah organisasi Islam yang relatif paling berhasil –jika dilihat ciri kelembagaan yang relatif modern dengan p roduk-produk sosial keagamaannya yang sangat mengesankan– dibanding dengan organisasi Islam yang mana pun, baik yang ada di negara kita maupun di negara Islam yang lain.Karena itu, bisa dikatakan bahwa di kalangan Islam –tidak terbatas pada skala nasional, melainkan juga internasional– Muhammadiyah adalah sebuah cerita sukses bagi organisasi Islam “modernis”.

Namun, beberapa pernyataan itu harus segera disusul dengan pernyataan lain yang bernada memperingatkan: Muhammadiyah itu besar, modern, dan sukses adalah terutama sebagai gerakan amaliah. Ini dapat dipandang sebagai suatu keunggulan, sebab toh Islam, sebagaimana halnya dengan kehidupan manusia itu sendiri, mendapatkan modal eksistensinya dalam amal. Tetapi, kelebihan Muhammadiyah di bidang amaliah ini juga merupakan suatu kekurangan, yaitu jika memang watak kepraktisan Muhammadiyah itu terimplikasi pada kurangnya wawasan. Padahal wawasan itu mutlak diperlukan tidak saja sebagai perangkat yang memberi kesadaran menyeluruh atas semua kegiatan amaliah dan sebagai kerangka untuk dapat dilihat hubungan organik antara berbagai bagian kegiatan amaliah tersebut, tetapi juga sebagai sumber energi bagi pengembangan dinamis dan kreatif kegiatan amaliah itu sendiri.

Ditinjau dari segi wawasan ini, kelompok yang relatif sangat kecil seperti Jamaati Islami di Pakistan yang modernis, atau Jamaati Ulama’i Hind dari India, masih lebih unggul dari Muhammadiyah, meskipun dari segi amaliah sosial-keagamaan kelompok-kelompok itu bukan tandingan Muhammadiyah.

Kurangnya wawasan ini akan membuat sumber energi kegiatan lekas terkuras habis, dan keseluruhan sistem dapat terancam stagnan (mandek), kecuali jika selalu ada kemungkinan dapat “infus” dari luar, seperti adanya (kesan) gejala bahwa Muhammadiyah selama ini selalu mendapat “infus” dari pesantren. “Infus” dari pesantren ini dalam bentuk bergabungnya tenaga ulama atau kiai dari pesantren yang kemudian tergabung sebagai inti keanggotaannya. Rasanya tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa Muhammadiyah tidak atau sedikit sekali memproduksi ulamanya sendiri. Ia menjadi wadah limpahan kiai produk pesantren-pesantren yang bukan Muhammadiyah. Hanya akhir-akhir ini masukan dari dunia pesantren itu mulai ditandingi oleh masukan dari lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain, khususnya alumni-alumni dari IAIN.

Selain itu, sekarang ini alumni dari lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah dan kawasan lain (termasuk Barat) juga mulai masuk bergabung dalam Muhammadiyah. Kenyataan ini pun tidak mesti dilihat sebagai kekurangan, sebab bisa dilihat sebagai petunjuk adanya daya serap yang besar dari Muhammadiyah, yang pada perkembangannya nanti merupakan indikasi tingkat vitalitasnya yang tinggi. Namun, dalam jangka panjang hal tersebut dapat menjadi salah satu sumber problem yang tidak kecil, karena menyangkut soal wibawa dan otoritas.

Karena orientasi kepraktisan yang menjadi titik berat misi organisasinya itu, maka Muhammadiyah menjadi lahan subur persemaian produk-produk intelektual kelompok Islam yang lain, yang belum tentu berlangsung dengan daya saring “kemuhammadiyahan” yang memadai. Meskipun tindakan membatasi pemasukan itu sama sekali tidak perlu, dan tidak boleh terjadi, namun daya saring yang kreatif adalah fungsi wawasan yang mantap, yang sangat diperlukan untuk kedinamisan organisasi. Daya saring seperti itu bisa diibaratkan metabolisme tubuh yang mampu mengolah dan mengubah apa saja nutrisi yang masuk dan kemudian dijadikan bagian organik tubuh itu sendiri untuk mendukung pertumbuhan dan pertahanannya.

Akidah Muhammadiyah

Dalam banyak percakapan dan tulisan, Muhammadiyah biasanya diacu sebagai sebuah organisasi Islam modernis. Meskipun dewasa ini timbul pertanyaan yang secara serius mempertanyakan kembali tentang apa yang dimaksud dengan “Islam modernis”, namun rasanya mustahil mengingkari bahwa atribut itu melekat begitu erat pada tubuh Muhammadiyah, sehingga kita harus menerimanya sebagai hal yang “given”, yang menjadi bagian dari citra kemuhammadiyahan.

Tetapi, sudah tentu adanya atribut itu tidaklah tanpa alasan. Muhammadiyah memang sebuah organisasi Islam modernis, sepanjang hal itu menyangkut makna historis bahwa Muhammadiyah adalah sedikit banyak kelanjutan dari pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh tertentu, seperti Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridla yang tampil di atas pentas Mesir modern. Sudah merupakan bagian dari diskursus mapan dalam kajian Islam bahwa gerakan tokoh-tokoh itu disebut gerakan Islam modern, apa pun makna dan implikasi penyebutan serupa itu.

Seperti halnya dengan semua gerakan yang memperoleh ilhamnya dari gerakan reformasi Mesir itu, Muhammadiyah sangat banyak menekankan usaha pemurnian, dengan slogan “kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”. Barangkali di antara wujud nyata tekanan itu ialah adanya program-program ad hoc Muhammadiyah di bidang akidah, yang paling kuat ialah usaha memberantas bid’ah dan khurâfât. Dan sama dengan gerakan yang ada di Mesir tersebut, Muhammadiyah juga mencanangkan pandangan tentang tetap dibukanya pintu ijtihad.

Meskipun agaknya usaha ijtihad Muhammadiyah itu lebih banyak bermuara pada keputusan masalah-masalah fiqih dan bersifat ad hoc –seperti tecermin dalam pembahasan berkepanjangan tentang qunut– namun, sebagai pandangan dasar, etos ijtihad itu merupakan sumber vitalitas Muhammadiyah yang paling besar dan bisa dikatakan tidak akan terkuras habis.

Tetapi, untuk memperoleh hasil yang maksimal, baik kuantitatif maupun kualitatif, Muhammadiyah memerlukan kemampuan yang jauh lebih tinggi dan lebih luas dalam ilmu-ilmu keislaman daripada yang sekarang dimiliki. Seperti yang telah dikatakan, Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang paling besar dan paling sukses di bidang amaliah. Maka untuk membuat Muhammadiyah menjadi paling besar, modern, dan sukses di bidang ilmiah adalah suatu hal yang sangat dekat baginya. Sebab, dengan kemampuan intelektual yang memadai dalam ketinggian dan keluasannya, keunggulan di bidang ilmiah itu seharusnya merupakan kelanjutan paling logis etos ijtihad tersebut.

Untuk penajaman permasalahan rasa –dengan maksud agar dapat lebih efektif mencapai sasaran– perlu membuat penilaian (yang belum tentu benar) tentang keadaan “akidah” Muhammadiyah sekarang ini. Ketika Muhammad Abduh menulis Risâlah Al-Tawhîd (sebuah karya yang banyak dianggap paling penting, meskipun bukan yang paling besar), tampak jelas bahwa ia menyimpan dalam pikirannya suatu pandangan tentang tidak memadainya penyajian sistem akidah Islam yang ada pada (kebanyakan) umat saat itu. Dan, tentu saja, penyajian sistem akidah Islam yang umum dipegang oleh kaum Muslim saat itu –malah sampai kini– ialah sistem kalam Asy’ari.

Berkenaan dengan problem itu, orang umumnya setuju dengan Abduh dalam keseluruhan penilaiannya. Namun, tidak berarti bahwa mereka setuju tentang detail-detail penilaiannya ini, misalnya, jika segi tidak memadainya penyajian sistem akidah yang ada itu tampak pada tidak mampunya orang-orang Muslim –yang hidup pada saat Abduh melontarkan pemikirannya– untuk melihat hubungan organik sistem keimanannya dengan ilmu pengetahuan modern, maka apakah hal itu berarti mesti diperbaiki dengan menghidupkan kembali rasionalisme Mu’tazilah? Ataukah, malah lebih jauh lagi, dengan melihat kemungkinan segi-segi absah dalam pemikiran para failasuf?

Abduh, seperti kita ketahui, memberi jawaban positif-afirmatif. Maka, dengan membicarakan akal dan fungsi akal itu dalam iman berarti ia telah menghidupkan lagi tema-tema pembahasan, bahkan polemik di kalangan kaum kalam yang dirintis oleh kelompok Mu’tazilah dengan tokoh-tokohnya, seperti Abu Al-Hudzail Al-Allaf, Al-Nazhzham, dan Abu Hasyim. Ketika Muhammad Abduh menjadikan karya-karya Ibn Khaldun sebagai acuan utama dalam usahanya memvitalkan kembali peranan bahasa Arab (klasik), maka ia sebenarnya tidak hanya melibatkan diri dalam permasalahan kebahasaan dan ekspresi verbal yang lugas dan efisien semata, tetapi justru dalam kelugasan dan efisiensi itu menunjukkan kecenderungan ilmiahnya yang sangat mengesankan. Begitu juga dalam tulisan-tulisan polemis dan apologetisnya seperti Al-Islâmu wa ‘l-Nashrâniyatu ma‘a ‘l-‘Ilm wa ‘l-Madaniyah, Muhammad Abduh tidak hanya sekadar bertindak memenuhi suatu kebutuhan umat akan suatu kejelasan tentang bentuk-bentuk hubungan kedua agama itu dengan ilmu, tetapi ia juga secara langsung atau tidak langsung bertindak untuk membangun etos keilmuan di kalangan umat.

Ditambah dengan penguasaannya akan sumber-sumber klasik, kemudian digabungkan dengan pengalaman pribadinya berkunjung dan berdiam sementara di Barat, serta pergaulannya dengan orang Barat di Mesir sendiri, maka Muhammad Abduh tidak saja kreatif dan luas pandangannya, tetapi juga memiliki tingkat autentisitas sekaligus relevansi pemikiran yang tinggi.

Gerakan Muhammadiyah, sebagaimana telah disinggung, memiliki potensi untuk menjadi pemegang tongkat estafet dari gagasan-gagasan Abduh itu. Namun, agaknya masih banyak yang harus dikerjakan oleh Muhammadiyah untuk sampai ke sana. Sebab, tidak seperti di bidang fiqih dalam rincian yang ad hoc –meskipun di bawah rubrik “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”– Muhammadiyah tampak belum banyak

menggarap bidang prinsipil ini, yang dalam disiplin keilmuan tradisional Islamnya disebut ilmu Kalam, atau ilmu Tauhid, atau ilmu ‘Aqâ’id (ilmu Akidah-Akidah), atau bahkan, ilmu Ushuluddin. Jika ada harapan bahwa pergerakan seperti Muhammadiyah akan beranjak lebih jauh dari yang telah diwariskan oleh Muhammad Abduh, maka harapan itu timbul karena mustahil menganggap gagasan Abduh itu sudah final, biarpun dalam arti terbatas menghadapi zaman mendatang.[]

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (Peny.), Ensiklopedi Nurcholish Madjid (Paramadina, CSL, Mizan, 2007)

http://paramadina.or.id/2015/08/07/gerakan-kultural-amal-dan-akidah-muhammadiyah/

No comments:

Post a Comment