Friday, April 17, 2015

Internasionalisasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah

KORAN SINDO, 15 April 2015
 
Muslich Hartadi Sutanto   
Ketua Kantor Urusan Internasional 
Universitas Muhammadiyah Surakarta
                                                                                                                                                        
Era globalisasi saat ini, di mana perkembangan teknologi informasi dan komunikasi demikian pesat serta semakin mudahnya mobilitas antarnegara, telah membuat batas kewilayahan antarnegara semakin tidak tampak.

Hal tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan bagi hampir seluruh negara di dunia. Dalam rangka meningkatkan ketahanan regional untuk menghadapi globalisasi, negara-negara ASEAN pada KTT Ke-14 2008 di Thailand telah meratifikasi piagam ASEAN dan menyepakati pengimplementasian tiga pilar ASEAN Commmunity yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. 

Menyongsong pemberlakuan Komunitas Ekonomi ASEAN pada 31 Desember 2015 yang sudah di depan mata, penerapan kebijakan pendidikan yang tepat sangatlah penting mengingat pendidikan merupakan faktor penentu kualitas dan kompetensi sumber daya insani. Pada era globalisasi saat ini, data OECD (2011) menunjukkan bahwa pada rentang tahun 2000-2009 jumlah mahasiswa yang belajar di luar negaranya mengalami pertumbuhan sekitar 6,5%.

Lebih lanjut Al-Franseder dan Fellinger (2012) memaparkan, secara garis besar mahasiswa yang mempunyai pengalaman mobilitas internasional lebih unggul dibanding dengan yang tidak. Namun, perlu diwaspadai bahwa di negara berkembang aktivitas mobilitas internasional tidak terjangkau biayanya oleh sebagian besar mahasiswa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran adanya jurang kesempatan yang semakin besar bagi kalangan mampu dan kurang mampu.

Strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi keterbatasan tersebut adalah dengan menerapkan kebijakan ”internationalization at home”, yaitu dengan memberikan kompetensi internasional kepada mahasiswa untuk menghadapi globalisasi tanpa mereka perlu melakukan mobilitas internasional seperti halnya ketika sebagian besar orang Indonesia belajar Islam tanpa harus pergi ke Timur Tengah. Internasionalisasi pengetahuan sebetulnya bukanlah fenomena baru.

Sejak lama para cerdik cendekia telah melakukan perjalanan lintas batas negara di berbagai penjuru dunia dalam rangka memperkaya pengetahuan dan pengalaman. Ibnu Batutah, seorang cendekiawan Maroko, melakukan perjalanan untuk memperkaya ilmu pengetahuannya ke lebih dari 40 negara di Afrika, Eropa, dan Asia pada abad ke-14.

Menurut Holsinger (2003) dari hasil pengembaraannya untuk memperkaya pengetahuan tersebut, Ibnu Batutah telah memprediksi perkembangan sebuah kerajaan kecil di Anatolia yang di kemudian hari menjadi pusat Kekaisaran Ottoman di Turki pada abad ke-15 dan meramalkan bahwa Tiongkok akan menjadi salah satu pusat kekuasaan dunia di masa depan.

Beelen dan De Wit (2012) menekankan bahwa sejak pertengahan 1980-an internasionalisasi pendidikan tinggi telah berkembang pesat di negaranegara Barat, di mana isu tersebut mulai menjadi agenda utama pemerintah, institusi pendidikan tinggi, institusi akreditasi dan pemeringkatan, serta organisasi internasional.

Kesempatan kerja internasional juga telah menjadi faktor pendorong bagi institusi pendidikan tinggi untuk menyediakan lulusan yang mempunyai pengalaman internasional bagi lapangan kerja global. Molony dkk (2011) dalam paparannya di ”QS Global Employer Survey 2011” menyampaikan bahwa atribut pengalaman internasional seperti kemampuan berbahasa asing dan komunikasi lintas budaya sangat diperhitungkan di lapangan kerja global.

Akan tetapi, ada keprihatinan yang berkembang bahwa nilai tambah yang merupakan fokus utama dalam konsep internasionalisasi tradisional mendapatkan tantangan berat dari internasionalisasi yang lebih berfokus pada komersialisasi. Karena itu, Van Liempd (2013) meyakini bahwa tanggung jawab sosial pendidikan tinggi akan memberikan dampak besar pada internasionalisasi pendidikan tinggi di masa depan.

Persyarikatan Muhammadiyah yang menaungi 170-an institusi pendidikan tinggi dan sudah sejak tahun 1912 berkiprah dalam bidang pendidikan di Indonesia menyadari betul pentingnya internasionalisasi gerakan dan telah melakukan langkah-langkah nyata untuk mengembangkan internasionalisasi pendidikan tinggi yang tidak hanya menyiapkan sumber daya insani menghadapi era globalisasi, namun lebih jauh lagi untuk mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Di bawah naungan Majelis Dikti PP Muhammadiyah, perguruan tinggi Muhammadiyah telah membentuk forum Kantor Urusan Internasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang mempunyai tugas pokok untuk mengembangkan internasionaliasai perguruan tinggi Muhammadiyah.

Beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah telah mengimplementasikan konsep ”internationalization at home” dalam rangka menyediakan kesempatan seluas-luasnya bagi sumber daya insani Indonesia untuk mendapatkan kompetensi internasional tanpa harus ada mobilitas internasional yang biayanya tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Sejak 2009 beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah bekerja sama dengan Southern Border Administrattive Centre (SBPAC) Thailand memberikan beasiswa studi di perguruan tinggi Muhammadiyah bagi warga Thailand Selatan. Bekerja sama dengan KBRI Manila dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah memberikan beasiswa studi S-2 dan S-3 bagi warga Bangsamoro di Filipina Selatan.

Tidak hanya itu, dengan dukungan Bank Dunia akademisi perguruan tinggi Muhammadiyah juga terlibat sebagai pendamping bagi penyusunan konstitusi dasar Bangsamoro.

Pembahasan mengenai internasionalisasi gerakan dan manhaj Muhammadiyah dalam kemanusiaan universal tersebut dibahas lebih lengkap dan mendalam pada seminar pramuktamar Muhammadiyah ke-47 di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada 14 April 2015. 

No comments:

Post a Comment