Sunday, March 29, 2015

Internasionalisasi Muhammadiyah



Tabloid Kauman, Edisi 4: Maret - April 2015, h. 45-46.

Oleh Ahmad Najib Burhani*

Sejak Din Syamsuddin terpilih menjadi Ketua Umum Muhammadiyah tahun 2005, tema internasionalisasi Muhammadiyah sering menjadi bahasan dari organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini. Hal ini sepertinya didasarkan pada kenyataan bahwa meski Muhammadiyah telah lahir sejak 1912, namun organisasi ini tidak banyak berkembang di luar negeri. Organisasi-organisasi Islam yang justru lahir lebih muda dari Muhammadiyah, seperti Jemaah Tabligh (1926), Ikhwanul Muslimin (1928), Hizbut Tahrir (1953), dan Ghulen Movement (1982) kini telah menyebar ke hampir seluruh dunia. Pertanyaanya, mengapa Muhammadiyah tak bisa seperti organisasi-organisasi itu? Apa yang menjadi kendala dari Muhammadiyah untuk menyebar ke negara lain?

Tentu saja tidak bisa dinafikan bahwa sejak 1957 telah berdiri Muhammadiyah di Singapura yang memiliki banyak sekali kemiripan dengan Muhammadiyah Indonesia, baik dari segi logo maupun aktivitasnya. Namun Muhammadiyah Singapura yang didirikan oleh Ustaz Rijal Abdullah dan Ustaz Amir Esa bukanlah cabang dari Muhammadiyah Indonesia. Tidak ada garis koordinasi ataupun komando antara Muhammadiyah Indonesia dan Singapura. Kalaulah ada hubungan, itu hanyalah persaudaraan sesama Muslim dan sesama organisasi Islam.

Sejak Din Syamsuddin memimpin Muhammadiyah, upaya internasionalisasi Muhammadiyah terus dilakukan. Diantaranya adalah dengan pendirian PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di berbagai negara, seperti Jepang, Vietnam, Inggris, Amerika, Mesir, dan Belanda. Inilah makna pertama dari internasionalisasi Muhammadiyah yang selama ini sering dipahami. Namun demikian, keberadaan PCIM itu masih memiliki banyak keterbatasan. Anggota berbagai PCIM itu, misalnya, masih didominasi oleh orang Indonesia yang kebetulan berada di luar negeri seperti pelajar, pekerja, dan istri atau suami orang asing. Karena itu seringkali aktivitasnya sangat tergantung dari luangnya waktu kuliah atau bekerja.

Makna kedua dari internasionalisasi Muhammadiyah yang juga sering dipahami adalah partisipasi dalam berbagai organisasi internasional atau aktivitas di luar negeri. Ini misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa pimpinan Muhammadiyah seperti Din Syamsuddin, Abdul Mu’ti, dan Syafiq Mughni. Mereka terlibat dari beberapa pertemuan agama tingkat dunia, berbicara tentang Islam Indonesia di beberapa forum internasional, dan terlibat dalam aksi kemanusiaan serta filantropi dengan berbagai negara di dunia.

Makna ketiga dari gagasan internasionalisasi Muhammadiyah adalah menjalin hubungan akademik dengan berbagai institusi di luar negeri. Ini misalnya diwujudkan oleh berbagai universitas Muhammadiyah yang membangun kerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri, mengadakan seminar dan konferensi internasional, memperkenalkan Muhammadiyah ke peneliti-peneliti asing, dan juga penerjemahan buku-buku berbahasa Indonesia ke bahasa asing.

Bila dibandingkan dengan organisasi semisal Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, dan Ghulen movement, maka tentu banyak hal yang telah mereka lakukan tapi belum dilakukan oleh Muhammadiyah. Beberapa organisasi itu, seperti Jamaah Tabligh, aktif mengirimkan misionaris atau muballighnya ke berbagai negara untuk menyebarkan pemahaman Islam versi mereka. Mereka juga mendirikan sekolah-sekolah di berbagai negara dengan ciri khas pendidikan yang mereka kembangkan. Ghulen movement, contohnya, kini telah memiliki beberapa sekolah dengan sistem dan kekhasan pendidikan mereka di Indonesia, Australia, dan Amerika. Beberapa organisasi menerjemahkan dan menyebarkan buku-buku karya mereka ke berbagai bahasa di dunia. Ahmadiyah, misalnya, telah menerjemahkan Al-Qur’an dengan tafsir versi mereka kepada lebih dari 200 bahasa di dunia. Hizbut Tahrir merekrut banyak orang lokal dan mendirikan cabang-cabang di berbagai belahan dunia. Ini semua belum dilakukan oleh Muhammadiyah.

Selain alasan fastabiqul khairat dengan organisasi Islam lain, gagasan tentang internasionalisasi Muhammadiyah ini juga berangkat dari kesadaran bahwa globalisasi itu sudah tak dapat dielakkan lagi. Sayangnya, di tengah dunia yang global ini, Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia ternyata seringkali hanya menjadi konsumen berbagai paham dan pengaruh dari luar. Bangsa ini sepertinya hanya menjadi pasar bagi produk budaya dan pemikiran asing. Ketika Jemaah Islamiyah muncul, banyak orang Islam Indonesia yang berbondong-bondong bergabung dengan gerakan itu. Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mendeklarasikan khilafahnya, sejumlah umat Islam dari Indonesia bergabung ke sana. Ketika Hizbut Tahrir berdiri di Indonesia, banyak mahasiswa Muslim yang bergabung dengannya. Jarang atau hampir tidak pernah dalam sejarah ketika umat Islam Indonesia bisa mempengaruhi atau memimpin umat Islam di dunia lain.

Seringkali para pemimpin Muslim negeri ini menunjukkan Islam di Indonesia adalah lebih baik atau tak kalah ortodoksinya dari Islam di negara lain. Karena itu, Islam ala Indonesia mestinya mampu “dijual” ke komunitas Muslim lain. Sayangnya, selama ini gagasan ini belum laku atau belum mampu meyakinkan orang Islam di luar Indonesia. Atau paling tidak, promosi yang dilakukan selama ini belum cukup berhasil. Ini juga yang menjadi dasar keinginan untuk terus melakukan internasionalisasi Muhammadiyah.

Sebagai penutup, tulisan ini ingin mengutip tiga konsep tentang internasionalisasi yang dikemukakan oleh Fred Halliday (1988) dalam artikelnya yang berjudul “Three Concept of Internationalism”. Barangkali tiga konsep ini bisa menjadi renungan ke arah mana internasionalisasi Muhammadiyah itu akan menuju. Pertama adalah “internasionalisme radikal” atau “internasionalisme revolusioner”. Intinya, konsep negara bangsa yang ada saat ini seringkali justru menciptakan berbagai ketimpangan di dunia. Karena itu, dunia yang satu perlu dibentuk.  Internasionalisme ini dijalankan dengan cara radikal untuk mengubah pola dunia. Ini diantaranya yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir; Weltklasse,
Weltpartei, Weltrevolution dari Lenin; dan global jihad yang diusung Osama bin Laden.

Konsep kedua adalah “internasionalisme hegemonik”. Berbeda dari yang pertama, internasionalisme ini dilakukan justru menciptakan dunia yang asimetris atau tidak rata. Ini dilakukan dengan melakukan hegemoni pandangan atau ekonomi. Internasionaliasasi ini identik dengan kolonialisme. Hegemoni Bahasa Inggris, misalnya, ikut berpengaruh terhadap punahnya ribuan bahasa lokal. Penyebaran Wahabisme yang menolak pemahaman Islam yang berbeda adalah contoh lain dari internasionalisme hegemonik.

Konsep ketiga adalah “internasionalisme liberal”. Intinya, dalam dunia yang global ini semua umat manusia harus melakukan interaksi dan bekerja sama yang lebih baik demi tujuan kemanusiaan. Tujuan dari internasionalisasi bukanlah untuk melakukan hegemoni ataupun membuat perubahan dunia secara drastik, tapi melakukan kerjsama untuk menciptakan dunia yang damai.
-oo0oo-

*Peneliti LIPI dan pengelola blog muhammadiyahstudies.blogspot.com

No comments:

Post a Comment