Studia Islamika, Vol. 21, No. 1, 2014: 1-46
Gwenael Njoto-Feillard
Abstract
Throughout its history, Indonesia's largest Islamic reformist organization, the Muhammadiyah, has relied on funding based on the gift economy. Using the organization's archived financial reports from the 1920s to the 1960s --a source that had yet to be exploited-- this study shows how the Muhammadiyah used different shares of resources (donations, member fees, subsidies, etc.) to finance its organization. In the pre-War period, the Muhammadiyah Central Board became noticeably reliant on colonial subsidies. The reformist organization attempted to emancipate itself from this dependency and develop its own productive sector (businesses, cooperatives, banking, etc.), which raised various ethical questions as this socio-religious institution decides to operate lucrative economic endeavours. Finally, this article argues that the case of Muhammadiyah clearly shows how Indonesian Islam was, quite early on, well-informed of the ethical debates surrounding the idea of 'Islamic economics' long before its recent emergence as an economic initiative in the Muslim communities.
Keywords: Indonesia, Muhammadiyah, Islam, gift economy, Reformism, enterprise zakat.
Abstrak
Sepanjang sejarahnya, Muhammadiyah, organisasi Islam reformis terbesar Indonesia, bergantung pada pendanaan yang berasal dari bantuan. Dengan menggunakan arsip laporan keuangan organisasi dari 1920 sampi 1960 --sumber yang masih harus digali-- artikel ini menggambarkan secara rinci perbedaan bagian sumber-sumber pendanaan (sedekah, iuran anggota, subsidi, dll.). Ia menunjukkan bahwa pada masa pra-peperangan, Muhammadiyah telah berusaha memberdayakan sendiri dari ketergantungan ini dan mengembangkan sektor-sektor produktif milik sendiri (usaha, koperasi, perbankan, dll.) yang juga dijelaskan artikel ini secara rinci. Tulisan ini juga menunjukkan aneka kesulitan etis yang muncul saat lembaga kemasyarakatan-keagamaan ini memutuskan untuk mengerahkan tujuannya kepada usaha-usaha yang menguntungkan. Terlebih kasus Muhammadiyah memperlihatkan secara jelas bahwa Islam Indonesia, sejak awal, telah memperoleh informasi dengan baik mengenai etika seputar gagasan "Ekonomi Islam".
Gwenael Njoto-Feillard
Abstract
Throughout its history, Indonesia's largest Islamic reformist organization, the Muhammadiyah, has relied on funding based on the gift economy. Using the organization's archived financial reports from the 1920s to the 1960s --a source that had yet to be exploited-- this study shows how the Muhammadiyah used different shares of resources (donations, member fees, subsidies, etc.) to finance its organization. In the pre-War period, the Muhammadiyah Central Board became noticeably reliant on colonial subsidies. The reformist organization attempted to emancipate itself from this dependency and develop its own productive sector (businesses, cooperatives, banking, etc.), which raised various ethical questions as this socio-religious institution decides to operate lucrative economic endeavours. Finally, this article argues that the case of Muhammadiyah clearly shows how Indonesian Islam was, quite early on, well-informed of the ethical debates surrounding the idea of 'Islamic economics' long before its recent emergence as an economic initiative in the Muslim communities.
Keywords: Indonesia, Muhammadiyah, Islam, gift economy, Reformism, enterprise zakat.
Abstrak
Sepanjang sejarahnya, Muhammadiyah, organisasi Islam reformis terbesar Indonesia, bergantung pada pendanaan yang berasal dari bantuan. Dengan menggunakan arsip laporan keuangan organisasi dari 1920 sampi 1960 --sumber yang masih harus digali-- artikel ini menggambarkan secara rinci perbedaan bagian sumber-sumber pendanaan (sedekah, iuran anggota, subsidi, dll.). Ia menunjukkan bahwa pada masa pra-peperangan, Muhammadiyah telah berusaha memberdayakan sendiri dari ketergantungan ini dan mengembangkan sektor-sektor produktif milik sendiri (usaha, koperasi, perbankan, dll.) yang juga dijelaskan artikel ini secara rinci. Tulisan ini juga menunjukkan aneka kesulitan etis yang muncul saat lembaga kemasyarakatan-keagamaan ini memutuskan untuk mengerahkan tujuannya kepada usaha-usaha yang menguntungkan. Terlebih kasus Muhammadiyah memperlihatkan secara jelas bahwa Islam Indonesia, sejak awal, telah memperoleh informasi dengan baik mengenai etika seputar gagasan "Ekonomi Islam".
No comments:
Post a Comment