Oleh Ahmad Najib Burhani*
Kritik yang sering dilontarkan oleh pengamat asing, seperti
Martin van Bruinessen, terhadap Islam di Indonesia adalah kurangnya rasa
percaya diri dan lemahnya daya ekspansif ke luar negeri. Muhammadiyah dan NU
(Nahdlatul Ulama), misalnya, meski telah lahir di awal abad ke-20, namun
organisasi ini masih terbatas lingkup kegiatan dan keanggotaannya di Indonesia,
hampir bisa dikatakan tak memiliki pengikut orang asing di luar negeri. Ini
berbeda, misalnya, dari organisasi-organisasi Islam yang lahir di negara Islam
lain seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir), Jamaah Tabligh (Pakistan), Ghulen
movement (Turki), dan Hizbut Tahrir (Palestina). Meski organisasi-organisasi
itu lebih muda dari Muhammadiyah dan NU, namun mereka telah berkembang pesat di
berbagai negara. Mereka telah mampu mengekspor gagasan dan pemahaman
keagamaannya hampir ke setiap sudut dunia tanpa bantuan pemerintah.
Salah satu sebab mengapa Islam Indonesia kurang ekspansif
adalah kurangnya rasa percaya diri. Kalau dilihat daftar tokoh Islam dari
Indonesia paska kemerdekaan, hanya sedikit yang memiliki pengaruh besar di
tingkat internasional. Barangkali yang cukup mencolok hanya Mohamad Natsir
dengan peran pentingnya, diantaranya, dapat dilihat di Rabitah ‘Alam Islami.
Selain Natsir, kalaulah ada, agak sulit mencari tokoh Islam dari Indonesia yang
sekaliber dia di kancah dunia.
Tiadanya tokoh Islam dari Indonesia di tingkat internasional
dan minimnya pengaruh Islam Indonesia dalam pergaulan global inilah diantaranya
yang menyebabkan umat Islam dari Indonesia sering dianggap sebelah mata, atau
paling tidak hanya dianggap saudara lebih muda, oleh umat Islam dari negara
lain. Ketika kita bertemu dengan umat Islam dari negara lain di sebuah masjid
di Inggris atau Amerika Serikat, misalnya, mereka sering memandang kita lebih
rendah keislamannya. Bahkan kadang mereka menganggap pengetahuan keislaman kita
lebih rendah dari orang awam yang berasal dari satu negara Arab atau dari
Pakistan. Indonesia hanya dibanggakan sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar di dunia, tak lebih dari itu.
Fenomena di atas itulah yang menyebabkan ilmuwan asing
sering menyebut umat Islam Indonesia itu mengalami minority complex di hadapan umat Islam negara lain. Atau, kita ini
mayoritas secara angka, namun mental kita adalah mental minoritas. Padahal pada
tahun 1970-an yang lalu Fazlur Rahman, tokoh neo-modernis Muslim dari Pakistan/
Amerika Serikat, sering menyebut Indonesia, bersama dengan Turki, sebagai
tempat masa depan peradaban Islam. Melihat perkembangan saat ini, sepertinya
harapan itu masih jauh terwujud.
Kondisi umat Islam Indonesia saat ini di tingkat global
tentu agak mengherankan jika mengingat pencapaian pada tahun 1950-an dan tahun
1960-an. Selain ada tokoh Mohamad Natsir, dulu negara-negara Islam membanggakan
peran Sukarno. Sukarno tidak hanya dipuji di dunia Islam, tapi juga di kancah
dunia secara umum, terutama pada perannya dalam gerakan non-blok. Dengan bangga orang dari negara lain
memakai nama Sukarno untuk nama jalan dan masjid. Apakah kita memiliki nama
lain dari Indonesia yang begitu berpengaruh di dunia seperti Sukarno dan Natsir
setelah 1945? Sepertinya belum ada.
Lemahnya rasa
percaya diri umat Islam Indonesia dan kurangnya semangat ekspansi ke luar
negeri inilah diantaranya yang melatarbelakangi pendirian beberapa PCIM
(Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) sejak tahun 2005. Saat ini ada beberapa
PCIM yang cukup aktif, diantaranya adalah PCIM Mesir, PCIM Malaysia, PCIM
Rusia, dan PCIM Jepang. Penulis secara langsung terlibat dalam pembentukan dan
menjadi pengurus awal di dua PCIM, yaitu PCIM Inggris Raya dan PCIM Amerika
Serikat. Namun demikian, sepanjang pengetahuan penulis, hingga saat ini belum
banyak aktivitas yang dilakukan oleh dua PCIM itu. Diantaranya untuk menghidupkan
kembali PCIM Amerika Serikat itulah pada awal bulan Ramadan ini diselenggarakan
semisal muktamar kecil melalui telekonferensi untuk membentuk kepengurusan baru
dan membicarakan program PCIM Amerika Serikat.
“Muktamar online”
itu diantaranya dihadiri oleh Ahmad Syamil, profesor di Arkansas State
University; Muhamad Ali, profesor di University of California, Riverside; dan Halbana
Tarmizi, profesor di Bemidji State University. Pertemuan online ini akhirnya
memilih Muhammad Ali sebagai ketua tim formatur yang pada akhir Ramadan ini
harus selesai membentuk kepengurusan PCIM Amerika Serikat yang baru.
PCIM Amerika Serikat ini agak unik dibandingkan dengan PCIM
dari negara lain. Jika di negara lain mayoritas anggotanya adalah pelajar, di
Amerika Serikat, seperti terlihat dari peserta muktamar online di atas, banyak anggotanya yang merupakan profesor di
berbagai perguruan tinggi di Amerika. Banyak juga yang merupakan tokoh senior
dan penduduk Amerika serikat seperti Imam Shamsi Ali, imam masjid Jamaica di
New York; Abdul Nur Adnan, 40 tahun bekerja di VOA (Voice of America); Dutamardin
Umar, tokoh masyarakat Indonesia di Virginia; Firdaus Kadir, tokoh masyarakat
Indonesia di Maryland; dan lain-lain. Sementara yang pelajar diantaranya adalah
Rahmawi Husen (Texas/ Yogyakarta), Dani Muhtada (Illinois), Tuti Alawiyah
(Texas), Sri Rejeki Murtiningsing (Oklahoma), dan Ahmad Najib Burhani
(California). Pendeknya, anggota
PCIM Amerika Serikat terdiri dari tiga komponen utama: professor, pelajar, dan
penduduk tetap Amerika dari Indonesia.
Berangkat dari
beragamnya latar belakang anggota PCIM Amerika Serikat itulah maka beberapa
agenda yang dirancang juga sangat mencerminkan latar belakang itu. Diantara
program yang dirancang adalah memperkenalkan Islam Indonesia, terutama
Muhammadiyah, ke kalangan akademisi di Amerika Serikat seperti melalui AAR
(American Academy of Religion) dan MESA (Middle East Studies Association). Kegiatan
lain yang dirancang adalah membantu orang-orang Muhammadiyah yang berkunjung
atau belajar ke Amerika. Dan terakhir adalah transfer ilmu pengetahuan dan
teknologi dari Amerika ke Indonesia.
-oo0oo-
*Doktor dari Univ. California, Santa
Barbara dan salah satu pendiri PCIM Amerika Serikat.
Download edisi cetak Suara Muhammadiyah
Download edisi cetak Suara Muhammadiyah
No comments:
Post a Comment