Tuesday, January 1, 2013

Wawancara: Ahmad Najib Burhani: Muhammadiyah Perlu Ijtihad Baru

MATAN, Edisi 78, Januari 2013, hal. 18-19.

Melewati satu abad perjalanan, Muhammadiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan serius. Bukan lagi persoalan Tahayyul, Bid’ah dan Khurafat (baca: TBC) se­bagai lawan utama dakwah ke depan, melainkan kejumudan pikiran dan stagnasi gerakan menjadi dua problem besar yang menyumbat gerak laju Per­syarikatan.

Upaya menggagas ijtihad gerakan adalah satu dari sekian wacana yang muncul dalam Kongres Penelitian In­ternasional mengenai Muhammadiyah (International Research Congress on Muhammadiyah/IRCM) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 29 November – 2 Desember 2012. Kongres yang dihadiri 40 peneliti baik dari nasional maupun internasional ini men­gupas tuntas kontestasi Persyarikatan selama satu abad berlalu.

Kongres juga memberikan gagasan-gagasan yang mencerdaskan sebagai modal melewati 100 tahun mendatang. Dari itu, berbagai otokiritik bermunculan di antaranya mengenai jumlah keang­gotaan yang tidak jelas, cara pandang konservatif yang dilestarikan, dan sejum­lah alasan kenapa para peneliti asing tidak lagi tertarik meneliti Muhammadiyah. Wartawan MATAN, Nafi’ Muthohirin berkesempatan mewawancarai Sekretaris Steering Comitee IRCM/Kandidat Dok­toral di University of California, Santa Barbara, AS, Ahmad Najib Burhani. Berikut beberapa petikannya:

Pada penyelenggaraan IRCM beberapa waktu lalu, apa saja masukan yang baru bagi Muhammadiyah?
Banyak hal baru yang ditemukan dalam acara kemarin, misalnya yang disampaikan M. Amin Abdullah dalam refleksi akhirnya. Dia menekankan su­paya Muhammadiyah melakukan ijtihad yang benar-benar baru, bukan sekedar recycling ijtihad seperti yang selama ini diulang-ulang. Konsep ijtihad ini berupaya menemukan satu bentuk iden­titas dan wawasan baru sebagai modal melangkah 100 tahun ke depan.

Selain itu juga ditemukan fakta yang mengagetkan dari data survei yang disodorkan beberapa panelis sep­erti Robin Bush, Hattori Mina (Nagoya University, Jepang), dan Ken Miichi (Iwate Prefectural University, Jepang). Mereka menunjukkan bahwa jumlah keanggotaan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata tidak terpaut sekitar 10 juta seperti selama ini dipahami. Umumnya orang mengatakan, jika NU mengklaim punya 40 juta anggota, maka Muhammadiyah 30 juta. Kalau NU beranggotakan 30 juta, maka Muhammadiyah 20 juta. Ternyata warga Muhammadiyah tidak ada separuhnya warga NU. Jika NU misalnya sekitar 40 persen dari jumlah keseluruhan warga Indonesia, maka Muhammadiyah hanya sekitar 7,9 persen.

Apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu?
Menurut data survei yang dipapar­kan Hattori Mina dan Ken Miici, malah jumlahnya lebih kecil, 4,5 persen saja warga Persyarikatan yang benar-benar mengaku kader Muhammadiyah. Tentu saja ini memunculkan pertanyaan men­dalam apakah data ini benar.

Rizal Sukma menjelaskan, per­bedaan jumlah keanggotaan NU dan Muhammadiyah disebabkan karena NU adalah organisasi Islam yang lebih melekat pada tradisi, sementara Muham­madiyah lebih ketat sebagai organisasi Islam modern. Orang mengaku NU hanya dengan menjalankan ziarah kubur atau misalnya datang ke haul. Tetapi kalau Muhammadiyah lebih terlihat pada kegiatan-kegiatan dan keanggotaan yang lebih ketat daripada tradisi.

Bahkan, ada orang yang mengatakan bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah itu berbeda. Variabel ini yang kiranya perlu diperhatikan lagi ketika me­lihat angka-angka keanggotaan tersebut. Tetapi angka itu sendiri, yang 7,9 persen atau 4,5 persen itu lumayan mengejutkan bagi warga Muhammadiyah.

Apa dampak dari angka keanggotaan yang sedikit itu?
Jika kita berefleksi pada awal pendi­rian Muhammadiyah memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu mempengaruhi perpolitikan nasional. Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara dampak secara organisasi tidak terlalu berefek. Tetapi ketika politik dikontrol dengan angka-angka, dengan menyebut Muhammadiyah itu kecil, maka representasi Muham­madiyah dalam pemerintahan akan menjadi tidak diperhitungkan karena tidak merepresentasikan warga yang sangat banyak.

Persoalan apa lagi yang muncul dalam diskusi-diskusi di konferensi kemarin?
Dari presentasi paper para peneliti kemarin, kita juga menemukan fakta bahwa tidak sedikit kader-kader Per­syarikatan yang terlihat agak ekstrem dalam memahami ajaran Islam. Fakta itu bisa dibuktikan misalnya yang ter­dapat di Paciran atau Solo. Kekerasan berlandaskan agama bisa terjadi di or­ganisasi manapun, seperti penyerangan Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan atau persekusi terhadap warga Syi’ah di Sampang. Bagi Muhammadiyah, yang terpenting kita bisa menjadikannya sebagai refleksi, hanya apakah kita mau menunaikan tugas menemukan identitas pribadi.

Selain itu, ada sekelompok warga Muhammadiyah yang cenderung menganggap Persyarikatan ini sudah keting­galan zaman, seperti dalam tulisan Mit­suo Nakamura dan Martin Van Bruines­sen. Karena itu, keduanya menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih dikeraskan.

Belakangan ini kita melihat para pe­neliti asing, bahkan dari Indonesia sendiri nampak sudah jarang menjadikan Muham­madiyah sebagai obyek penelitian yang menarik. Apa kira-kira penyebabnya?
Muhammadiyah memiliki karakter yang berbeda dengan organisasi Islam lainnya, seperti giat bekerja, beramal tanpa pamrih, rame ing gawe, dan memberi sebanyak-banyaknya kepada anak yatim. Ini adalah karakter Muham­madiyah di tahun 1950-1970-an. Nilai-nilai puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada semangat protestan etik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilai-nilai puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.

Jadi ada semacam pergesaran nilai puritanisme?
Bisa dikatakan begitu. Terjadi kon­testasi pemaknaan di sini. Saya ambil contoh, dulu tahun 1970-an, semua buku James L. Peacock seperti Muslim Puri­tan atau Dahlan dan Rasul, di dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan protestanisme sep­erti Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai negara maju. Tetapi pada 2002, Peacock menulis fundamentalisme, sementara variabel yang dilihat berdasrkan konsep puri­tanisme Muhammadiyah seperti yang ditulisnya pada 1970-an. Dia berkisah tentang nilai yang sama tetapi punya makna yeng berbeda.

Selain otokritik terhadap Muham­madiyah, apa kelebihan Muhammadiyah yang dipresentasikan para peneliti asing kemarin?
Pertama, yang paling tampak or­ganisasi ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para pemikir Indonesia masih berpikir tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini para generasi muda Muhammadiyah berpikir untuk menampilkan Muhammadiyah di tingkat global. Kepercayaan diri itu ditemukan, meski secara geografis Indo­nesia berada di pinggiran dunia Islam. Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan Muhammadiyah adalah rencana menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng Ghulen Move­ment dari Turki atau Nursi movement dan membahas perbandingan antara organisasi-organisasi itu.

Kedua, minat studi kemuhammadi­yahan yang dilakukan para sarjana lebih beragam. Tidak hanya melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga pada aspek spiritualitas, fi­lantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan perspektif yang di­pakai, mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan Weberian perspektif menuju Durkheimian perspektif dan perspektif lain yang melihat tidak se­mata sebagai organisasi ortodok, tapi juga organisasi yang berciri khas ke-Indonesiaan.

Apa refleksi dari kegiatan IRCM kemarin bagi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), terutama untuk pengembangan keilmuan?
Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar doktor dari luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttaqin, Rahmawati Husein, Alimatul Qibtiyah, Hilman Latief, Din Wahid, Prdana Boy, Mohammad Rokib, dan lain-lain. Mereka tampak sudah siap tampil tidak hanya di pentas nasional, tapi juga di tingkat internasional.

Ini barangkali yang sedikit mem­bedakan dari generasi senior di Mu­hammadiyah. Meski duduk dalam satu forum atau satu panel dengan begawan-begawan ahli Islam seperti M.C. Ricklefs, Martin van Bruinessen, Mark R. Woodward, Jonathan Benthall, Mitsuo Nakamura, Hyung-Jun Kim, dan Robert R. Hefner, dan Herman L. Beck, mereka terlihat tak tampak minder atau merasa inferior.

8 comments:

  1. Farid Muttaqin Nah, kalau gitu, orang Muhammadiyah jangan sekali2 nyapres yah, pasti kalah heeee
    January 1 at 9:49pm · Edited · Unlike · 1
    Sunarwoto Dema Exciting!
    January 1 at 9:48pm · Unlike · 1
    Ahmad Sahidah Kualitas atau kuantitas? Apa pun, kekompakan itu adalah jalan keluar. Mungkin kita berbagi peran.
    January 1 at 9:48pm · Unlike · 1
    Budi Asyhari-Afwan Dari pespektif modernism, mas farid bs jd betul..
    Tapi, dr perspektif posmo, kenapa presiden terlama kita militer ya, dan bilangnya sekolahnya d muhammadiyah pula hehehe...
    Warna bendera kita jadi Abu-abu kan...
    January 1 at 9:59pm · Unlike · 1
    Farid Setiawan data itu cukup menarik kang nadjib...memang sejak awal didirikan, segmentasi anggota Muhammadiyah adalah kelas menengah perkotaan, bukan pedesaan. karena itu wajar jika Nakamura menyebut Muhammadiyah sebagai gejala perkotaan...sekalipun akhir-akhir ini Muhammadiyah mulai merangsek ke pedesaan, tetapi jumlahnya tidak seberapa dibandingkan NU
    January 1 at 10:07pm · Unlike · 1
    Anick Ht Saya kira jumlah penduduk Indonesia berdasarkan penganut ormas keagamaan memang ada 170%... :d
    January 1 at 10:29pm · Unlike · 2
    Najib Burhani Farid Muttaqin: Boleh nyalon, tapi siap-siap kalah... apalagi ketika demokrasi kita masih seperti sekarang he he... Kang Mas Sunarwoto Dema: Wis weruh kowe... pura-pura ya? Pak Ahmad Sahidah: Sip, setuju.
    January 1 at 10:44pm · Like

    ReplyDelete
  2. Sunarwoto Dema hahaha bukan pura2 bos. Cuma waktu dijelaskan dengan angka2, aku cuma terpana. Kok bisa menghitungnya
    January 1 at 10:45pm · Unlike · 1
    Sunarwoto Dema kata beberapa orang, Muhammadiyah masih malu2 dengan tradisi sehingga banyak yang hengkang ke tempat lain.
    January 1 at 10:47pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Anick Ht: Kalau semua klaim dijumlahkan, memang bisa lebih dari 170%. Tapi yang menarik Nick, data tentang jumlah anggota Hizbut Tahrir memang naik, hampir 2%. Tentu angka ini mungkin jauh lebih rendah dari perhitungan mereka sendiri. Di samping itu, banyak juga orang yang memang double atau triple organisasinya... Ini yang membuat jumlahnya lebih dari 100%
    January 1 at 11:06pm · Like · 2
    Najib Burhani Mas Farid Setiawan: Yang perlu dipikirkan, di kota Muhammadiyah sekarang harus bersaing dengan Hizbut Tahrir, kelompok tarbiyah, dan kelompok/gerakan sufi kota. Sementara di desa, mereka masih kurang bisa bersaing dg NU.
    January 1 at 11:23pm · Like · 2
    Farid Setiawan munculnya sebagian "kelompok sempalan" yang berbasis di kota memang menjadi tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah, kang..tapi jangan salah, di sebagian daerah, kelompok-kelompok sempalan itu juga juga sudah mulai merangsek ke desa-desa. akhir-akhir ini, sebagian tokoh NU pun mulai gelisah dengan banyak masjid-masjid mereka, bukan pesantren, yang mulai ditake-over oleh kelompok sempalan. selain itu, genealogi munculnya rohis di sekolah-sekolah negeri juga tidak lepas dari pengaruh paham gerakan sempalan itu...
    January 1 at 11:47pm · Unlike · 1
    Nadirsyah Hosen Muhammadiyah jumlah anggotanya berkurang karena banyak yang pindah ke PKS #kompormodeon
    January 2 at 2:22am · Unlike · 2
    Choirul Mahfud Marsahid Kang Najib Burhani: wah sampean iki tau aja ya.... Saya kok tidak tau cara ken michii mengetahui jumlah (kuantitas) warga Muhammadiyah itu dari mana? Lalu apalagi jumlah NU?.... Apa dari kpmilikan kartu anggota Muhammadiyah (Kartam) dan juga dari Kartu anggota NU (Kartanu).... atau dari angka partisipasi politik???? atau dari info mas najib sendiri hehehe..... Dan aneh bin ajaib, pimpinan Muhammadiyah dan NU hingga kini kok malah ga ngasih tau k publik ya???? tukang Updatenya kemana ya?
    January 2 at 3:48am · Unlike · 1

    ReplyDelete
  3. Deny Hamdani Kalau Bush dan Miichi menghitung jumlah pengikut NU dengan rukyat dan Muhammadiyah dengan hisab, baru saya percaya mereka Najib Burhani....
    January 2 at 4:43am · Unlike · 1
    Zainul Bahri Fatih Yang penting kualitasnyalah, buat apa banyak kalo cuma jadi buih...
    January 2 at 5:59am · Unlike · 2
    Hafizh Idri Purbajati izin share mas Najib Burhani
    January 2 at 6:33am · Unlike · 1
    Shobikin Amin untuk mengidentifikasi anggota Muhammadiyah memang sulit, apalagi NU, indikatornya apa seseorang bisa diklaim menjadi anggota NU ato Muhammadiyah ..selain Kartanu/Kartamu dlm penelitian tersebut????...
    January 2 at 6:34am · Like
    Najib Burhani Mas Nadirsyah Hosen: Bukan berpindah ke PKS, tp dihibahkan untuk mengurus PKS he he... Choirul Mahfud Marsahid & Shobikin Amin: Konon katanya warga NU itu tidak pernah berkurang, tapi bertambah terus... kenapa? karena orang NU yang sudah meninggal itu tetap dihitung, tetap dikunjungi he he...
    January 2 at 8:20am · Like · 2
    Najib Burhani Mas Zainul Bahri Fatih: Persoalannya, kualitasnya juga menurun... sekolahnya kalah dg SDIT & sekolah internasional, bbrp rumah sakitnya kalah dari Puskesmas, apalagi pengelolaan zakatnya kalah dengan Dompet Dhuafa & PKPU... Sementara NU, jumlahnya banyak, tapi lebih sebagai tradisi, bukan organisasi...
    January 2 at 8:26am · Like · 1

    ReplyDelete
  4. Shobikin Amin Untuk refleksi ini sangat penting, terutama bg elit persyarikatan yg sudah mulai pro status quo dan semakin jauh dari profesionlitas dlm mengurus organisasi dg berlindung pd asas keikhlasan.
    January 2 at 8:30am · Unlike · 1
    Najib Burhani Mas Deny Hamdani: Selain menggunakan metode hisab & ru'yah, cara menghitungnya juga berdasarkan jumlah pengunjung kuburan & jumlah biji tasbih yang terjual he he... Tp, sekaligus buat Ma Shobikin Amin & Mas Choirul Mahfud Marsahid, sebetulnya pertanyaan yang mereka (Bush & Ken Miichi) ajukan dalam survey adalah ttg afiliasi organisasi dari responden. Dan itulah jawaban yg keluar.
    January 2 at 8:34am · Like
    Syafiq Mughni Silahkan baca buku "How to Lie with Statistics." Bagaimana berbohong dengan statistiks, angka-angka.
    January 2 at 8:38am · Unlike · 2
    Shobikin Amin kata afiliasi organisasi dari responden menjadi multi tafsir, karena PBNU sendiri untuk menasionalisasi sekolah2, rumah sakit, masjid dan pondok pesantren yg konon berafiliasi dg NU menjadi milik NU secara legal formal juga belum sukses.
    January 2 at 8:44am · Unlike · 1
    Najib Burhani Pak Syafiq Mughni: Betul, statistik memang saring berbohong, apalagi kalau yang melakukan tidak pintar atau ada kesalahan sedikit saja dalam prosesnya. Yang pintar statistik-pun sering salah, contohnya tentu saja yang terkenal adalah kemarin pada Pilkada DKI Jakarta...
    January 2 at 8:48am · Like · 1
    Najib Burhani Shobikin Amin: Itulah perbedaan antara organisasi dan tradisi. Dalam organisasi seperti Muhammadiyah, seperti disebutkan Rizal Sukma, org mengaku berafiliasi kalau secara resmi telah bergabung dengan organisasi itu. Sementara untuk tradisi, seperti di NU, datang ke ziarah kubur atau ikut slametan sudah bisa mengaku sebagai NU... Namun demikian, setidaknya, berdasarkan pengakuan orang, ada sesuatu yang perlu diperhatikan di Muhammadiyah, seperti yang Shobikin sampaikan. Kita tidak perlu selalu 'denial'... apalagi tidak ada kepentingan politik 'pilkada' dalam survey itu...

    ReplyDelete
  5. Shobikin Amin Kedua organisasi ini mempunyai model struktur dan pola distribusi kewenangan yg berbeda, menurut kang Najib mana yg lebih hegemonik dan mana yg lebih akomodatif???...
    January 2 at 9:02am · Like
    Najib Burhani Mas Budi Asyhari-Afwan: Untuk kasus Sukarno & Suharto, untuk maju jadi presiden mereka tidak perlu ada pengakuan sbg NU atau Muhammadiyah.... Pengakuan diperlukan ketika sudah jadi demi mendukung programnya sendiri... Hafizh Idri Purbajati: Silahkan!
    January 2 at 9:08am · Like
    Najib Burhani Mas Shobikin Amin: Jawaban yang menarik adalah yang disampaikan Jusuf Kalla. Muhammadiyah itu seperti holding company yang terpusat, terstruktur dari bawah sampai ke atas. sementara NU itu seperti franchise yang masing-masing ulama dan pesantren mendapat otorisasi mengatur sendiri NU di daerahnya, hampir lepas dari kontrol atas atau independen... Nah, kadang sekarang ini franchise itu lebih diminati orang... masing-masing bisa menjadi raja kecil.
    January 2 at 9:32am · Edited · Like · 1
    Shobikin Amin Sebuah ilustrasi jawaban yg cukup matho dan mathuk kang, tapi sayang yang terpusat, terstruktur dari bawah sampai ke atas ala holding company tidak dibarengi dengan etos kerja yg profesional... tapi jutru profesionalisme kerja simbolik yg banyak dipraktekkan. Lihat saja pola rekruitmen tenaga kerja, pola penggajian, pola pemilihan pengurus, pola pengembangan karir dll. Aturannya, mekanisme, jadwalnya sudah benar tp semangat/motivasi, prakteknya dan model evaluasi oraganisasinya masih jauh dari asas esensi profesionalisme kerja.
    January 2 at 9:42am · Unlike · 1
    Shobikin Amin Satu lagi kang ya..sbg orang awam yg tinggal di kampoeng. Sepengetahuan saya,salah satu ciri holding company yg maju adalah gemar mengadakan riset untuk sebuah inovasi produk (minimal 20% dari keuntungan usaha), tp di Organisasi Muhammadiyah kok sepertinya belum, dana lebih banyak untuk pengembangan aset organisasi dan kegiatan ceremonial. . hi...hi..hi
    January 2 at 10:05am · Unlike · 1
    Muhammad Habibi Miftakhul Marwa ya ampun,,,,tapi dengan data segitu apa akan mempengaruhi eksistensi muhammadiyah kedepannya???
    January 2 at 11:13pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Muhammad Habibi Miftakhul Marwa: Sebetulnya data itu tidak terlalu mengejutkan. Beberapa waktu lalu Buya Syafii Maarif juga telah membuka, bahwa warga Muhammadiyah yang memiliki kartu anggota Muhammadiyah itu hanya sekitar 1 juta orang atau tidak ada 1% dari penduduk Indonesia. Angka kecil sebetulnya juga tak terlalu bermasalah. Di Jawa Timur, seperti pernah ditulis Buya, jumlah warga Muhammadiyah itu sangat kecil dibanding NU. Tapi di Jawa Timurlah salah satu kesuksesan Muhammadiyah. Hampir semua kota punya universitas yang bagus2. Aktivitas-nya juga sangat pesat.Wilayah ini barangkali termasuk yg paling kaya di Muhammadiyah.
    January 2 at 11:29pm · Like · 2

    ReplyDelete
  6. Idaman Winahyusidi Pada "wilayah" tsb sy termasuk yg tak tertarik dg data kuantitatip. Data "kajian" asing tsb apakah berkorelasi dg AUM (sekil, RS, mesjid, dll).
    January 3 at 4:17am · Unlike · 2
    Ahmad Sahidah Mas Shobikin Amin, saya juga melihat NU acapkali menghelat pelbagai acara yang banyak mengeruk dana. Doa tak salah, namun adakah ia berkah dengan menghamburkan 'uang' begitu saja?
    January 3 at 2:50pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Mas Idaman Winahyusidi: Mungkin tidak berkorelasi dg AUM, tp dg politik. Seorang teman baik saya baru berkirim email mengungkapkan ketidakpercayaan/ keraguannya dg data statistik ttg keanggotaan NU/Muhammadiyah itu. Memang, seperti terjadi dalam bbrpa kasus, statistik kadang menipu. Ia sering dipakai untuk mendukung argumen2 yg lemah. Makanya, dalam ungkapan dr Benjamin Disraeli dan dipopulerkan oleh Mark Twain disebutkan bahwa ada tiga jenis kebohongan di dunia ini: "Lies, damned lies, and statistics".
    January 3 at 4:44pm · Like
    Martin L Sinaga Kalau mengikut logika Riklefs -bahwa Muhamadyah berdiri dalam rangka "membendung arus" misi Protestan- maka angka 7,9% itu jitu, sebab itu persis dengan jumlah orang Protestan Indonesia. Maka ia sukses (ia modern dan efisien), berdiri membendung sesuai dengan volume arus yang dibendung...ha..ha...
    January 3 at 7:55pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Pak Ahmad Sahidah: Dulu KH Ahmad Dahlan melarang para pengikutnya untuk menyelenggarakan pesta pernikahan bermewah-mewah dan penghambur-hamburan uang untuk ritual. Dia meminta anggota Muhammadiyah memotong separuh dari budget untuk acara ritual dan memberikannya ke Muhammadiyah utk kegiatan sosial. Dan cara itu waktu itu sangat efektif. Tapi sekarang penghamburan uang itu lebih disebabkan karena kemacetan di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Pemborosan uang juga terjadi di politik.
    January 3 at 8:29pm · Like
    Najib Burhani Pak Martin L Sinaga: Apa Ricklefs juga mengatakan itu? Yang paling tegas menulis itu adalah Alwi Shihab dalam disertasinya yg diterbitkan Penerbit Mizan berjudul Membendung Arus. Di Islam, Muhammadiyah sering disebut Protestan juga kan he he, sebagaimana disampaikan oleh Mas Sukidi (Uum Humaerah).
    January 3 at 9:49pm · Like
    Muhammad Habibi Miftakhul Marwa kapan mas kumpul JIMM jogja,,,,,,hasil dari pertemuan di malam kemarin bs di share ke tmn2 jogja
    January 4 at 1:13am · Unlike · 1
    Amich Alhumami Semua angka itu kan hanya klaim saja, tidak ada yang valid, baik klaim umum: NU 40jt, Muhammadiyah 30jt, atau klaim Bush 49% dan 7,9%. Yg dapat memastikan klaim angka hanya Sensus penduduk, tapi dalam Sensus kan hanya ditanya soal agama saja, bukan afiliasi organisasi.
    January 4 at 2:42am · Unlike · 1
    Najib Burhani Muhammad Habibi Miftakhul Marwa: Inshaallah kapan2, kalau pas di Indonesia ya. Salam buat teman2 di sana.
    January 4 at 9:15pm · Like
    Nafi' Muthohirin dahulu para peneliti asing lebih tertarik pada etos kerja di ligkungan Muhamdyah sebagai bahan penelitiannya. Untuk saat ini, jika Persyarikatan ini memperhatikan konflik komunal atau minoritas di berbagai daerah, maka tidak mustahil jika para peneliti asing atau bahkan anak2 muhamdyh sendiri akan banyak yang tertarik meneliti Muhammadiyah kembali.
    January 4 at 9:20pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Nafi' Muthohirin: Seperti yang saya sampaikan, bbrp peneliti itu melihat nilai dan doktrin yg sama yang ada di Muhammadiyah dg perspektif berbeda. Klu pd tahun 1970s, spt yg dilakukan James Peacock, mereka melihat Muhammadiyah sbg representasi protestan etik di negara Muslim. Pd thn 2000s bbrp melihat Muhammadiyah agak condong ke fundamentalisme dg berpijak pd nilai2 yg hampir sama dg yg ada pd thn 1970an. Ini, misalnya bs dilihat pd tulisan Peacock's "Fundamentalisms Narrated: Muslim, Christian, and Mystical" di Fundamentalism comprehended. Ed. Martin E. Marty and R. Scott Appleby. (The Fundamentalism project; v. 5). Chicago: The University of Chicago Press, 1995. Pp. 115-134. http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011/02/fundamentalisms-narrated-muhammadiyah.html

    ReplyDelete
  7. Najib Burhani Mas Amich Alhumami: Sebetulnya survey yg dilakukan Robin Bush itu melibatkan sekiat 1800 responden. Sbgmana dalam survey, jumlah segitu itu terhitung banyak dan dianggap merepresentasikan warga Indonesia. Dan salah satu pertanyaannya adalah ttg asosiasi. Tp mungkin perlu dilihat margin error-nya juga dan sbrp bagus survey itu. Angka 49% untuk NU tentu sulit dipercaya. Krn NU itu mayoritas hanya di Jawa (Timur) dan penduduk Jawa Timur itu jauh dr separuhnya Indonesia.
    Sunday at 7:06pm · Like
    Muhammad Habibi Miftakhul Marwa kalau dengan data segitu,,,memang betul,,,,dikatakan warga NU apa mereka yang bener-bener warga NU (mengaku) NU atau hanya mereka yang ikut tahlilan terus dianggap NU mas?????
    Sunday at 9:36pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Muhammad Habibi Miftakhul Marwa: NU itu lebih kuat dalam tradisi dan tahlilan adalah salah satunya. Orang menjadi NU atau Muhammadiyah tidak mesti menjadi aktivis/pengurus. Pertanyaan afiliasi saya kira berbeda dari dg pertanyaan apakah ia menjadi pengurus/aktivis.
    Monday at 7:06am · Like
    Sumanto Al Qurtuby Najib Burhani: sdh dicek sama ibunda Robin Bush dan Ken Miichi dr mana data mereka atau mereka jangan2 sdh menghitung sendiri dr pelosok ke pelosok he he. Waktu ada org2 yg tdk percaya dgn jumlah org NU, Gus Dur selalu bilang: "kalau nggak percaya hitung sendiri" he he. Yg bikin sy bingung adl, knp jumlah warga NU & Muhammadiyah dr dulu kok nggak berubah (40 jt v 30 juta, misalnya). Emang mrk nggak beranak-pinak? he he
    Monday at 12:38pm · Unlike · 3
    Masroer Ch Jb Menarik total 57, 8..sisanya? ini yg membuat alm Pak Kunowijoyo menulis muslim tanpa mesjid..
    Monday at 12:42pm · Unlike · 3
    Kholilul Rohman Ahmad jaman sekarang rasanya akan sangat sulit mencatat angka warga NU lebih kecil dari Muhammadiyah. Sebab sejak awal mmg NU diklaim (atau mengklaim diri?) lebih besar dari Muhammadiyah, meski berdirinya lebih dulu Muhammadiyah. Untuk menegaskan itu lalu dibuat survey, polling, dll, yg ada angkanya. Tampaknya perlu dipertanyakan metodologi yg dipakai utk menyatakan "NU 49% dari warga Indonesia dan Muhammadiyah hanya 7,9%" itu. Ini menarik.
    Monday at 1:24pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Kang Sumanto Al Qurtuby: mereka memang beranak-pinak, tapi anak-anak-nya pada pindah ke organisasi lain seperti PKS dan HTI. Jadi, yg tetap di organisasi itu jumlahnya sama, zero growth, he he... Atau jumlah yg lahir sama dengan jumlah yg mati, berkat kesuksesan KB he he... Tapi pertanyaan sampeyan memang layak diajukan... angka itu sepertinya sudah menjadi mitos yg harus dibongkar...
    Monday at 7:17pm · Edited · Like · 1
    Najib Burhani Mas Kholilul Rohman Ahmad: Konon, NU lahir setelah Muhammadiyah itu hanya di catatan formal atau catatan administratif modern. NU sudah ada di masyarakat sebelum Muhammadiyah, tp tidak memakai nama he he... Kang Masroer Ch Jb: Sisanya ke Persis, Nahdlatul Watan, HTI, Shi'ah, Ahmadiyah, tak berafiliasi, dst... survey ini ingin melihat kekuatan dan pandangan Islam 'moderat', sepertinya arahnya ke situ...
    Monday at 6:24pm · Like
    Mohammad Fathi Royyani daripada menanyakan data yang diperoleh Robin Bush dan Ken Miichi dari mana sebagai bentuk protes atau tidak percaya terhadap hasil penelitian, alangkah lebih baik kalau kemudian kita membantah dengan hal yang sama, indikator atau metode yang berbeda.....See More
    Monday at 8:04pm · Unlike · 1
    Najib Burhani Mohammad Fathi Royyani: Setuju. Memang sebaiknya kita tidak menjadi orang yg suka membantah tanpa memiliki dasar apapun. Data itu meragukan atau sulit dipercaya, tapi untuk meyakinkan keraguan itu perlu ditunjang data. Atau perlu falsifikasi terhadap data Robin Bush dan Ken Miichi.
    Monday at 8:49pm · Like

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mohammad Fathi Royyani daripada menanyakan data yang diperoleh Robin Bush dan Ken Miichi dari mana sebagai bentuk protes atau tidak percaya terhadap hasil penelitian, alangkah lebih baik kalau kemudian kita membantah dengan hal yang sama, indikator atau metode yang berbeda...sehingga kita bisa mngklaim dan mengkordinasikan gerakan islam modern, bukan ke arah 'persaingan'. kalau secara kualitatif kan tampaknya pergeseran jumlah tampak signifikan, terutama kalau kita lihat di kampus2, masjid2, atau makin banyak 'berkeliarannya' orang2 yang memiliki ciri khas tertentu...
      Monday at 8:04pm · Unlike · 1

      Delete