Monday, October 31, 2011

Muhammadiyah: Gerakan Civil Society Yang Mandiri, Tidak Anti Pemerintah

Jurnal MAARIF Vol. 4, No. 2 — Desember 2009

DR. Abdul Mu’ti

Beberapa hari menjelang pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, saya menerima puluhan short message services (SMS) dari berbagai kalangan internal Muhammadiyah yang mengharapkan agar “tradisi” Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader Muhammadiyah tetap dapat dipelihara dan diperjuangkan. Kepada semua pengirim SMS saya sampaikan bahwa kewenangan penentuan jabatan menteri ada sepenuhnya di tangan presiden. Bahkan, kepada mereka yang saya kenal secara pribadi, saya sampaikan dengan nada setengah mengingatkan: tidak etis apabila Muhammadiyah merekomendasikan nama menteri sementara pada saat pemilihan presiden, Muhammadiyah mendukung calon lain – yang ternyata kalah.


Ketika presiden mengumumkan nama-nama menteri KIB II secara resmi, saya menerima SMS dengan nada berbeda-beda. Sebagian besar bernada marah dan pesimistis. ”Gara-gara berpolitik, sekarang Muhammadiyah kena batunya.

Gigit jari tidak mendapatkan satu pun jatah menteri. “Kecian deh lu”. Demikianlah antara lain SMS yang bernada marah. SMS yang bernada pesimistis antara lain berbunyi: ” Setelah Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh kader-kader NU, tamatlah riwayat pendidikan Muhammadiyah.” Tetapi, selain mereka yang menumpahkan kemarahan dan pesimisme, saya menerima juga SMS yang ksatria dan optimistis. ”Ketika Mendiknas dan Menag tidak lagi dipegang oleh kader Muhammadiyah, kini saatnya kita bangkit, tegak berdiri di luar pemerintahan. Muhammadiyah kini bisa bebas merdeka.”

Untuk ”meringankan beban” beberapa SMS bernada pesimistis dan marah saya kirim ke salah seorang politisi Muhammadiyah. Dengan gayanya yang khas, politisi Muhammadiyah ini menjawab: ”Lha wong Muhammadiyah tidak berpolitik kok minta jatah menteri. Kalau mau jabatan menteri ya berpolitik.” Ketika saya katakan bahwa jabatan menteri juga penting untuk ”kebanggaan” dan memperkuat dakwah, politisi Muhammadiyah ini menjawab: ”Sudahlah. Dulu, pada jaman Belanda, Muhammadiyah tidak memiliki menteri. Bahkan, Muhammadiyah juga ditekan oleh penjajah Belanda. Dalam situasi demikian, toh Muhammadiyah bisa hidup dan berkembang dengan baik.”

Dalam konteks gerakan Muhammadiyah, dialog singkat di atas bukanlah sekedar curahan hati atau pikiran tetapi lebih jauh memiliki makna yang menggambarkan pandangan internal Muhammadiyah mengenai relasi Muhammadiyah dengan negara. Bagaimana Muhammadiyah memahami diri dan posisinya terhadap negara dan bangsa. Pertanyaan pertama berhubungan dengan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keislaman. Pertanyaan kedua terkait dengan bagaimana interaksi Muhammadiyah dengan lingkungan sosial-politik dan sejauhmana lingkungan tersebut mempengaruhi karakter gerakan Muhammadiyah. Dua pertanyaan inilah yang akan dicoba dikaji dalam artikel ini.

Gerakan Civil-Society Para Priyayi

Selama ini terdapat dua pandangan mengenai Muhammadiyah yang menurut saya tidak sepenuhnya tepat. Pertama, pandangan yang berkaitan dengan motivasi kelahiran Muhammadiyah. Kedua, pandangan yang berhubungan dengan para pendiri Muhammadiyah.

Sebagian besar intelektual dan tokoh Muhammadiyah memahami bahwa kelahiran Muhammadiyah dilandasi oleh firman Allah Surat Ali Imran (3): 104. ”Ayat Muhammadiyah” tersebut mengandung tiga perintah. Pertama, perintah untuk membentuk organisasi yang solid sebagaimana dipahami dari lafadz ”ummat”. Kedua, perintah untuk berdakwah, mengajak manusia kepada jalan kebajikan (yad’u ila al-khair). Ketika, perintah untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar; memerintahkan kebenaran dan mencegah kejahatan.

Pemahaman ini memiliki dua implikasi yang sangat menentukan karakter gerakan Muhammadiyah. Pertama, kelahiran Muhammadiyah merupakan produk dari ”proses deduksi” atas tafsir Surat Ali Imran (3): 104. Jika mengikuti logika deduktif ini, pendirian Muhammadiyah merupakan ”pengamalan wahyu”. Posisi K.H. Ahmad Dahlan menyerupai Nabi Muhammad yang menerima wahyu dari Allah. Begitu menerima wahyu untuk menunaikan shalat, maka Nabi Muhammad langsung mengajarkan dan mengajak umatnya menunaikan shalat serta mendirikan masjid. Begitu memahami makna yang dikandung oleh wahyu Surat Ali Imran (3): 104, K.H. Ahmad Dahlan langsung mengajak sahabat-sahabatnya mendirikan Muhammadiyah. Pemahaman ini membentuk karakter Muhammadiyah sebagai gerakan ”Agama Islam” dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Kedua, karena Muhammadiyah lebih dipahami sebagai gerakan ”Agama Islam” maka orientasi gerakannya sangat fokus kepada masalah-masalah keagamaan. Gerakan Muhammadiyah dititikberatkan pada hal-hal yang bersangkut paut dengan akidah, ibadah dan dakwah. Dalam bidang akidah, gerakan Muhammadiyah dititikbertakan pada pemurnian Islam, terutama pemberantasan sinkretisme, politeisme dan bentuk-bentuk kreatif lain dari takhayul dan khurafat. Dalam bidang ibadah, gerakan Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran dasar Islam al-Quran dan Hadits, meninggalkan bid’ah dan taklid dalam beragama. Gerakan dakwah Muhammadiyah dimaknai sebagai proses islamisasi yaitu untuk mengajak masyarakat non-Muslim memeluk Agama Islam dan mereka yang telah memeluk Islam untuk memperbaharui keislamannya.

Terkait dengan latar belakang para pendiri gerakan, pendapat yang paling populer menyebutkan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh para pedagang atau pengusaha pribumi Jawa. Pandangan ini didasarkan atas beberapa telaah sejarah yang menjelaskan bagaimana K.H. Ahmad Dahlan aktif berdagang dan mengembangkan Muhammadiyah melalui aktivitas bisnisnya. Muhammadiyah masa awal berkembang dan didukung oleh komunitas pedagang. Faktor inilah yang membentuk karakter Muhammadiyah sebagai gerakan yang mandiri, kreatif dan berani. Muhammadiyah terus berkembang, meskipun mendapatkan banyak tantangan dari masyarakat dan tekanan pemerintah Belanda.

Menyangkut kedua hal tersebut -proses kelahiran dan latar belakang para pendiri Muhammadiyah- saya memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Pandangan saya ini berdasarkan atas kajian literatur sejarah, terutama sumber-sumber yang berasal dari murid langsung K.H. Ahmad Dahlan, dan dokumen-dokumen resmi persyarikatan. Menurut hemat saya, Muhammadiyah lebih merupakan gerakan sosial yang digerakkan oleh para priyayi-santri daripada gerakan Islam yang dimotori para pedagang pribumi. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan sosial murni, tetapi gerakan sosial yang bertaut-erat dengan Islam dan menjadikan Islam sebagai solusi atas persoalan-persoalan sosial dan kehidupan. Dalam konteks ini, al-Quran dan Hadits lebih berperan sebagai pedoman atau landasan etik-normatif dan jawaban atas berbagai problematika kehidupan.

Karena itu, menurut hemat saya, kelahiran Muhammadiyah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial daripada keagamaan. Kelahiran Muhammadiyah merupakan wujud tanggungjawab sosial orang-orang yang beriman. Dengan demikian, proses kelahiran Muhammadiyah lebih bersifat ”induktif” bukan ”deduktif”.

Kesimpulan ini didasarkan atas dua argumen. Pertama, sebelum mendirikan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan sudah merintis kegiatan pendidikan yang diselenggarakan melalui dua cara. Pertama, mengajarkan pendidikan agama ekstra-kurikuler di Sekolah Pamong Praja (OSVIA) Magelang dan Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta. Kedua, mendirikan madrasah sendiri di emper (teras) rumahnya. Madrasah tersebut menggunakan meja-kursi dan mengajarkan ilmu agama dan non-agama sekaligus. Kegiatan pendidikan tersebut dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai wujud tanggungjawab sosial melihat kebodohan di masyarakat dan kesenjangan sosial antara kelompok santri tamatan pesantren yang melulu belajar ilmu agama dan para priyayi lulusan sekolah Belanda yang hanya mempelajari ilmu non-agama (Arifin, 1987).

Argumen kedua, gagasan pendirian Muhammadiyah –sebenarnya- bukan murni berasal dari K.H. Ahmad Dahlan melainkan dari murid-murid atau sahabat seperjuangannya di Budi Utomo. Sebagaimana ditulis Kyai Sudja, murid dan sahabat K.H. Ahmad Dahlan, para anggota Budi Utomo sangat tertarik dengan gagasan dan pemikiran Islam K.H. Ahmad Dahlan. Karena itu, agar gagasan-gagasan tersebut dapat tersosialisasi lebih luas dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang, para anggota Budi Utomo mengusulkan kepada K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi. Semula K.H. Ahmad Dahlan agak ragu. Tetapi setelah mendalami al-Quran, khususnya Surat Ali Imran (3): 104, K.H. Ahmad Dahlan setuju dengan usul pendirian organisasi yang oleh K.H. Ahmad Dahlan diberi nama Muhammadiyah (K.H. Sudja, 2008). Ketika ditanya apa makna Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menjawab: Muhammadiyah artinya pengikut Nabi Muhammad. Para anggota Muhammadiyah diharapkan dapat meneladani kehidupan Nabi Muhammad dan memperjuangkan ajarannya (Junus Salam, 1967). Karena itu, gagasan pendirian organisasi Muhammadiyah merupakan proses bottom-up yang berasal dari murid-murid K.H. Ahmad Dahlan yang kemudian mendapatkan afirmasi dari al-Quran.

Mengenai para pendiri Muhammadiyah, saya berpendapat bahwa anggota intinya adalah para priyayi-santri Jawa. Sebagaimana dijelaskan oleh K.H. Sudja (2008), mereka yang proaktif dan yang nama-namanya tercantum dalam akte pendirian Muhammadiyah adalah para priyayi-santri Jawa. Sebagian besar mereka bergelar Raden, Kyai Haji. Mereka adalah elit priyayi-santri yang dekat dengan Kesultanan Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan sendiri, memiliki gelar Raden Ngabehi. Gelar ini melekat dengan jabatannya sebagai Ketib Amin (Najib Burhani, 2004). Dalam struktur Kesultanan Yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan termasuk salah seorang abdi dalem santri (Arifin, 1987). Karena posisi Ketib Amin tidak menuntut pekerjaan penuh (full time job), K.H. Ahmad Dahlan masih memiliki kesempatan untuk mengembangkan usaha batik dan memasarkan produknya ke luar Yogyakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para pendiri Muhammadiyah, khususnya K.H. Ahmad Dahlan bukanlah seorang yang berprofesi murni sebagai pedagang, tetapi juga seorang abdi dalem santri. K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang santri-priyayi yang aktif berbisnis.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah lebih merupakan gerakan sosial-keagamaan, bukan gerakan keagamaan murni. Gerakan Muhammadiyah yang dimotori oleh para elit priyayi-santri-pedagang ini terus berkembang sebagai gerakan berbasis massa (civil society) yang berpegang teguh pada Agama Islam sebagai landasan normatif-etik dalam setiap gerak langkahnya. Mandiri, Tidak Anti Pemerintah

Melihat latar belakang sosial para pendirinya, sangat bisa dipahami jika Muhammadiyah tidak memiliki tradisi perlawanan atau konfrontasi yang frontal dan terbuka dengan pemerintah. Meskipun banyak praktik keagamaan Kesultanan Yogyakarta yang sinkretik dan bertentangan dengan misi purifikasi akidah Islam, K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah melakukan kritik terbuka. K.H. Ahmad Dahlan senantiasa mengedepankan dialog ilmiah dan pendekatan persuasif. Melihat arah kiblat Masjid Besar Kesultanan yang tidak sesuai dengan konsep falak dan fiqh yang diyakininya, K.H. Ahmad Dahlan melayangkan surat kepada Penghulu dan Ketib Amin untuk bermusyawarah dan berdialog. Ketika gagasannya tidak diterima, K.H. Ahmad Dahlan tidak memaksakan kehendak. K.H. Ahmad Dahlan mendirikan mushalla di rumahnya yang arah kiblatnya sesuai dengan ilmu falak. Pembuatan garis shaf di Masjid Besar Kesultanan yang mengikuti konsep kiblat K.H. Ahmad Dahlan yang berbuntut ketegangan antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Pihak Kesultanan bukan atas perintahnya tetapi inisiatif kaum muda Kauman yang memandang keabsahan pendapat K.H. Ahmad Dahlan (K.H. Sudja: 2008).

Sikap persuasif dilakukan K.H. Ahmad Dahlan ketika terjadi perbedaan Idul Fitri dengan Grebeg. Sebagai seorang ulama, K.H. Ahmad Dahlan menyadari bahwa Idul Fitri merupakan Syariat Islam yang harus dilaksanakan sesuai dengan Sunnah Nabi. Sedangkan Grebeg merupakan tradisi yang harus dilaksanakan sesuai dengan sistem Kesultanan. Dalam posisi demikian, K.H. Ahmad Dahlan meminta untuk dapat bertemu dengan Sultan melalui Penghulu. K.H. Ahmad Dahlan menempuh jalur birokrasi ini agar tidak menimbulkan ketegangan. Pertemuan dengan Sultan menghasilkan solusi jalan tengah (win-win solution): Shalat Idul Fitri dilaksanakan sesuai dengan hitungan Falak. Grebeg dilaksanakan sesuai dengan kalender Aboge (Arifin, 1987).

Begitu pula sikap Muhammadiyah terhadap pemerintah Belanda. Tidak ada keraguan lagi betapa Muhammadiyah sangat anti terhadap penjajahan. Selain menimbulkan penderitaan rakyat, penjajahan juga bertentangan dengan prinsip Tauhid Islam. Para tokoh Muhammadiyah seperti K.H. Fachrudin, bahkan K.H. Ahmad Dahlan menentang keras penjajahan. Penentangan Muhammadiyah terhadap misi Kristen di Indonesia bukan disebabkan oleh sikap anti atau kebencian Muhammadiyah terhadap Agama Kristen, tetapi lebih disebabkan oleh sikap pemerintah Belanda yang tidak netral dan kebijakan pemerintahan yang selalu berpihak kepada kelompok Kristen (Alwi Shihab, 1998).

Meskipun demikian, sikap anti-kolonialisme tidak serta merta membuat K.H. Ahmad Dahlan dan para tokoh Muhammadiyah bermusuhan dengan Belanda. Secara resmi Muhammadiyah mengajukan ijin pendirian organisasi kepada pemerintah Belanda. Sistem pendidikan Muhammadiyah juga mengakomodir sistem sekolah Belanda. Oleh karenanya, Belanda tidak menaruh kecurigaan kepada gerakan Muhammadiyah. Sikap akomodatif membuat sekolah-sekolah Muhammadiyah mendapatkan subsidi pemerintah. Akibat dari sikap ”akomodatif” dan ”kooperatif” tersebut K.H. Ahmad Dahlan dituding sebagai kyai kafir dan antek penjajahan. Bahkan, Muhammadiyah juga sempat dikucilkan oleh gerakan-gerakan Islam dan politik yang mengambil sikap oposisi dan konfrontasi kepada Belanda (Jainuri, 2002).

Muhammadiyah memiliki alasan-alasan teologis dan politis yang mendasari kerjasama dan kesediaan menerima subsidi dari pemerintah Belanda. Menurut K.H. Hisyam, Muhammadiyah menerima bantuan dari Belanda karena uang tersebut hakikatnya adalah uang rakyat Indonesia. Jika Muhammadiyah tidak mau menerima maka subsidi tersebut akan dialokasikan kepada organisasi lain (Djarnawi Hadikusumo, t.th). Walaupun menerima subsidi, tidak berarti Muhammadiyah menjadi sub-ordinat pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Belanda memberlakukan Ordonansi Guru dan Haji, Muhammadiyah tampil di barisan terdepan menentang pemberlakuan ordonansi tersebut. Muhammadiyah aktif melakukan tekanan politik dan menggalang kekuatan berbagai elemen sosial dan politik melawan pemberlakukan Ordonansi Guru.

Perjuangan Muhammadiyah berhasil. Usul-usul Muhammadiyah diterima dan Ordonansi Guru dirubah sebelum akhirnya dicabut (Alfian, 1989). Sikap akomodatif dan kooperatif tidak membuat Muhammadiyah kehilangan sikap kritis, khususnya menyangkut misi dakwah dan keadilan sosial. Menerima bantuan tidak membuat Muhammadiyah kehilangan kemandirian. Muhammadiyah memahami subsidi atau bantuan sebagai bentuk kerjasama (partnership). Karena itu, Muhammadiyah mengkritik keras kebijakan pemerintah Belanda yang mengurangi subsidi untuk rumah sakit dan layanan sosial Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, pemerintah Belanda sudah bersikap tidak adil karena ternyata pengurangan subsidi dilakukan untuk menambah subsidi bagi lembaga-lembaga Kristen. Karena itu, Muhammadiyah meminta agar seluruh subsidi untuk Muhammadiyah dan yang lainnya dicabut (Syukrianta dan Munir Mulkhan, 1985).

Sikap kritis dan kooperatif ini senantiasa menjadi ciri gerakan Muhammadiyah. Pada masa Orde Baru, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang banyak bermitra dengan pemerintah. Sikap Muhammadiyah yang tidak konfrontatif membuat organisasi Muhammadiyah dan para tokohnya dekat dengan pemerintah. Harus diakui, perkembangan dan akselerasi kegiatan Muhammadiyah dipengaruhi oleh kedekatannya dengan pemerintah. Kedekatan inilah yang membuat Muhammadiyah menjadi sangat melekat dengan pemerintah (government-attached). Mayoritas anggota dan pimpinan adalah pegawai negeri. Tidak hanya itu, susunan Majelis di dalam struktur organisasi Muhammadiyah juga disesuaikan dengan departemen pemerintah. Tetapi, hal ini sama sekali tidak berarti bahwa Muhammadiyah tergantung kepada pemerintah. Sebagian besar kegiatan Muhammadiyah dan amal usaha berasal dari filantropi Islam: zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan sebagainya. Tanpa pemerintah, Muhammadiyah tetap dapat berkembang.

Penutup

Persoalannya, mengapa kalangan internal Muhammadiyah sedikit gundah ketika tidak ada kadernya yang menjadi menteri? Pertama, menurut Muhammadiyah pemerintah adalah mitra yang sangat penting dalam bekerja untuk mewujudkan cita-citanya: membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dengan kekuatan politik yang dimilikinya, pemerintah memiliki kekuatan yang mampu “mengarahkan” rakyatnya. Kedekatan dengan pemerintah akan memiliki dampak positif bagi dakwah Muhammadiyah. Faktor strategis inilah yang menjadi alasan mengapa Muhammadiyah begitu peduli dengan pemerintah dan berusaha mentransfer kadernya untuk berperan dalam pemerintahan.

Kedua, dalam pandangan Muhammadiyah, kemandirian bukan berarti menolak bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Kemandirian bagi Muhammadiyah berarti kemampuan menjadi kemitraan sesuai dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, dan bermanfaat. Kemampuan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak merupakan indikator tertanamnya sikap terbuka dan kebebasan berkehendak.

Karena itu, sebagai gerakan civil society Muhammadiyah bukanlah anti pemerintah. Bekerjasama dengan pemerintah tidak berarti Muhammadiyah menjadi subordinat atau underbouw pemerintah. Dalam mencapai tujuannya, Muhammadiyah perlu mengembangkan kemitraan strategis dengan berbagai pihak tanpa kehilangan jatidirinya sebagai gerakan sosial berbasis massa yang mandiri. SMS yang mengaitkan jabatan menteri dengan Muhammadiyah barangkali dapat dimaknai dalam konteks ini.

Referensi

Alfian, Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1989).

Arifin, M.T., Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987).

Burhani, Ahmad Najib, Muhammadiyah and Javanese Culture: Appreciation and Tension, (Leiden University: Unpublished Thesis, 2004).

Hadikusumo, Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, t.th).

Jainuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Muhammadiyah Masa Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).

Shihab, Alwi, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, cetakan I, 1998).

Sudja, K.H., Islam Berkemajuan: Kisah-Kisah K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal, (Jakarta: Al-Wasath, 2008).

Syukrianta, AR dan Abdul Munir Mulkhan (Editor), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1985).

Abdul Mu’ti

Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar & MenengahPimpinan Pusat Muhammadiyah

1 comment:

  1. Terima kasih pak!!
    Makalahnya sangat menaik untuk dijadikan referensi

    sy juga sering berbagi karya tulis di http://harismubarak.blogspot.com

    ReplyDelete