Belum banyak pustaka yang membahas terkait keberadaan Muhamadiyah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Meskipun Surabaya jelas-jelas menyumbang salah satu tokohnya dalam dinamika perkembangan Muhammadiyah, akan tetapi tidak lantas menjadikan Muhammadiyah membidik Surabaya sebagai basis gerakannya. Minangkabau disinyalir lebih kondusif untuk perkembangan Muhammadiyah ke depan, selain Yogyakarta. Meskipun demikian, Surabaya pernah dijamah Muhammadiyah pada awal tahun 1920-an.
Sejak disahkannya surat perizinan no. 40 yang diberikan pada 16 Agustus 1920 oleh pemerintah Kolonial Belanda, Muhammadiyah semakin menemukan angin segar untuk mengembangkan sayap dengan meluaskan cabangnya di luar Yogyakarta. Salah satunya adalah Muhammadiyah cabang Surabaya yang resmi berdiri pada tahun 1921. Tokoh-tokoh yang berperan aktif dalam perkembangan Muhammadiyah Jawa Timur adalah Mas Mansur dengan dibantu oleh beberapa tokoh lokal kenamaan seperti Kiai Usman[19], H. Asyhari Rawi, dan H. Ismail.[20]
Selain sebagai tokoh yang berperan dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur, Mas Mansur juga ditunjuk sebagai ketua pertama Muhammadiyah cabang Surabaya yang dibantu oleh orang-orang yang telah disebut para paragraf sebelumnya. Bagi Ahmad Dahlan, berdirinya Muhammadiyah di Surabaya merupakan keberhasilan yang luar biasa, apalagi orang yang memegang adalah Mas Mansur, orang yang begitu besar andilnya terhadap Muhammadiyah. Selanjutnya terjadi efek domino dalam perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Tidak lama berselang berdiri Muhammadiyah di Banyuwangi dan Situbondo pada tahun 1922, kemudian Gresik pada 1926 dan tempat-tempat lain di Jawa Timur.[21]
Efek domino ini juga yang membawa Muhammadiyah sampai ke pesisir utara Lamongan, yang waktu itu poros penyebarannya berada di tiga titik; Blimbing, Pangkatrejo dan kota Lamongan sendiri. Khususnya di Blimbing, yang bisa dikatakan sebagai ibukotanya pesisir utara Lamongan, Muhammadiyah mendapat sambutan begitu antusias dari masyarakat.[22] Sejalan dengan itu, masyarakat Blimbing yang dulunya adalah masa Masyumi yang fanatik banyak berpindah ke Muhammadiyah setelah Masyumi resmi dibubarkan oleh pemerintah beberap saat setelah tudingan tindakan sparatis kepada PRRI/Permesta.[23]
Bibit penyebaran Muhammadiyah di Lamongan muncul pertama kali di Kabupaten Lamongan bermula di Blimbing, kecamatan Paciran yang dikembangkan oleh H. Sa’dullah pada 1936. Dalam penyebarannya Sa’dullah dibantu oleh seorang perempuan. Zainab namanya, yang sering disebut dengan Siti Lembah. Sampai saat ini belum banyak pustaka dan keterangan tentang kegiatan perintisan keduanya, kecuali Sa’dullah adalah orang yang sangat komunikatif dalam dakwahnya sehingga mudah mempengaruhi orang di sekitarnya.
Tokoh lain yang mempunyai andil dalam penyebaran Muhamadiyah adalah KH. Mohammad Amin Mustofa. Dalam usia yang relatif masih muda, Amin sudah mengasuh ponpes di Tunggul, sebelah timur Paciran. Sebelum resmi mengajar di ponpes, Amin lebih dulu malang melintang menimba ilmu di pelbagai pesantren yang tersebar di Jawa Timur, seperti Tebuireng, Termas, Ngeloh Kediri dan Maskumambang di Gresik.
Setelah merasa mendapatkan massa yang signifikan, Muhammadiyah berupaya meluaskan dakwahnya ke tempat lain di Lamongan. Muhammadiyah kemudian beralih agak ke tengah melalui beberapa ulama yang aktif di SI (Sarikat Islam). Melalui SI inilah, gerakan pembaharuan Muhammadiyah lebih cepat dikenal, dimengerti, dan diamalkan oleh sebagian masyarakat. Beberapa nama yang bisa dicatat adalah Sofyan Abdullah di desa Pangkatrejo,[24] Kecamatan Maduran, dan H. Khozin Jalik di kota Lamongan yang saat itu mengajar di sekolah Nahdhotul Ulama (NU) di Lamongan. Ayah Khozin sendiri adalah tokoh NU yang berpengaruh di Lamongan.
Secara organisasi, Muhammadiyah Lamongan resmi berdiri sendiri setelah turunnya SK PP Muhammadiyah No. C-076/D-13, tanggal 11 September 1967. Perlu diketahui, sebelumnya cabang-cabang Muhammadiyah yang ada di Paciran berada di bawah pengawasan PMD Bojonegoro. Ketika resmi menjadi Pimpinan Daerah, Muhammadiyah waktu itu membawahi 5 cabang, yaitu Cabang Lamongan (PP Muhammadiyah No. 1024, 11 Mei 1953), cabang Jatisari/Glagah (PP Muhammadiyah No. 1481, 2 Mei 1961), cabang Babat (PP Muhammadiyah No. 1952, 4 Februari 1962), cabang Pangkatrejo (PP Muhammadiyah No. 1707, 27 Juli 1963), dan cabang Blimbing/Paciran (PP Muhammadiyah No. 1796, 1 Februari 1964).[25]
Setelah mendapat pengesahan dari PP Muhammadiyah, Muhamamdiyah Lamongan semakin mengepakkan sayapnya untuk mengembangkan Muhammadiyah secara organisatoris berdasar pada muktamar dan Musyawarah Wilayah. Muhammadiyah Lamongan pun berkembang dengan pesat. Dengan berkembangnya Muhammadiyah di Lamongan selanjutnya berdampak pada perkembangan Muhammadiyah di Sukodadi, Babat, dan sekitarnya.
Selain daerah yang berdekatan langsung dengan kota Lamongan, Muhammadiyah di kabupaten Lamongan juga berkembang besar di wilayah pesisir Lamongan. Salah satunya adalah Blimbing, Paciran dan Brondong. Untuk Blimbing, dulunya adalah basis Masyumi. Segera setelah masyumi bubar pada 1960, masyarakat Blimbing banyak yang berbondong-bondong masuk dan aktif sebagai anggota Muhamamdiyah.
Muhammadiyah cabang Blimbing mengalami perkembangan yang signifikan. Selain sambutan antusias masyarakat setempat, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan dari kalangan ulama setempat. Hal ini dapat dilihat dari struktur kepengurusan yang dipilih pada konferensi cabang Blimbing pada Agustus 1962. Secara aklamasi dipilihlah Kiai Adnan Noer sebagai ketua dan Kiai Ridlwan sebagai wakilnya. Hal ini menunjukkan bahwa kalangan ulama masih mempunyai posisi dan kedudukan yang istimewa di masyarakat Muhammadiyah Blimbing.[26] Selain unsur kiai dan ulama, Muhammadiyah Blimbing juga mendapat dukungan kuat dari pada pedagang. Terbukti dengan dipilihnya H. Umar Fauzi dan H. Sholihin, yang notabenen adalah pedagang, sebagai bendahara Cabang. Selain itu adalah ulama kharismatik K.H. Abdurrahman Syamsuri, yang umum dipanggil Yi Man.[27]
Cabang Blimbing membawahi beberapa ranting, salah satunya adalah ranting Paciran dan ranting Brondong. Dalam perkembangam selanjutnya, berdasarkan intruksi PP Muhammadiyah agar tiap cabang berada di Kota Kecamatan, maka cabang Blimbing dipecah menjadi Cabang Paciran dan Cabang Brondong, dikarenakan waktu itu Paciran dan Brondong adalah ibu kota kecamatan.[28]
Muhammadiya cabang Paciran pertama kali terbentuk sekitar tahun 1967, dan yang menjadi ketua cabang untuk pertama kalinya adalah KH. Abdurrahman Syamsuri dengan sekretarisnya adalah Maryono, yang waktu itu menjadi PNS di tempat yang sama. Surat keputusan pengesahan pendirian cabang ini baru keluar pada 19 Oktober 1977 berdasar SK PP Muhammadiyah nomor M/033/1977. Cabang Paciran membawahi beberapa ranting diantaranya: Kranji, Sendangagung, Sendangdhuwur, Paloh, Dengok, Sumuran, Warulor, Blimbing, Tunggul, Sidodadi, Banjarwati, Tlogosadang, Tepanas, Weru, Paciran, Sidokelar, Drajat, Kandangsemangkon, Kemantren, Sumurgayam dan Sidokumpul.[29] Seperti halnya Muhammadiyah di beberapa tempat, Muhammadiyah Paciran juga mempunyai beberapa amal usaha yang saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya, yang akan dijelaskan secara rinci pada bab selanjutnya.
---------------
[19] Karena kepiawaiannya sebagai ulama dan cendikia, Kiai Usman diangkat menjadi Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936 yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, dia menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai konsul Muhammadiyah Jawa Timur tahun 1936. Tim Penulis, Siapa dan Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur (Surabaya: Hikmah Press, 2005), hlm. 92.
[20] Ahmad Najib Burhani, op cit, hlm. 137.
[21] Mustakim, Matahari Terbit di Kota Wali, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah Gresik 1926-2010, (Gresik: MUHIpress, 2011), hlm. 48.
[22] Fathurrahim Syuhadi, Mengenang Perjuangan Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005 (Surabaya: Java Pustaka Media Utama, 2006), hlm. 13.
[23] Wawancara dengan Bapak Maryono. Pada Rabu 11 Agustus 2010.
[24] Tahun 1940 di Pangkatrejo telah ada kelompok belajar keagamaan yang condong dengan Muhammadiyah yang diasuh oleh Sofyan Abdullah. Selain diasuh oleh guru-guru setempat, kelompok belajar ini juga mendatangkan beberapa guru dari Yogyakarta. Pada tahun 1948 kelompok belajar ini merubah namanya menjadi Madrasah Al Abdaliyah yang menggunakan model klasik. Fatrurrahim Syuhadi, op. cit, hlm. 17.
[25] Farhurrahman Syuhadi, ibid, hlm. 23.
[26] KH. Ahmad Adnan Noer dan KH. Ridlwan Syarqowi adalah teman seangkatan sewaktu belajar di pesantren Maskumambang yang diasuh oleh KH. Amar Faqih. Lihat profil mereka dalam Tim Penulis, Siapa dan Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur (Surabaya: Hikmah Press, 2005).
[27] Baca KH. Ahmad Adnan Noer, Catatan Kehidupan Pribadi dan Keluarga (manuskrip) dan KH. Ahmad Adnan Noer, Catatan Aneka Warna (manuskrip dimulai dari tahun 1951), dalam Sjamsudduha, Konflik dan Rekonsiliasi NU Muhammadiyah (Surabaya: Bina Ilmu, 1999), hlm. 61-62. Kesemuanya tersimpang di Perpustakaan PW Muhammadiyah Jawa Timur.
[28] Wawancara Bapak Maryono, op cit.
[29] Farhurrahim Syuhadi, op. cit, hlm. 27
Retrieved from: http://ndangcerung.wordpress.com/2011/08/02/muhammadiyah-pesisir/#_ftn29
The original article is entitled: Muhammadiyah Pesisir. This article is taken from his (ndangcerung) BA Thesis.