Wednesday, December 15, 2010

Muhammadiyah dan Kebangkitan Islam di Indonesia

Oleh Abdurrahman Wahid

(Pokok-pokok pikiran dalam diskusi panel dengan warga Muhammadiyah Wilayah DKI Jakarta Raya, 4 Januari 1981)

Wahid, Abdurrahman. 1981. Muslim di tengah pergumulan: berbagai pandangan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional. pp. 32-37.

Muhmmadiyah adalah bagian dari gerakan pembaharuan atau reformasi yang terjadi di seluruh dunia Islam semenjak dua abad atau tiga abad yang lalu (semenjak Ibn Taimiyah dan Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mengemukakan pandangan pemurnian mereka). Ia membawakan sebuah pola keyakinan agama yang sama sekali baru di kalangan kaum muslimin Indonesia, sehingga terjadi perubahan revolusioner yang bersifat mendasar dalam keyakinan yang tidak hanya bersifat keagamaan murni belaka, melainkan melimpah juga ke sektor-sektor lain (seperti pendidikan, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan sebagainya).

Aktivisme kemasyarakatan ini adalah inti dari responsi ummat Islam terhadap berbagai macam tantangan yang dihadapinya kini, dari apa yang dirumuskan sebagai bahaya Kristenisasi hingga kepada bahaya sekularisme yang dianggap sebagai ekses-ekses terbesar dari proses pembangunan yang sedang kita jalani sekarang. Mitsuo Nakamura menangkap dengan jelas aktivisme kemasyarakatan gerakan Muhammadiyah ini sebagai inti kekuatannya dalam menghadapi triligi tantangan yang mengancam eksistensi gerakan ini di Kotagede yakni:

Proses Jawanisasi yang dilancarkan dari kraton Mataram, proses sekularisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berpusat pada Universitas Gajah Mada dan IKIP, dan persaingan dengan penguasa non-pribumi yang mematikan kewiraswastaan para saudagar Muhammadiyah yang bergerak di bidang kerajinan perak dan industri batik.

Salah satu hal yang mendorong munculnya orientasi untuk cenderung kepada kegiatan praktis sebagai perwujudan diri, yang menjadi inti aktivisme kemasyarakatan itu, adalah watak egalitarian dari Muhammadiyah dalam pemikiran-pemikiran keagamaannya. Egalitarianisme ini tercermin dalam susunan majlis Tarjih dan Majlis Tanwir-nya, yang tidak mendasarkan besarnya pesantren yang diasuh dan pengaruh massa yang dimiliki oleh para calon anggotanya. Reputasi dalam pengabdian, ketekunan dan ketaatan asas (konsistensi) dalam pandangan agama dan pengetahuan minimal di bidang ilmu-ilmu agama sudah cukup untuk menjadi anggota kedua lembaga tertinggi Muhammadiyah tersebut.

Yang jarang sekali disadari justru adalah kelemahan Muhammadiyah sebenarnya juga bersumber pada egalitarianisme tersebut. Orientasi serba egalitarian itu akhirnya memunculkan dominasi kaum professional kemasyarakatan (social professionals) seperti kalangan kedokteran, teknik, perdagangan, dan pendidikan dan sebagainya. kedudukan kaum agamawan sebagai pengarah kehidupan Muhammadiyah lalu mengalami transformasi sangat besar.

download file

No comments:

Post a Comment